Mohon tunggu...
Divo Aurelius Tampubolon
Divo Aurelius Tampubolon Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Boom

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyingkirkan Ekspektasi demi Menjalin Toleransi

18 November 2024   22:36 Diperbarui: 18 November 2024   23:04 1513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah." -- Lao Tzu.

Ekspektasi. Semua manusia pasti memiliki ekspektasi, mau yang baik ataupun buruk. Sebelum melakukan suatu kegiatan, kita pasti memiliki ekspektasi terhadap kegiatan tersebut. Ekspektasi juga akan memengaruhi mood seseorang, tetapi persatuan dalam keberagaman bukanlah hal yang dapat dijaga dengan ekspektasi dan juga mood. Karena berekspektasi yang tinggi hanya akan mengecewakan diri jika kenyataannya buruk dan toleransi dalam Indonesia sekarang dalam situai waspada. Kita tidak dapat berekspektasi bahwa orang yang berbeda dengan kita akan menjalani kehidupan yang sama dengan kita, tetapi yang kita dapat lakukan adalah menghormatinya dan merayakan perbedaan ini.

Sosial media sempat gencar dengan kasus-kasus pelecehan seksual di pondok pesantren dan hal-hal negatif lainnya. Hal-hal tersebut memunculkan rasa cemas dalam diri saya dan teman-teman saya sebelum kami berangkat ke Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Berbagai ekspektasi buruk pun mulai berkabut di pikiran kami, beberapa konten tentang kejorokan beberapa pesantren juga menambah ekspektasi buruk kami terhadap kehigienisan pondok pesantren. Namun, saya sadar bahwa toleransi yang merupakan tujuan dari kegiatan ekskursi tidak dapat terwujud jika pemikiran saya sudah dipenuhi dengan ekspektasi-ekspektasi yang buruk. Mahatma Gandhi juga pernah berkata, "Hidup adalah tentang belajar; mereka yang berhenti belajar, berhenti hidup." yang membuat saya menyingkirkan ekspektasi buruk saya untuk belajar mengenai saudara sebangsa yang berbeda agama.

Sampai di Pondok Pesantren Al-Ittfaq di Rancabali, Bandung, kami disambut dengan hangat oleh uztad pimpinan pesantren tersebut. Saat saya melihat tempat yang akan kami tiduri, saya terkejut melihat kasur yang lengkap dengan selimut dan kamar mandi bersih dengan toilet duduk. Saat kami disambut oleh pimpinan pesantren dan para santriwati, kami juga disuguhkan makanan berupa dendeng, sayuran, bakwan, dan sambal. Pak uztad menjelaskan bahwa Pondok Pesantren Al-Ittifaq merupakan salah satu supplier hasil-hasil perkebunan, seperti kol, bawang, dan lain-lain kepada distributor tingkat atas, yaitu lotte dan juga pasar-pasar tradisional. Para santri dan santriwati juga ikut berkontribusi dalam menanam sayur-sayur sebagai salah satu bekal mereka untuk masa depan saat lulus dari pesantren. 

Setelah sambutan yang hangat, kami pun diajak untuk berkeliling di sekitar daerah pesantren untuk melihat pertanian, perkebunan, dan peternakan yang mereka lakukan. Daerah pesantren tersebut sangatlah luas dan jalan dipinggir sawah juga cukup menantang untuk dilewati. Kami pun juga bertukar dialog mengenai hal-hal yang sering dilakukan di Kanisius dan di Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Salah satu hal yang mengejutkan adalah saya bertemu dengan seseorang yang memiliki tampang yang identik dengan wakil presiden 2024-2029, yaitu Gibran dan karena saya belum kenal dengan santri tersebut, saya sering memanggilnya "Mas Gibran". 

Malam hari pun kami melanjutkan dengan acara yaitu pembagian hadiah yang biasa dilakukan pada malam kamis oleh para santri dan santriwati. Pembagian hadiah tersebut merupakan hasil dari perlombaan bakat yang diadakan sebelum kami datang ke pesantren. Kami pun juga diberi kesempatan oleh para santri untuk memberikan performa berupa nyanyian. Performa kami pun dipuji dan kami pun kembali ke penginapan untuk beristirahat sehabis acara yang meriah tersebut.

Hari kedua dimulai dengan bangun subuh untuk melihat kegiatan santri, yaitu sholat subuh dan mengaji. Kami siswa Kanisius pun terkagum dengan semangat para santri yang tidak mengeluh padahal mereka bangun sekitar satu jam sebelum kami. Walaupun tubuh belum menyatu dengan nyawanya, saya tidak mau kalah semangat dengan para santri dan mengobservasi kegiatan mereka di masjid tanpa ketiduran. Setelah itu, kami pun bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar para santri, seperti matematika dan bahkan membuat mochi. Kemudian kami pun pergi untuk hiking ke sebuah curug untuk bermain dan makan siang yang dilakukan secara liwetan.

Makan siang liwetan bersama para santri menjadi salah satu momen kunci perjalinan toleransi antara siswa Kolese Kanisius dengan santri Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Makan bersama yang penuh obrolan dan tawa menjadi simbol bahwa perbedaan bukanlah suatu hal yang dapat memisahkan tali persaudaraaan dan malah membuat lebih banyak cerita untuk dibagikan. Suara tawa yang diiringi oleh suara dentuman air terjun ke batu-batuan menjadi salah satu resep harmoni di telinga yang sangat ingin kedamaian akibat kehidupan penuh tantangan di perkotaan. Mendengar cerita baru dari orang yang baru, kebiasaan baru, dan juga semangat yang baru. Saling mengenal satu sama lain dengan tanpa menyebutkan kata-kata ejekan sekalipun menjadi harapan bahwa toleransi di Indonesia masih dapat dibangun. 

Sepulang dari curug juga bukan akhir dari cerita, di perjalanan pulang, cerita baru pun mulai dibagikan, momen-momen yang ditangkap oleh mata buatan menjadi bukti dari pertukaran dialog tersebut. Malam hari, kegiatan pengajian pun diadakan berjamaah. Ayat-ayat Al-quran yang dinyanyikan juga menari di gendang telinga, walaupun otak tidak dapat mengerti arti dari nyanyian tersebut. Voice riff yang dinyanyikan dalam membaca Al-quran juga membuat hati berhenti berdetak untuk menghormati keanggunan nyanyian tersebut. Voice riff dalam nyanyian tersebut terus mendengung di telinga bahkan menjelang istirahat karena keindahannya.

Hari ketiga juga dimulai dengan hal yang sama, siswa Kolese Kanisius yang berjalan layaknya zombie sedangkan para santri yang tergesa-gesa ke masjid tanpa satu keluhan keluar dari mulutnya. Siswa Kolese Kanisius ada beberapa tertidur sejenak saat pengajian , sedangkan para santri yang masi menginjak tingkat sekolah dasar masih terus berusaha menahan kelopak matanya dari usahanya untuk menutup. Hal tersebut menjadi pelajaran bagi kami untuk menghormati saudara Islam kami yang sedang beribadah karena mereka rela untuk bangun subuh sekali demi memuji Tuhan. Hal tersebut juga menjadi pelajaran bagi kami non-muslim yang bahkan beberapa masih sering tidur ketika beribadah di gereja. 

Setelah mengikuti pengajian, kami pun melakukan sesi sharing sebelum pamit untuk pulang. Sharing bersama para santriwati juga membuka mata kami terhadap masalah-masalah pribadi para santriwati terutama mengenai fashion. Mereka yang tetap ingin tampil bergaya dan tetap menghormati agamanya menjadi ambigu yang terus menghantui dirinya. Namun, kami juga tidak segan-segan untuk mengumbar sisi gelap Jakarta yang penuh dengan masalahnya tersendiri. Saling meresapi pengalaman satu sama lain, saling ingin tahu akan satu sama lain, dan saling menasehati satu sama lain menjadi pemandangan indah yang saya lihat. Pemandangan tersebut mengingatkan saya kepada almarhum Gus Dur yang dijuluki "Bapak Pluralisme" tersebut karena semangat beliau dalam mewujudkan tolernasi di Indonesia. 

Pengalaman saya di Pesantren ini mengajarkan saya banyak hal. Toleransi, disiplin, dan kesederhanaan adalah nilai-nilai yang tertanam dalam setiap aktivitas yang saya jalani di sana. Segala hal yang awalnya menjadi dasar ekspektasi buruk saya pun hilang akibat kenangan yang penuh warna. Mahatma Gandi pernah berkata, "Hidup adalah tentang belajar; mereka yang berhenti belajar, berhenti hidup." yang membuat saya terus ingin belajar mengenai kebudayaan saudara se-tanah air yang berbeda dengan saya. Pengalaman ini juga tidak hanya untuk memahami kehidupan santri, tetapi juga tentang menghilangkan prasangka, membuka hati, dan menghargai perbedaan. 

Pengalaman ini juga mengubah cara pandang saya dalam berharap terhadap sesuatu. Persepsi saya yang kini sudah tidak dikabuti oleh ekspektasi, tetapi dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Perubahan persepsi ini juga mengubah cara hidup saya dan berdampak signifikan dalam kehidupan menjalin toleransi saya, seperti yang dikatakan oleh Wayne Dyer,"Ketika persepsi diubah, dunia pun berubah." dan semoga perubahan dunia yang mengarah kepada toleransi tersebut dialami oleh seluruh orang di dunia ini. Karena perbedaan bukanlah hal yang disesalkan, melainkan hal yang seharusnya dirayakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun