Di sebuah kota kecil di Indonesia, dua komunitas besar hidup berdampingan, tetapi tak benar-benar menyatu. Komunitas mayoritas hidup dengan tradisi dan keyakinan yang kuat, sementara komunitas minoritas, meski kaya budaya, sering kali terpinggirkan. Di tengah ketegangan ini, Nadia dan Abraham bertemu secara tak sengaja, dan perjalanan cinta mereka pun dimulai.
Malam itu, festival kebudayaan berlangsung di alun-alun kota. Lampu-lampu gantung berwarna-warni menghiasi langit, sementara musik tradisional mengalun merdu. Nadia, dengan kebaya sederhana dan selendang merah, berdiri di depan stan kerajinan komunitasnya. Tangannya lincah melukis motif batik, menarik perhatian banyak pengunjung.
Di sisi lain, Abraham, seorang pegawai administrasi di balai kota, datang bersama teman-temannya. Ia bukan tipe yang sering menghadiri acara semacam ini, tetapi tugasnya malam itu adalah mendokumentasikan kegiatan untuk laporan pemerintah. Ketika matanya menangkap sosok Nadia, ia tertegun. Ada sesuatu dalam cara gadis itu tersenyum yang membuatnya berhenti.
"Keren juga ya batiknya," kata Abraham sambil mendekat.
Nadia menoleh, mendapati seorang pria dengan kemeja rapi berdiri di hadapannya. "Terima kasih, Mas. Mau coba melukis?"
Abraham ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Saat tangannya memegang canting, Nadia mendekat, membimbingnya dengan sabar. Mereka berbicara tentang motif batik, lalu meluas ke hal-hal lain -- dari musik, makanan, hingga kebiasaan sehari-hari. Meski obrolan itu sederhana, ada percikan yang sulit mereka abaikan.
Namun, ketika Abraham menyebutkan komunitasnya, wajah Nadia sedikit berubah. Ia tersenyum kecil, tetapi menarik diri perlahan. Abraham menyadari ada jarak yang tiba-tiba muncul, tetapi tak tahu harus berkata apa.
Hari-hari berikutnya, Abraham tak bisa menghilangkan bayangan Nadia dari pikirannya. Ia kembali ke alun-alun mencari gadis itu, tetapi festival telah usai. Setelah bertanya-tanya pada beberapa orang, ia akhirnya menemukan lokasi komunitas Nadia, sebuah perkampungan kecil di pinggiran kota.
"Mas Abraham?" Nadia terkejut ketika melihatnya muncul di depan rumahnya.
"Maaf kalau saya lancang, tapi saya ingin mengenal kamu lebih baik," jawab Abraham jujur.
Mereka mulai bertemu diam-diam, berbicara tentang mimpi dan harapan. Nadia bercerita tentang keinginannya untuk mempromosikan budaya komunitasnya ke dunia luar. Abraham, yang awalnya skeptis, mulai melihat keindahan dalam keanekaragaman. Di sisi lain, Nadia pun belajar memahami cara pandang Abraham yang berbeda dari komunitas mayoritas.