Surabaya -- Beberapa tahun setelah hiruk-pikuk pandemi COVID-19 berlalu, ada banyak kisah inspiratif yang muncul di masa-masa sulit tersebut. Salah satunya adalah kisah Ibu Fani (44), seorang ibu rumah tangga di Surabaya yang berhasil mengubah hobi fermentasinya menjadi bisnis sukses. Dua brand yang ia kelola sendirian yakni Tempetiga dan Cultur3d, kini telah dikenal luas dengan produk-produk fermentasi yang menyehatkan.
Bermula dari Hobi
Kisah Ibu Fani dimulai pada tahun 2018, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda. Saat itu ia bereksperimen dengan kefir, minuman fermentasi susu yang dikenal dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Ketertarikan ini muncul dari pengalaman pribadi melihat bagaimana tubuhnya terasa lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan keluarganya yang tidak mengkonsumsi kefir. Dari sini ia semakin bersemangat untuk mengolah makanan sehat.
Tak berhenti di kefir, Ibu Fani mulai bereksperimen dengan fermentasi buah-buahan yang lebih segar. "Kefir sulit dicari bahan bakunya di Surabaya. Saya ingin mencoba sesuatu yang lebih fresh rasanya dan mudah didapat," ucapnya. Melalui berbagai percobaan, ia berhasil membuat olahan fermentasi berbasis buah.
Ibu Fani memanfaatkan media sosial untuk membagikan hasil eksperimennya. Respon yang didapat tidak disangka-sangka, banyak orang yang tertarik dan ingin mencoba produknya. "Ketika saya iseng membagikan hasil olahan di media sosial, responnya luar biasa. Banyak yang penasaran dan ingin mencicipi. Akhirnya, saya mencoba menjualnya dan ternyata disambut positif," ujar Ibu Fani sambil tersenyum.
Produk Unggulan dan Proses Pembuatan
Brand yang dikelola oleh Ibu Fani terdiri dari dua, yaitu Tempetiga dan Cultur3d. Brand Tempetiga menjual berbagai produk olahan tempe seperti tempe mentah, kripik tempe, dendeng tempe, lumpia tempe, oncom, combro, dan olahan oncom lainnya. Produk yang paling banyak diminati dari brand Tempetiga ini adalah tempe tanpa kedelai, seperti tempe dari kacang almond dan kacang tanah.
Sedangkan brand Cultur3d menawarkan berbagai produk fermentasi lainnya seperti cuka, yogurt, keju, korean ginger honey, sirup, soda alami, dan tepache. Produk unggulan dari brand ini adalah tepache dan yogurt.
Proses pembuatan produk-produk ini tidaklah sederhana. Dimulai dari pemilihan bahan segar, Ibu Fani lebih suka menggunakan bahan lokal yang jarang dikenal orang. Misalnya, buah juwet dan kaliadem digunakan untuk membuat sirup. "Saya mencoba melestarikan buah lokal yang mulai langka," jelasnya.
Setelah bahan dipilih dan dicuci bersih, proses fermentasi pun dimulai. Proses ini memakan waktu bervariasi, dari beberapa hari hingga berbulan-bulan. "Cuka dan keju adalah yang paling lama fermentasinya. Prosesnya harus benar-benar steril," ungkap Ibu Fani. Ia menegaskan bahwa semua produk menggunakan 100% bahan alami tanpa bahan sintetik, sehingga aman dikonsumsi.
Banyak Tantangan yang Dihadapi
Jalan menuju sukses tak selalu mulus. Tantangan yang dihadapi oleh Ibu Fani adalah kenyataan bahwa rasa dari beberapa produk fermentasi yang cenderung masam, yang tidak semua orang bisa terima. Selain itu, masih minimnya edukasi tentang manfaat makanan sehat berbasis fermentasi. "Di Surabaya, banyak yang lebih mementingkan harga murah dibanding manfaat kesehatan," katanya. Oleh karena itu ia mengaku bahwa pelanggannya lebih banyak berasal dari luar kota seperti Jakarta dan Yogyakarta, dimana masyarakatnya lebih gencar menerima informasi mengenai manfaat olahan fermentasi.Â
Untuk pemasaran, Ibu Fani mengandalkan media sosial dan bentuk story telling di dalamnya. Belum ada rencana untuk ekspansi ke e-commerce karena keterbatasan tenaga dan produksi yang masih dilakukan secara rumahan. Namun, ia tetap optimis dan berharap bisa memperluas jangkauan pemasaran di masa depan.
Menjadi Inspirasi Masyarakat untuk Memulai Pola Hidup Sehat
Meski menghadapi berbagai tantangan, Ibu Fani merasakan dampak positif dari usahanya. Banyak konsumen merasa tubuh mereka lebih bugar setelah mengonsumsi produknya. Beberapa bahkan sembuh dari penyakit ringan seperti masalah pencernaan dan gangguan tidur. "Hal ini sangat memotivasi saya untuk terus mengedukasi masyarakat tentang pola hidup sehat," ujar Ibu Fani.
Kesuksesan produknya juga menginspirasi Ibu Fani untuk membuka kelas pelatihan fermentasi. Kelas yang telah dimulai sejak lama dan masih diminati hingga saat ini adalah kelas pembuatan tempe. Kelas ini bisa diikuti lebih dari 20 peserta dalam satu sesi. Kelas tempe dilaksanakan dalam dua tahap: yang pertama adalah cara membuat tempe dari bahan kedelai, dan yang kedua adalah membuat tempe dari bahan non-kedelai seperti kacang almond dan kacang tanah.
Selain kelas tempe, Ibu Fani berencana memulai kelas membuat produk fermentasi lainnya seperti minuman fermentasi pada bulan depan. "Banyak yang penasaran setelah melihat unggahan di media sosial dan ingin tahu cara membuatnya sendiri," jelas Ibu Fani. Terlebih setelah muncul kampanye boikot beberapa produk luar negeri, banyak orang yang mulai mencari alternatif produk lokal.
Ke depan, Ibu Fani berharap bisa konsisten dalam produksi di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga. Ia juga ingin lebih banyak ibu rumah tangga yang terinspirasi untuk memulai usaha dari apa yang mereka kerjakan sehari-hari. "Manfaatkan apa yang ada di sekitar kita, seperti memasak atau hasil kebun, untuk dijadikan peluang usaha," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H