"Selamat sore, Pak." Sapa seorang dokter bertubuh tinggi itu. Di lehernya tergantung sebuah stetoskop berhiaskan boneka kecil. Sangat mencirikan bahwa ia adalah seorang dokter anak.
   "Lho, Claranya tidak ikut Pak?" Tanya dokter itu pada Dio. Karena dia mengira Clara ikut ternyata yang ikut bersamanya adalah Jefan.
   "Malam, Dok. Hahaha, ini teman Saya. Clara sudah Saya bawa pulang tadi karena saya takut dia kelelahan." Jawab Dio pada dokter ber-name tag 'Al' itu.
   Dokter Al hanya ber-oh ria.
   "Untung tadi sebelum masuk lab sempat diperiksa dulu oleh dokter umum. Jadi saya masih bisa lihat rekap datanya. Ini hasil tesnya yang baru, Pak. Baru saja sampai beberapa menit yang lalu," Ucap dokter Al sambil memeriksa hasil lab Clara tadi siang dan membandingkannya dengan hasil lab Clara tempo lalu yang Dio tolak.
   Dio mengangguk gugup. Tangannya berkeringat dingin, ia takut mendapat kabar buruk lagi.
   Setelah beberapa menit, dokter Al menatap Dio serius. Tatapannya sulit dimengerti. Dio jadi ketakutan sendiri.
   "Bapak, hasil tes kedua ini isinya masih sama. Dan saya bisa nyatakan bahwa hal ini memang benar adanya. Sesuai dengan rekam medis dari dokter umum, saya juga dapat menyimpulkan bahwa anak bapak divonis Acute Lymphoblastic Leukemia atau yang biasa kita sebut dengan kanker darah." Jelas dokter Al panjang lebar.
   Degggg...
   Jefan menatap Dio terkejut.
   Ternyata begini jika Dio mendengarnya langsung dari mulut dokter terkait. Ia merasa seluruh yang ada di langit-langit runtuh dan menimpanya saat itu juga. Ia takut.
   "Dok, Anda serius?" Tanya Jefan memulai percakapan padahal ia daritadi diam saja. Ia mewakili salah satu pertanyaan yang ingin Dio tanyakan juga.
   Dio merasa kelu.
   Saat ini Dio merasa seperti jantungnya tidak ada di tempatnya. Ia sangat terkejut dan tidak ingin menerima apapun penjelasan yang dokter Al katakan pada Jefan.
   "Pak, denial dan ragu itu pasti di alami oleh semua orang tua yang anaknya divonis sakit. Tapi kita harus sama-sama menerima ini dan berusaha mencari obat terbaik untuk menyembuhkan pasien." Ujar dokter Al.
   Dio merasa ingin menangis detik itu juga. Namun ia tahan dengan egonya sendiri.
   "Pengobatan terbaik apakah yang bisa diberikan pada Clara, Dok?" Tanya Jefan.
   Untung saja Dio mengajak Jefan bersamanya. Kalau tidak, bisa Dio bayangkan mungkin sekarang hanya keheningan yang hinggap di ruangan ini.  Ternyata Jefan sangat membantu Dio yang saat ini tidak bisa bicara apa-apa. Jelas saja, Dio sangat terkejut.
  "Kami belum tahu pasti tindakan apa yang harus dijalani oleh anak Clara. Karena dibutuhkan beberapa tes seperti BMP atau pengambilan sampel sumsum tulang darah, dan beberapa tes lainnya yang dibutuhkan untuk mengetahui pasti kondisi sel kanker dan stadiumnya. Setelah itu baru kami bisa memutuskan. Akankah dengan kemoterapi atau dengan radiologi, atau bahkan dengan donor sumsum tulang belakang," Jelasnya dengan panjang.
  Dio tentu saja menyimak setiap perkataan yang dokter Al jelaskan. Tanpa terkecuali.
  "Besok Saya juga ada di jam praktek yang sama. Clara bisa dibawa kesini untuk saya periksa dan penentuan untuk jadwal tes lainnya. Lebih cepat akan lebih baik. Karena jujur saja, kanker adalah persoalan tentang permainan waktu dan pola hidup." Jelas dokter Al lagi.
