Masalah Papua memang menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Terutama bagaimana bentuk perlakuan negara kepada dua propinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Tengok saja bagaimana negara mengerahkan kekuatan militer yang cukup massif demi terwujudnya stabilitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan di Bumi Cendrawasih. Sementara di satu sisi, kekayaan sumberdaya alam Papua yang cukup besar terutama hasil pertambangannya, tak sepenuhnya dinikmati masyarakat Papua. Jadi tidak heran, jika situasi di Papua begitu mudah tersulut dengan isu-isu yang berbau ekonomi dan SARA.Â
Saya sendiri seumur hidup baru dua kali berkunjung ke Tanah Papua. Banyak mendengar masalah Papua dari berbagai media massa dan online. Juga dari hasil diskusi dengan sejumlah politisi-politisi di Senayan (DPR-DPD RI, red). Salah satunya dari Robert J.Kardinal, Anggota DPR RI dari Dapil Papua Barat. Â
Robert merupakan politisi Golkar kelahiran Sorong. Banyak makan garam di Golkar. Saya sendiri sudah banyak melakukan wawancara dengan politisi yang duduk di DPR sejak 2004. Dalam berbagai diskusi, sudah banyak kali dia meneriakkan ketidakadilan yang diterima masyarakat Papua. Bagaimana Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, ternyata hanya menjadi paradoks bagi masyarakat Papua. Sebab faktanya, sampai saat ini, Papua dan Papua Barat menjadi propinsi penyumbang angka termiskin tertinggi di Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200115174641-532-465658/papua-masih-jadi-provinsi-dengan-angka-kemiskinan-tertinggi).Â
Tentu ini sangat ironi. Sebab di Papua, berdiri perusahaan tambang emas raksasa dunia, PT. Freeport Indonesia (PTFI) dan BP Tangguh. Khusus PTFI, Pemerintah melalui perusahaan Badan Usaha Milik Negara PT Inalum (Persero) telah resmi membeli sebagian saham perusahaan asal Amerika Serikat ini. Kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9 persen menjadi 51 persen. Namun proses pembelian saham ini pun sebenarnya sangat alot. Sejatinya, Kontrak Karya PT FI di Papua berakhir 2021, namun diperpanjang menjadi 2041 setelah pemerintah berhasil meningkatkan kepemilikan sahamnya menjadi 51 persen.
Konsekuensinya, kerjasama bisnis antara Pemerintah Indonesia dan PTFI tidak lagi dalam kontrak karya, tapi kerjasama berdasarkan payung hukum yang ada dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam aturan undang-undang ini, tertuang kewajiban bagi PTFI dan perusahaan tambang lainnya untuk membangun smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian mineral) sebagaimana  tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba. Pabrik smelter ini untuk mendorong peningkatan nilai tambah hilirisasi dari pertambangan.Â
Belakangan, pemerintah mengusulkan agar Undang-Undang Minerba direvisi dan telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa (12/5/2020) lalu. Para aktivis hukum dan penggiat lingkungan curiga undang-undang ini hanya memberi karpet  merah kepada para korporasi besar penguasa tambang.
 Â
Sikap Robert tersebut mungkin muncul akibat dari tidak adanya keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Contoh paling nyata adalah keberadaan smelter di Papua. Hingga saat ini, PT.FI belum menunjukkan akan ada tanda-tanda smelter di bangun Papua. Yang terjadi adalah smelter PTFI malah dibangun di Gresik. Sejatinya, Presiden Joko Widodo berkeinginan agar smelter dibangun di Papua. Keinginanan Jokowi ini dilontarkan oleh Menteri BUMN yang saat itu masih dijabat Rini Soemarno, dalam kunjungannya ke kawasan tambang Freeport tahun lalu. Menteri Rini mendorong agar pengelola tambang emas Grasberg ini, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang dengan membangun smelter yang dengan lokasi tambang sehingga masyarakat bisa mendapatkan benefit sebesar-besarnya dari pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, hingga saat ini, tak kunjung terealisasi.
Entah mengapa, PTFI sangat enggan umtuk membangun smelter yang sebenarnya secara strategis lebih menguntungkan dan ekonomis. Sementara smelter yang ada di Gresik pun sekarang terkatung-katung dan tidak menunjukkan adanya progress peningkatan. Â Lebih aneh lagi, ada skenario smelter dipindahkan ke Maluku Utara sebagai opsi kedua. Pertanyaannya, kenapa tidak ada opsi smelter di Papua saja.Â
Freeport, mohon maaf, seakan-akan alergi jika smelternya dibangun di Papua padahal lokasi tambangnya disana. Dengan berbagai macam alasan, menolak smelternya berada di lokasi tambang. Padahal, sebenarnya PTFI punya kemampuan finansial untuk mewujudkan itu. Tentu pertanyaan besar ke kita, siapa pemilik usaha atau oknum bisnis penguasa yang akan terpental jika Freeport membangun smelter di Papua. Siapa oknum yang begitu besar pengaruhnya sampai-sampai instruksi Presiden Jokowi agar smelter dibangun di lokasi tambang cuma sekedar angin surga. Apakah juga Menteri Rini Soemarno 'out' dari kabinet Jokowi jilid II karena usaha menggagalkan program Jokowi membangun smelter di Papua? (https://economy.okezone.com/read/2019/07/28/320/2084659/menteri-rini-minta-freeport-inalum-bangun-smelter-di-papua)