Peraturan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintah tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 masih belum terimplementasi dengan sempurna di Indonesia.Â
Dalam bidang politik, guna mendukung kesempatan ini, disahkan UU No.10 tahun 2008 (Pemilu DPR, DPRD dan DPD) serta UU No.2 tahun 2008 (Partai Politik) untuk memenuhi Affirmative Action yang menetapkan jumlah minimal 30% keterwakilan perempuan dalam politik. Namun, melalui data Komnas Perempuan, jumlah keterwakilan 30% perempuan di lembaga legislatif masih belum memenuhi harapan meskipun telah diadakan pemilu beberapa kali.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apa saja faktor yang membuat keterwakilan 30% politik perempuan di Indonesia terhambat untuk direalisasikan? Kemudian, guna menjawab pertanyaan tersebut, hadir penulisan ini untuk mengetahui kendala yang menghambat keterlibatan dan keterwakilan 30% perempuan di ranah politik Indonesia serta menganalisa faktor penyebab dan solusi dalam memenuhi kuota keterwakilan perempuan.Â
Faktanya, hasil sensus penduduk tahun 2010 terdapat 49% perempuan dari total jumlah penduduk Indonesia, dimana angka ini menunjukkan kondisi ideal untuk perempuan dalam perpolitikan Indonesia seharusnya setara atau dengan rasio dengan laki-laki. Tetapi hal berbanding terbalik terjadi, dimana dari pelaksanaan pemilu hasilnya hanya mengalami sedikit peningkatan perihal pemenuhan jumlah wakil perempuan.
Faktor penghambat, siapakah yang salah?
Secara umum, terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu (1.) terdapat dalam sistem hukum, meliputi penegakkan hukum seperti Undang-Undang, sarana dan prasarana. Kemudian (2.) Di luar sistem hukum faktor kesadaran hukum masyarakat, perkembangan, kebudayaan dan penguasa negara. Kendala mengenai kuota ini juga dipengaruhi oleh peran partai politik, efektivitas hukum, dan penerimaan kultural. Hambatan kultural yang kerap ditemui adalah budaya patriarki yang masih kental, membuat keberadaan perempuan dianggap tidak memiliki kompetensi setara dengan politisi laki-laki.Â
Mayoritas partai hanya memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan secara formalitas untuk menuruti aturan tanpa berusaha untuk memanfaatkan potensi politisi perempuan yang ada, partai memakai cara instan dan pada akhirnya karena permasalahan waktu, rekruitmen caleg perempuan menjadi kurang maksimal.Â
Hasil dari rekruitmen ini pun menghasilkan caleg perempuan yang dianggap masyarakat kurang kompeten untuk mewakili mereka, karena masyarakat tidak mengenal siapa caleg perempuan yang dicalonkan partai politik dan bagaimana rekam jejak calon. Partai politik tidak menyediakan program pemberdayaan dan peningkatan kualitas kader perempuan di partai khususnya yang menjadi caleg.
Efek yang ditimbulkan
Bahkan hingga saat ini, belum ada sanksi untuk partai yang belum melaksanakan perintah UU berkaitan 30% keterwakilan ini, selama ini sanksi yang berjalan berupa sanksi sosial dan administratif dimana berkas daftar caleg dikembalikan. Namun, sanksi pencoretan partai di dapil tertentu apabila tidak memenuhi kuota 30% dalam pencalegan mulai diterapkan, meskipun begitu tetap saja aturan ini hanya mengatur pencalegan, tidak sampai akhir pemilu karena hasil pemilu ditentukan oleh masyarakat. .
Hal ini menyebabkan UU pemilu sebagai aturan hukum pemilihan umum legislatif hanya dimaknai sebagai aturan administratif pelaksanaan pemilu, tanpa melihat substansi dan tujuan dari UU pemilu tersebut.Â