Mohon tunggu...
diva rabiah
diva rabiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi jurnalistik

menyukai traveling dan jurnalisme data

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Parkir Liar Semakin Lama Semakin Meresahkan, Adakah Dua Ribu?

1 November 2023   16:23 Diperbarui: 1 November 2023   16:25 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta sudah sejak lama menjadi destinasi wisata turis lokal maupun mancanegara. Saya mendapati bahwa sosial media seperti tik tok dan instagram menjadi platform yang paling banyak mengekspos konten wisata  jogja. 

Ternyata banyak spot wisata baru yang dibuka dan dibangun pasca pandemi. Baik kafe-kafe estetik, wisata alam, penginapan, kuliner viral hampir setiap pekannya. 

Sebagai mahasiswa jogja yang sering iritasi karena skripsi, pastinya saya tertarik untuk mencobai untuk pelesir ke tempat-tempat yang diulas di sosial media tersebut. Dan sesuai dugaan saya; dimana ada tempat usaha baru, disana ada tukang parkir.

Kalau dikalkulasikan, bila saya membayar dua ribu rupiah dua kali dalam sehari kepada tukang parkir ilegal, maka saya dapat keluar 112 ribuan selama sebulan untuk parkir. Ini sudah lebih dari sepuluh persennya rata-rata uang jajan mahasiswa jogja dengan taraf ekonomi menengah ke bawah.

Profesi ini memang paling nyebelin. Usut punya usut, awal mula kemunculan profesi ini adalah sejak orang-orang dengan kuda atau kereta kudanya memerlukan lahan untuk 'diparkirkan'. Yup, sejak zaman koboi amerika serikat. Di Indonesia pekerjaan  ini memiliki istilah 'jaga otto' . Awal kemunculannya diduga dari Jakarta pada 1950-an.

Saya kira, sosok preman yang muncul di tv pada ftv dan sinetron saat saya kecil hanya memalak kaum pedagang saja. Saat saya sendiri yang mengalaminya, ternyata bisa buat kesal hingga ke ubun-ubun! Saat itu saya ingin membeli jus di dekat perempatan jalan di jogja. 

Saya biasa membeli jus disana karena bisa transaksi melalui qris dan tidak ada tukang parkir. Ternyata untuk membeli jus seharga 6 ribu rupiah saya mengeluarkan 2 ribu rupiah tambahan untuk parkir. Bayangkan, bisa-bisanya tarif parkir 33 persen dari belanjaan saya di kios itu. 

Saya sebetulnya tidak terlalu iritasi dengan tukang parkir yang betul-betul berdampak pada area parkir yang semrawut dan membuat keadaan lebih kondusif. Saya malah apresiasi bahkan. Namun, pernahkah anda membayangkan mampir sebentar di pinggir jalan untuk membeli buah. dimana jarak etalase dengan motor anda sendiri hanya 2 meter, transaksi hanya 2-3 menit. masih pula ditagih upah memakirkan kendaraan.

Saya juga pernah mengalami kejadian yang lebih parah. Saat saya menjadi panitia sebuah event, panitia berkeputusan untuk meberdayakan warga untuk mengelola parkir peserta acara.

Tak disangka, oknum dari warga malah memanfaatkannya dengan menarik tarif yang sangat tinggi. 20 ribu rupiah untuk mobil, dan 10 ribu rupiah untuk motor. kami sebagai panitia betul-betul habis disemprot oleh peserta yang terkejut dengan tarif parkir yang'diketok'.

Dimana pangkal atau hulu problematika ini bermula? mengapa anak muda kita lebih menyegani bekerja sebagai tukang parkir liar dibanding menjadi karyawan, pekerja kreatif dan pekerjaan lainnya. Singkatnya, menjadi tukang parkir liar tidak perlu skill. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun