Menurut Yudiawati H (2021), Angklung Buhun berarti Angklung tua atau Angklung peninggalan, Buhun dalam masyarakat setempat berarti tua, dalam bahasa Sunda lain disebut baheula atau zaman dahulu. Angklung Buhun digolongkan sebagai kesenian pusaka, yang diperkirakan lahir bersamaan dengan hadirnya masyarakat Baduy.Â
Pemain Angklung Buhun harus laki-laki yang berjumlah 12 orang yang terdiri dari 3 orang pemain anglung, dan 3 orang pemain bedug. Saat ini kelompok pemain kesenian Angklung Buhun hanya dijumpai pada acara-acara ritual, seperti acara adat Seren taun di Cisungsang dan Seba di masyarakat baduy Kabupaten Lebak.
2. Calung Bumbung
Bumbung dalam Bahasa jawa memiliki arti ruas. Calung Bumbung dapat diartikan sebagai alat kesenian pukul Calung Bumbung terbuat dari beberapa ruas bambu gombong berukuran panjang dan diameter besar yang disusun dari ukuran pendek ke paling panjang untuk menghasilkan susunan nada yang bervariasi. Calung Bumbung digunakan sebagai kenongan dan goongan dalam suatu komposisi lagu.Â
Berbeda dengan Calung pada umumnya yang memiliki ukuran tidak terlalu besar, Calung Bumbung bisa memiliki tinggi hingga 2 meter atau lebih. Calung Bumbung ini dapat dikatakan sebagai rajanya Calung karena bentuk dan ukurannya yang lebih besar daripada ukuran calung lainnya.Â
Masing-masing rumpun digantung pada ancak dengan posisi berjejer. Calung ini dulu digunakan untuk kegiatan upacara-upacara tertentu. Â
3. Angklung Gubrag
Menurut Novandini, A., & Santosa, A. B. (2017). Angklung Gubrag merupakan salah satu jenis angklung di Jawa Barat. Kesenian Angklung Gubrag tumbuh dan berkembang di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor.Â
Angklung Gubrak memiliki ciri khas berukuran relatif lebih besar dibandingkan dengan ukuran angklung yang kita tahu karena terbuat dari bambu betung. Instrumen yang digunakan hanya 6 buah, masing-masing memiliki tinggi yang bervariasi antara 215-90cm.Â
Menurut Kurnia dan Nalan (2003: 23) Angklung Gubrag sudah berusia tua dan ditampilkan untuk menghormati Dewi Padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukkeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).Â