Mohon tunggu...
Haikal Amirullah
Haikal Amirullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Politik di salah satu media nasional di Jakarta, gemar traveling, dan senang silaturahmi

Wartawan politik yang gemar traveling dan menjalin silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Smelter Freeport di Gresik: Orang Asli Papua Butuh Kesejahteraan, Bukan Cuma Nikmati Limbahnya Saja

16 Juni 2020   14:21 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama-Mama Papua berdagang seadanya

Masalah Papua memang menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Terutama bagaimana bentuk perlakuan negara kepada dua propinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Tengok saja bagaimana negara mengerahkan kekuatan militer yang cukup massif demi terwujudnya stabilitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan di Bumi Cendrawasih. Sementara di satu sisi, kekayaan sumberdaya alam Papua yang cukup besar terutama hasil pertambangannya, tak sepenuhnya dinikmati masyarakat Papua. Jadi tidak heran, jika situasi di Papua begitu mudah tersulut dengan isu-isu yang berbau ekonomi dan SARA. 

Saya sendiri seumur hidup baru dua kali berkunjung ke Tanah Papua. Banyak mendengar masalah Papua dari berbagai media massa dan online. Juga dari hasil diskusi dengan sejumlah politisi-politisi di Senayan (DPR-DPD RI, red). Salah satunya dari Robert J.Kardinal, Anggota DPR RI dari Dapil Papua Barat.  

Robert merupakan politisi Golkar kelahiran Sorong. Banyak makan garam di Golkar. Saya sendiri sudah banyak melakukan wawancara dengan politisi yang duduk di DPR sejak 2004. Dalam berbagai diskusi, sudah banyak kali dia meneriakkan ketidakadilan yang diterima masyarakat Papua. Bagaimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, ternyata hanya menjadi paradoks bagi masyarakat Papua. Sebab faktanya, sampai saat ini, Papua dan Papua Barat menjadi propinsi penyumbang angka termiskin tertinggi di Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200115174641-532-465658/papua-masih-jadi-provinsi-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi). 

Tentu ini sangat ironi. Sebab di Papua, berdiri perusahaan tambang emas raksasa dunia, PT. Freeport Indonesia (PTFI) dan BP Tangguh. Khusus PTFI, Pemerintah melalui perusahaan Badan Usaha Milik Negara PT Inalum (Persero) telah resmi membeli sebagian saham perusahaan asal Amerika Serikat ini. Kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9 persen menjadi 51 persen. Namun proses pembelian saham ini pun sebenarnya sangat alot. Sejatinya, Kontrak Karya PT FI di Papua berakhir 2021, namun diperpanjang menjadi 2041 setelah pemerintah berhasil meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 51 persen.

Konsekuensinya, kerjasama bisnis antara Pemerintah Indonesia dan PTFI tidak lagi dalam kontrak karya, tapi kerjasama berdasarkan payung hukum yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam aturan undang-undang ini, tertuang kewajiban bagi PTFI dan perusahaan tambang lainnya untuk membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian mineral) sebagaimana  tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba. Pabrik smelter ini untuk mendorong peningkatan nilai tambah hilirisasi dari pertambangan. 

Belakangan, pemerintah mengusulkan agar Undang-Undang Minerba direvisi dan telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (12/5/2020) lalu. Para aktivis hukum dan penggiat lingkungan curiga undang-undang ini hanya memberi karpet  merah kepada para korporasi besar penguasa tambang.

  

Proses penandatanganan penyerahan divestasi saham 51 persen dari pihak Freeport Mc. Moran kepada Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum
Proses penandatanganan penyerahan divestasi saham 51 persen dari pihak Freeport Mc. Moran kepada Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum
Robert termasuk politisi yang seringkali meneriakkan ketidakadilan yang dialami masyarakat Papua dari segi ekonomi. Termasuk dalam aspek kegiatan pertambangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan tambang yang ada di Papua seperti PTFI dan LNG Tangguh. Nah salah satu harapan besarnya di Papua, adalah suatu hari nanti, ada orang asli Papua yang duduk sebagai Direktur Utama dan Komisaris Utama yang di PTF . Robert optimis, perhatian perusahaan tambang kepada kesejahteraan masyarakat sekitar hanya bisa dilakukan jika Dirut dan Komisaris Utama ditempati oleh orang asli Papua. 

Sikap Robert tersebut mungkin muncul akibat dari tidak adanya keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Contoh paling nyata adalah keberadaan smelter di Papua. Hingga saat ini, PT.FI belum menunjukkan akan ada tanda-tanda smelter di bangun Papua. Yang terjadi adalah smelter PTFI malah dibangun di Gresik. Sejatinya, Presiden Joko Widodo berkeinginan agar smelter dibangun di Papua. Keinginanan Jokowi ini dilontarkan oleh Menteri BUMN yang saat itu masih dijabat Rini Soemarno, dalam kunjungannya ke kawasan tambang Freeport tahun lalu. Menteri Rini mendorong agar pengelola tambang emas Grasberg ini, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang dengan membangun smelter yang dengan lokasi tambang sehingga masyarakat bisa mendapatkan benefit sebesar-besarnya dari pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, hingga saat ini, tak kunjung terealisasi.

Entah mengapa, PTFI sangat enggan umtuk membangun smelter yang sebenarnya secara strategis lebih menguntungkan dan ekonomis. Sementara smelter yang ada di Gresik pun sekarang terkatung-katung dan tidak menunjukkan adanya progress peningkatan.  Lebih aneh lagi, ada skenario smelter dipindahkan ke Maluku Utara sebagai opsi kedua. Pertanyaannya, kenapa tidak ada opsi smelter di Papua saja. 

Freeport, mohon maaf, seakan-akan alergi jika smelternya dibangun di Papua padahal lokasi tambangnya disana. Dengan berbagai macam alasan, menolak smelternya berada di lokasi tambang. Padahal, sebenarnya PTFI punya kemampuan finansial untuk mewujudkan itu. Tentu pertanyaan besar ke kita, siapa pemilik usaha atau oknum bisnis penguasa yang akan terpental jika Freeport membangun smelter di Papua. Siapa oknum yang begitu besar pengaruhnya sampai-sampai instruksi Presiden Jokowi agar smelter dibangun di lokasi tambang cuma sekedar angin surga. Apakah juga Menteri Rini Soemarno 'out' dari kabinet Jokowi jilid II karena usaha menggagalkan program Jokowi membangun smelter di Papua? (https://economy.okezone.com/read/2019/07/28/320/2084659/menteri-rini-minta-freeport-inalum-bangun-smelter-di-papua)

Patut dianalisa, siapa pemilik bisnis yang akan buntung jika smelter pada akhirnya dibangun di Papua? Karena jelas pasti akan banyak rantai bisnis yang terpotong jika itu betul-betul diwujudkan. Masyarakat Papua harus siap berhadap-hadapan dengan keserakahan para pengusaha yang tentu tidak akan akan rela, bahkan siap mati-matian menolak smelter di Papua. Apalagi, kontrak karya Freeport yang sudah diperpanjang hingga 2041. Smelter dibangun di Papua, konsekuensinya kehilangan keuntungan hingga 2041. 

 

Sayangnya, masyarakat Papua seakan harus berteriak dulu hanya agar bisa menikmati secuil dari keuntungan manisnya bisnis PTFI di Papua. Hak masyarakat untuk bisa hidup sejahtera dan damai berdampingan dengan PT FI di Papua seakan tak dianggap. Apapun itu, smelter di Papua adalah sebuah keniscayaan. Sebab, kehadiran smelter akan membuat jantung ekonomi masyarakat di Papua berdenyut kencang. Sebaliknya, jika gagal, lagi-lagi masyarakat Papua cuma menikmati limbah dari akibat usaha tambang PTFI mengeruk kekayaan Papua. "Masyarakat Papua jangan cuma mendapat limbahnya saja. Sudah itu tenaga kerja saja tidak seimbang antara orang asli Papua dengan warga negara Indonesia lain," tegas Robert.

Pernyataan Robert ini cukup beralasan. Sebab untuk urusan catering atau memasok makanan bagi karyawan PTFI saja, ternyata diurus pengusaha di luar Papua. Lagi-lagi masyarakat Papua hanya bisa gigit jari. Kenapa untuk urusan catering harus jauh-jauh pesan ke Surabaya. "Kebutuhan catering atau pangan untuk PT FI itu semua dibawa dari Surabaya. Sayuran, beras, daging, semua dari Surabaya. Kenapa bukan di Papua saja. Bayangkan jika dipasok dari Papua, sektor pertanian di Papua bergerak. Banyak pengusaha UMKM yang akan lahir dari sini," katanya.

Tentu harapan besar bagi kita, PTFI memberikan sumbangsih besar bagi masyarakat Papua dan sekitarnya.  PTFI tak boleh menolak fakta bahwa lokasi tambangnya ada di Papua. Andaikata PTFI peduli pada masyarakat, tentu bangun smelter di Papua bukanlah masalah yang besar. Sebab berusaha atau investasi, bukanlah persoalan mengejar banyak keuntungan dari sisi ekonomi dan finansial  saja, tapi juga keuntungan dari sisi sosial dan budaya. 

Bahkan kalau  perlu, PTFI memindahkan kantor pusatnya yang ada di Jakarta, ke Papua. Kalau itu terjadi, tentu masyarakat Papua akan bangga. PTFI menjadi bagian dari Papua. Bukan malah menjadi biang masalah di Papua. Bagaimana pun, PTFI harus berkontribusi nyata membangun ekonomi di Papua secara berkeadilan. Sebab yang paling dibutuhkan Papua saat ini adalah kesejahteraan. Sangat ironis kalau setiap kali tahun membaca pertumbuhan ekonomi masyarakat, lagi-lagi BPS menempatkan Papua dan Papua Barat sebagai penyumbang angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.  Begitu sulitkan kita membalik situasi tersebut, dari kemiskinan menjadi kesejahteraan. 

"Kami percaya, bumi dan kekayaan alam di Papua, diciptakan oleh Yang Maha Kuasa sebesar-besarnya diperuntukkan untuk masyarakat Papua," ucap Robert Kardinal.  

     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun