Sebelum memulai proses pembelajaran kesiapan peserta didik untuk menerima ilmu yang disampaikan oleh guru menjadi faktor penting dalam keberhasilan proses belajar mengajar. Readiness (Kesiapan) belajar merupakan individu yang memiliki fisik dan mental optimal untuk menerima dan merespons berbagai materi yang diajarkan. Banyak faktor yang mempengaruhi kesiapan belajar yaitu kesehatan fisik, kondisi mental serta lingkungan belajar yang kondusif. Sebagai contoh seorang anak yang sedang tidak memiliki kesehatan fisik dan tetap mengikuti proses pembelajaran ilmu yang diterima tidak akan sama dengan teman sekelasnya yang sehat secara fisik/jasmani, sebab anak tersebut selama proses pembelajaran akan terpengaruh, tidak fokus pada ilmu yang disampaikan guru karena ia terus merasa tidak nyaman dengan sakit yang dirasakannya. Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk memastikan bahwa siswa berada dalam kondisi siap sebelum memulai pembelajaran agar hasil yang diinginkan dapat tercapai secara maksimal.
Teori belajar behavioristik adalah suatu teori pembelajaran yang akan mengerti sebuah sifat manusia yang akan mengimplementasikan pendekatan objektif, materialistik serta mekanistik, dalam hal ini perubahan sifat pada diri seseorang dapat dilihat melalui upaya pengkondisian. Teori ini lebih fokus pada hasil dari proses pembelajaran, contohnya mendapat nilai yang tinggi atau bagus. Teori belajar behavioristik terbagi dalam dua bentuk yakni stimulus dan respons. Dalam teori nya biasa disebut sebuah teori S-R (Stimulus-Respon). Stimulus artinya sebuah rangsangan digunakan dalam menaikan sebuah prestasi atau membentuk perilaku, kemudian respon artinya sebuah tanggapan yang dapat dilihat setelah pemberian stimulus.
Teori Behavioristik menurut para ahli:
1. Teori Classical Conditioning Ivan Petrovich Pavlov
Classical conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dengan melibatkan perangsang asli dan netral yang dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Hal terpenting dalam belajar menurut teori classical conditioning adalah adanya latihan latihan yang terus-menerus, agar menghasilkan perilaku yang terjadi secara otomatis.
2. Teori Operant Conditioning Burrhus Frederic Skinner
Teori belajar Operant Conditioning merupakan teori yang dikembangkan atau yang dibuat oleh Burrhus Frederic Skinner yang muncul pada tahun 1930 an untuk melengkapi atau menutupi kekurangan dari teori belajar Classcical Conditioning yang dikembangkan atau yang dilahirkan oleh seorang toko yang Bernama Pavlov. Teori belajar Operant Conditioning ialah sebuah teori yang mengkaji tentang suatu penguatan yang terdiri dari system reward and punishment. Teori ini mengembangkan system pemberian hadiah dan pemberian hukuman kepada peserta didik apabila peserta didik melakukan proses pembelajaran dengan baik, maka akan diberikan hadiah atau penghargaan kepadanya, sedangkan apabila peserta didik melakukan atau kurang dalam mengikuti pembelajaran, maka akan mendapatkan sesuatu yang berbanding terbalik dengan pemberian hadiah sebelumnya. Sistem ini disebut dengan system penguatan positif dan system penguatan negatif. Pembelajaran berbentuk ini memiliki kelebihan dan kekurangan, apabila kita melihat dari segi penguatan positif, maka anak-anak yang aktif atau pemberani, maka ia akan lebih terdominasi atau lebih unggul, sedangkan apabila dilihat dari segi sisi penguatan negatif, maka peserta didik akan tetap dengan biasanya dan tidak ada kemajuan atau perubahan sama sekali ketika mengikuti pembelajaran.
3. Teori Connectionism/Connectivisme George Siemens
Teori Connectivisme tersebut teori pembelajaran di era digital, sebab teori ini berusaha menjabarkan kegiatan pembelajaran yang kompleks di dunia digital sosial yang berkembang pesat. Sejak awal teori connectivisme diposisikan sebagai teori belajar alternatif yang lebih konsisten dengan lingkungan yang selalu berubah dan respon alami dan logis terhadap perubahan teknologi. Teknologi telah merubah cara hidup kita, cara berkomunikasi, cara belajar dan cara mengajar. Berikut beberapa prinsip teori connectionism George Siemens:
a) Pembelajaran dan pengetahuan terletak pada keragaman pendapat
b) Belajar adalah proses menghubungkan simpul khusus atau sumber informasi
c) Belajar mungkin berada di peralatan non-manusia
d) Kapasitas untuk mengetahui lebih banyak lebih penting daripada apa yang diketahui saat ini
e) Kemampuan untuk melihat hubungan antara bidang, ide dan konsep adalah keterampilan inti.
f) Mata uang (pengetahuan yang akurat dan terkini) adalah tujuan dari semua aktivitas pembelajaran conektivis
g) Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan proses pembelajaran.
Teori belajar humanistik adalah teori yang berfokus pada perkembangan positif manusia dan kemampuannya untuk menemukan potensi diri. Teori ini memandang bahwa proses belajar lebih penting daripada hasil belajar, dan bahwa manusia berhak untuk mengenal dirinya sendiri. Selain lebih berfokus pada proses, teori ini juga sering disebut dengan Teori yang memanusiakan manusia. Pendekatan humanistik mengutamakan peranan peserta didik dan berorientasi pada kebutuhan. Menurut pendekatan ini, materi atau bahan ajar harus dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan orang secara utuh, bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Seperti hal nya pendidik, peserta didik adalah manusia yang mempunyai kebutuhan emosional, spritual, maupun intelektual. Peserta didik hendaknya dapat membantu dirinya dalam proses belajar mengajar. Peserta didik bukan sekedar penerima ilmu yang pasif.
Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai- nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif. Pendekatan sistem bisa dapat di lakukan sehingga peserta didik dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktivitas-aktivitas kreatif yang mungkin dilakukan.
Teori Humanistik menurut para ahli:
1. Teori Arthur Combs
Arthur Combs juga mengatakan, bahwa setiap orang memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Pada intinya, Combs menjelaskan hal tersebut ke dalam lima hal yang berkaitan dengan pandangan psikologi humanistik, antara lain: keterbatasan fisik, kesempatan, kebutuhan manusia, konsep diri dan penolakan akan ancaman. Kelima hal tersebut harus diperhatikan secara seksama oleh para pendidik, karena kelima hal tersebut merupakan hasil interaksi peserta didik di dalam lingkungannya yang dapat menghambat peserta didik dalam mengembangkan potensinya. Maka, para pendidik di lembaga-lembaga pendidikan memerlukan pemahaman yang kuat terhadap peserta didik, agar proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan kondusif dan fleksibel.
2. Teori Abraham Maslow
Teori Maslow adalah bahwa kebutuhan tersusun dalam suatu hirarki. Kebutuhan di tingkat yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologi dan kebutuhan ditingkat yang paling tinggi adalah kebutuhan aktualisasi diri. Maslow mengasumsikan bahwa orang yang berusaha memuaskan kebutuhan yang mendasar (kebutuhan fisiologi) sebelum mengarahkan perilaku mereka pada pemuasan kebutuahan ditingkat yang lebih tinggi. Kebutuhan hirarki menurut maslow:
1) Kebutuhan fisiologi / dasar seperti makan dan minum,
2) Kebutuhan akan rasa aman nyaman dan tentram seperti terhindar dari kriminalitas, binatang buas, diejek direndahkan dll,
3) Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi seperti bagaimana rasannya dianggap dikomunitas sosialnya,
4) Kebutuhan untuk dihargai seperti rasa bagaimana dibutuhkan untuk kepercayaan dan tanggung jawab dari orang lain,
5) Kebutuhan aktualisasi diri untuk membuktikan dan menunjukkan dirinya terhadap orang lain.
3. Teori Carl Roggers
Teori belajar Rogers menekankan pentingnya penerimaan tanpa syarat terhadap individu. Bagi anak-anak, hal ini sangat vital karena menciptakan lingkungan di mana mereka merasa diterima dan dihargai apa adanya. Penerimaan tanpa syarat membantu anak mengembangkan konsep diri yang positif dan rasa kepercayaan diri. Setiap anak memiliki keunikan, potensi, dan cara belajar yang berbeda. Teori belajar Rogers menekankan penghargaan terhadap keunikan ini. Menghargai dan memahami cara anak belajar, minatnya, dan kebutuhannya adalah kunci untuk menciptakan pengalaman pembelajaran yang bermakna dan relevan. Teori belajar Carl Rogers memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung perkembangan integral anak-anak. Urgensinya terletak pada kemampuannya untuk memberikan panduan bagi pendidik dalam membentuk hubungan yang positif, memberdayakan anak-anak, dan memotivasi mereka untuk menjadi pelaku aktif dalam pembelajaran.
Jadi, Kesiapan (readiness) dan kematangan merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam proses pembelajaran. Kesiapan belajar mencakup kondisi fisik dan mental yang optimal untuk menerima materi. Dalam hal ini, teori-teori belajar berperan besar, seperti teori behavioristik yang menekankan pada perubahan perilaku akibat stimulus dan respons, serta penguatan sebagai komponen utama dalam pembelajaran. Di sisi lain, teori humanistik menekankan pentingnya pemahaman diri dan motivasi intrinsik dalam pembelajaran, di mana individu tidak hanya belajar untuk memperoleh pengetahuan, tetapi juga untuk mencapai aktualisasi diri. Kematangan, baik fisik maupun mental, sangat menentukan kesiapan seorang individu untuk belajar dan beradaptasi dengan tantangan yang lebih kompleks. Dengan demikian, proses pembelajaran yang efektif harus mempertimbangkan aspek kesiapan dan kematangan siswa. Pendekatan yang tepat akan memfasilitasi perkembangan yang optimal, serta memastikan siswa mampu menghadapi proses belajar dengan lebih baik dan hasil yang memuaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H