Dalam negara Myanmar, etnis yang mendominasi pada negara tersebut adalah etnis Burma yang mayoritas beragama Buddha. Berdasarkan identitasnya, etnis Burma menganggap posisi etnisnya sebagai etnis yang mendominasi atas etnis minoritas yaitu etnis Rohingya yang beragama Islam. Karena faktor minoritas etnis Rohingya tersebut, memicu adanya konflik kekerasan yang terjadi antara pasukan militer Myanmar yang beragama Buddha dan etnis Rohingya yang beragama Islam berupa serangan militer, penyiksaan, serta pengusiran. (Wahyuni, 2016)
Konflik kekerasan yang terjadi, pada dasarnya telah menimbulkan penderitaan bagi minoritas muslim etnis Rohingya. Ketakutan etnis Rohingya akan pemerintahan negaranya sendiri, telah mendorong muslim Rohingya untuk mengungsi ke negara-negara terdekat. Pada hakikatnya, diskriminasi atas etnis Rohingya ini diakibatkan karena adanya faktor politik identitas. Kebencian mayoritas masyarakat Rakhine terhadap etnis Rohingya, dipicu karena faktor agama dan dianggap bukan warga negara asli Myanmar. Disamping itu, etnis Rohingya juga dianggap sebagai ancaman bagi nasionalisme negara dan pesaing dalam memperoleh sumber daya alam.
Berbicara terkait status kewarganegaran, etnis Rohingya tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintahan Myanmar sebagai warga negaranya sendiri. (Mitzy, 2014) Hal ini dapat dicermati melalui Kebijakan Burmanisasi (Burma Citizenship Law) yang menyatakan bahwa etnis Rohingya tidak berhak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan, hak atas kepemilikan tanah, hak atas memperoleh pendidikan, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan sebagainya.
Level Analisa: Negara
Dalam level analisa negara, kajian ini diarahkan pada pengaruh yang diberikan sekelompok orang dalam negara terhadap tindakan atau keputusan yang diambil oleh negara. Karena latar belakang konflik ini terdapat peran pemerintah berupa kebijakan Burmanisasi, maka level analisa dalam konflik ini digolongkan sebagai negara.
Konsep: Human Security
Human Security Theory adalah salah satu bentuk critical theory yang tercipta karena keamanan individu sama pentingnya dengan keamanan negara dan tidak dapat dijelaskan dengan teori Realisme yang hanya berpusat kepada negara sebagai subjek penelitiannya. Ken Booth dan Robert Cox memperluas konsep terkait keamanan manusia hingga mencakup individu dan aktor negara lainnya, karena kegagalan realisme dalam menjelaskan penekanan objek selain negara. Definisi keamanan manusia menurut beberapa ahli adalah, kebebasan dan keamanan dari semua ketakutan serta pencapaian kesejahteraan dalam aspek kehidupan manusia.
Berdasarkan konsep human security, dapat kita cermati bahwasannya pemerintahan Myanmar dapat dinilai gagal dalam mengamankan warga negaranya. Pemerintah yang dianggap masyarakat dapat mengamankan hak hidup masyarakat pada suatu negara, justru telah menjadi ancaman bagi etnis minoritas muslim Rohingya.
Analisa Pohon Konflik
- Daun: Krisis Pengungsi
Ditinjau dari data yang bersumber dari laman berita BBC, sejumlah besar etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh pada tahun 2017, dan bergabung dengan ratusan ribu etnis Rohingya yang telah mengungsi pada tahun-tahun sebelumnya. (BBC, 2020) Krisis pengungsi Rohingya merupakan dampak dari kasus konflik Rohingya. Sejumlah Perampasan hak-hak minoritas etnis muslim Rohingya layaknya ketiadaan pengakuan kewarganegaraan, hak untuk memperoleh pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, dan sebagainya telah menciptakan penderitaan dan ketakutan bagi minoritas muslim Rohingya sehingga mendorong mereka untuk mengungsi ke negara-negara terdekat.
- Batang: Kebijakan Burmanisasi
Kebijakan Burmanisasi yang dibentuk oleh pemerintah Myanmar semasa rezim Ne Win, mencerminkan diskriminasi terhadap minoritas etnis muslim Rohingya. Dalam kebijakan ini, menyatakan bahwasannya etnis Rohingya tidak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan (state less), pembatasan hak-hak pada akses sosial seperti hak untuk memperoleh pendidikan, hak atas kepemilikan tanah, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, dan sebagainya. (Ullah, 2016)
- Akar: Faktor Agama