Mohon tunggu...
Haikal Amirullah
Haikal Amirullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Politik di salah satu media nasional di Jakarta, gemar traveling, dan senang silaturahmi

Wartawan politik yang gemar traveling dan menjalin silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polemik Smelter Freeport di Gresik: Orang Asli Papua Butuh Kesejahteraan, Bukan Cuma Nikmati Limbahnya Saja

16 Juni 2020   14:21 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:07 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mama-Mama Papua berdagang seadanya

Patut dianalisa, siapa pemilik bisnis yang akan buntung jika smelter pada akhirnya dibangun di Papua? Karena jelas pasti akan banyak rantai bisnis yang terpotong jika itu betul-betul diwujudkan. Masyarakat Papua harus siap berhadap-hadapan dengan keserakahan para pengusaha yang tentu tidak akan akan rela, bahkan siap mati-matian menolak smelter di Papua. Apalagi, kontrak karya Freeport yang sudah diperpanjang hingga 2041. Smelter dibangun di Papua, konsekuensinya kehilangan keuntungan hingga 2041. 

 

Sayangnya, masyarakat Papua seakan harus berteriak dulu hanya agar bisa menikmati secuil dari keuntungan manisnya bisnis PTFI di Papua. Hak masyarakat untuk bisa hidup sejahtera dan damai berdampingan dengan PT FI di Papua seakan tak dianggap. Apapun itu, smelter di Papua adalah sebuah keniscayaan. Sebab, kehadiran smelter akan membuat jantung ekonomi masyarakat di Papua berdenyut kencang. Sebaliknya, jika gagal, lagi-lagi masyarakat Papua cuma menikmati limbah dari akibat usaha tambang PTFI mengeruk kekayaan Papua. "Masyarakat Papua jangan cuma mendapat limbahnya saja. Sudah itu tenaga kerja saja tidak seimbang antara orang asli Papua dengan warga negara Indonesia lain," tegas Robert.

Pernyataan Robert ini cukup beralasan. Sebab untuk urusan catering atau memasok makanan bagi karyawan PTFI saja, ternyata diurus pengusaha di luar Papua. Lagi-lagi masyarakat Papua hanya bisa gigit jari. Kenapa untuk urusan catering harus jauh-jauh pesan ke Surabaya. "Kebutuhan catering atau pangan untuk PT FI itu semua dibawa dari Surabaya. Sayuran, beras, daging, semua dari Surabaya. Kenapa bukan di Papua saja. Bayangkan jika dipasok dari Papua, sektor pertanian di Papua bergerak. Banyak pengusaha UMKM yang akan lahir dari sini," katanya.

Tentu harapan besar bagi kita, PTFI memberikan sumbangsih besar bagi masyarakat Papua dan sekitarnya.  PTFI tak boleh menolak fakta bahwa lokasi tambangnya ada di Papua. Andaikata PTFI peduli pada masyarakat, tentu bangun smelter di Papua bukanlah masalah yang besar. Sebab berusaha atau investasi, bukanlah persoalan mengejar banyak keuntungan dari sisi ekonomi dan finansial  saja, tapi juga keuntungan dari sisi sosial dan budaya. 

Bahkan kalau  perlu, PTFI memindahkan kantor pusatnya yang ada di Jakarta, ke Papua. Kalau itu terjadi, tentu masyarakat Papua akan bangga. PTFI menjadi bagian dari Papua. Bukan malah menjadi biang masalah di Papua. Bagaimana pun, PTFI harus berkontribusi nyata membangun ekonomi di Papua secara berkeadilan. Sebab yang paling dibutuhkan Papua saat ini adalah kesejahteraan. Sangat ironis kalau setiap kali tahun membaca pertumbuhan ekonomi masyarakat, lagi-lagi BPS menempatkan Papua dan Papua Barat sebagai penyumbang angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.  Begitu sulitkan kita membalik situasi tersebut, dari kemiskinan menjadi kesejahteraan. 

"Kami percaya, bumi dan kekayaan alam di Papua, diciptakan oleh Yang Maha Kuasa sebesar-besarnya diperuntukkan untuk masyarakat Papua," ucap Robert Kardinal.  

     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun