"Bang, coba foto dulu sama ku, biar nanti org percaya kalau kau itu Abangku".
'Boleh Nang (panggilan sayang dalam masyarakat suku Simalungun), Tapi harus senyum yg lepas ya, biar mudah org melihat kemiripan kita.'
Begitu percakapan kami sebelum foto selfie ini diambil satu setengah tahun yg lalu ketika Aku pulang kampung.
Namanya Nita Beltrina Asido Saragih. Adik ku yang ke tiga dan usianya 24 Tahun. Karena kondisi mental dan kesehatan yang tidak memungkinkan, dia hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas 1 SMP dan sampai saat ini masih rutin berobat ke dokter.
Karena kondisi itu pula, tidak banyak yg mau menjadi temannya. Hanya beberapa dan itupun datang dan pergi, silih berganti seiring bertambahnya usia serta meningkatnya pendidikan mereka. Sementara Adikku selalu 'dipaksa' bertahan dengan keadaan yang sangat tidak menguntungkannya.
Di saat teman-teman seusianya kebanyakan sedang sibuk kuliah/kerja sambil merajut cinta pertama dengan hati yang bersemi, atau bahkan baru saja bercurhat tentang mantan dan saat ini sedang bersiap membuka hati dengan petualangan cinta yang baru, Keseharian Adikku justru sebahagian besar dihabiskan dengan menemani Bapak dan Emak kemanapun mereka pergi. Sisanya, dihabiskan dengan menjaga warung kecil yg dipercayakan Emak kepadanya.
Setiap malam dia akan sibuk menghitung sedikit keuntungan dari warung tersebut, lalu menyimpannya ke dalam dompet penyimpanan. Kemudian tidur dan bersiap menyambut rejeki dan cerita esok hari. Di lain waktu Ketika ada orang yang berkunjung ke rumah, dengan bersemangat dia akan bercerita, bukan tentang dirinya melainkan tentang  Abang, kakak, dan adik- adiknya yang bekerja dan kuliah di tanah rantau sambil menunjukkan foto- foto wisuda kami yang tergantung di ruang tamu.
Itulah kebahagiaan bagi nya..
Dengan gaya bahasanya yang sederhana dan penuh kebanggan serta seolah lupa dengan keadanya, dia selalu berusaha meyakinkan orang kalau dia punya saudara-saudari yang hebat di matanya..Â
Sekali lagi, itulah kebahagiaan baginya.
Dan mau tau apa kebahagiaan terbesarnya?
Ketika Abang, Kakak, dan adik2nya yang kerja, sekolah, dan kuliah di perantauan pulang kampung kala libur tiba.
Perasaan gembira yang terlihat dari raut wajahnya benar- benar tak terlukiskan.Â
Dia hanya sesederhana itu. Dia menjadi inspirasi ketika menunjukkan kebahagiaan itu sederhana. Cukup mencintai apa yg kamu miliki, maka itu lah bahagia. Kebahagiaan tak akan pernah kita rasakan selama kita menjadikan apa yang dimiliki org lain menjadi standar kebahagian kita. Karena kebahagiaan itu relatif, namun punya kadar yang sama bagi setiap manusia.
Dan di tengah semua keadaan, kelebihan dan kekurangannya, menjadi Abangnya selalu menjadi suatu kebahagiaan yang tak terhingga buatku.
facebookimages nita and dix wendy saragih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H