  "Apa Clara bisa sembuh, Dok?" Kali ini Dio yang bertanya. Ia sudah tidak tahan. Karena hal itu yang paling penting untuknya sekarang.
  Dokter Al tersenyum.
  "Kami akan melakukan yang terbaik." Jawabnya.
  Mungkin, inilah patah hati seorang Ayah. Saat dihadapi bahwa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Dio tidak bisa membayangkan dengan usia sekecil Clara, ia harus menahan semua rasa sakit itu dan berjuang untuk hidupnya sendiri.
  Dunia benar-benar terasa runtuh tepat di atas kepala Dio saat itu.
  Berkali-kali Dio menyalahkan tuhan dalam hati.
  "Mengapa bukan Aku? Mengapa harus anakku yang mengalaminya?" Tanya Dio dalam hati.
  Tapi tidak ada satupun jawaban yang muncul malam itu. Hanya sendu tak berkehabisan.
***
   "Dio! Tunggu!" Panggil Jefan
   Dio meninggalkan Jefan dibelakang. Setelah selesai konsultasi, Dio langsung bergegas keluar dari ruangan berbau khas obat itu. Berjalan menjauh. Ia ingin cepat-cepat pulang dan tidur berharap kalau semua ini hanyalah mimpi.
   "DIOO!!" Teriak Jefan bersamaan dengan pundaknya yang tertarik ke belakang karena pegangan Jefan.
   "Aku yang nyetir." Ujar Jefan.
   Jefan berusaha merebut kunci mobil di tangan Dio. Tapi Dio menggenggamnya erat. Enggan melepasnya.
   "Dio..." Panggil Jefan melunak.
   "Jef, Aku harus gimana? Aku... Aku tak tahu harus apa? Aku harus ngapain? Aku harus bereaksi bagaimana? Ini mimpi kan, Jef? BILANG KALAU INI MIMPI DAN CEPAT BANGUNKAN AKU!" Frustasi Dio.
   Di parkiran yang tidak ramai ini, Dio menjatuhkan lututnya ke tanah. Ia menangis. Pertahanan yang dibangun tinggi olehnya tadi mendadak runtuh semua.
   "Dio, jangan begini. Ayo kita pulang dulu, kita bicarakan di rumahmu." Ajak Jefan pada Dio.
   "Dia bahkan takut dengan jarum suntik, Jef. Kau tahu bagaimana tadi susahnya membujuk dia supaya dia mau di ambil darah? Jef, melihatnya tadi siang di suntik saja hatiku sakit sekali. Menjadi Ayah saja aku tidak benar. Aku tidak pantas dipanggil Ayah. AKU TIDAK PANTAS MENJADI AYAHNYA CLARA." Ungkap Dio putus asa.
   "Dio. Kau tidak bisa menyelesaikan masalah jika kau terus begini. Ayo Dio, kau bisa. Kita bisa. Ada Aku, ada Amara. Kita akan membantumu.  Dunia belum berakhir. Kita pasti bisa mencari jalan keluar untuk kesembuhan Clara. Kau harus yakin. Clara pasti sembuh. Jika kau begini terus dan ragu, gimana nanti Clara?" Ucap Jefan berusaha menenangkan Dio.
   Jefan menarik lengan Dio untuk bangun dari posisi berlutut. Ia memegang bahu Dio dengan kedua tangannya, menatap Dio serius.
   "Kau tidak boleh terlihat lemah seperti ini di hadapan Clara. Kau harus kuat. Kau harus lebih kuat dari Clara. Dia butuh Kau, hanya Kau yang dia punya sekarang. Kau harus bisa membawa Clara untuk tetap tegar dan kuat menghadapi ini semua," Jefan berusaha menguatkan Dio.
   Pikiran Dio kembali berkelana ke bagian bagaimana kebersamaan dan chemistry antara ayah dan anak itu. Bagaimana ia menghabiskan waktu dengan Clara, bagaimana tingkah Clara yang selalu membuat dirinya tertawa.
   Clara terlalu sempurna untuk semua kegelapan ini. Ia adalah cahaya matahari yang terlalu bersinar. Karena hal tersebut juga, Dio jadi meragukan perkataannya. Bagaimana bisa, sinar teriknya diredupkan bahkan saat usianya masih belia seperti sekarang?
   Jefan membukakan pintu mobil di belakang Dio. Entah sejak kepan ia mengambil alih kunci mobil yang ia genggam erat tadi.
   "Yuk, masuk. Clara pasti menunggu ayahnya pulang." Ajak Jefan pada Dio.
   Baiklah, ini sudah saatnya. Ia harus baik-baik saja di depan Clara.
***
   Dio membawa Clara pulang ke rumah. Ia mendekap tubuh mungil anaknya itu seolah tidak ada hari esok. Tubuh Clara terasa sangat hangat. Sampai-sampai Dio bisa terlelap di sampingnya sembari menggumamkan doa-doa dan cerita yang ia ucapkan dalam hati yang ia jadikan sebagai tanda bahwa ia tidak ada tempat berserah diri dan tempat cerita lain selain mengadu kepada Tuhan yang menciptakan semuanya. Termasuk penyakit Clara.
   Kurang lebih beginilah isi dari doa dan harapannya,
   "Tolong bangunkan Aku dari mimpiku. Kembalikanlah keceriaan anakku." Gumam Dio dalam hati.
***
   Drrrtt... drrrtt.... drrrtt.....
   Ponsel Dio bergetar, ada telepon masuk dari Jefan.
   "Halo..." Dio mengangkatnya dan menyapa orang di ujung sana.
   "Halo, Dio. Jam berapa mau ke rumah sakit? Aku mau ikut." Tanya Jefan pada Dio.
   "Tidak usah. Aku saja sama Clara." Tolak Dio.
   "Yakin?" Tanya Jefan memastikan.
   "Jam 5 sore." Jawab Dio pada akhirnya.
   "Tapi, Jef. Haruskah Aku memberitahunya?" Tanya Dio ragu.
   "Tentang apa?" Tanya Jefan kembali.
   "Ya tentang ini, sakitnya dia." Jawab Dio.
   "Dio. Itu tubuhnya. Dia seharusnya tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Harus. Kau tidak boleh menyembunyikan 1 fakta pun tentang penyakitnya dia." Jelas Jefan.
   "Aku takut, Jef. Takut kalau setelah Aku beritahu, dia tidak akan seceria dulu lagi. Aku takut dia bakal down." Aku Dio.
   "Dio. Sekarang Aku tanya, siapa yang dulu memelukmu, membantu menggenggam tanganmu, memberikan mu payung, dan menyuruhmu untuk tidak menangis setelah pemakaman istrimu? Dia Clara. Di umurnya yang masih 5 tahun, tidak mengerti apapun. Padahal dia juga kehilangan ibunya. Harusnya dia yang lebih sedih gak sih? Tapi Kau lihat apa yang dia lakukan? Apa pernah dia jadi murung dan tidak bersemangat setelah itu? Dia malah membantumu, menghiburmu. Membantumu untuk bangkit dari keterpurukan. Hanya itu yang bisa ku ingatkan padamu. Sekarang kau bantu dia untuk bangkit, semangati, bantu dia mengembalikan cahaya terangnya. Paham? Aku akan menjemput Amara dan Clara di sekolah. Kau langsung saja pergi ke rumah sakit, Kita menyusul." Jefan berusaha mengingatkan Dio tentang sesuatu yang mengungkit memori yang telah Dio kubur selama bertahun-tahun.
   Tuttt... tutt... tutt...
   Sambungan telepon terputus.
   Jefan benar. Clara selama ini tidak pernah mengeluh walau harus hidup dengan satu orang tua saja, tanpa seorang ibu. Ia selalu tau cara tersenyum, bahagia, ceria. Ia juga selalu tau cara menarik Dio kembali dari kegelapan.
   Wah.
   Memikirkannya saat ini pun mampu membuat Dio benar-benar ingin menangis.
***
   "AYAAAHHHHH." Clara berteriak memanggil Dio.
   "Wah. Wah, benar-benar deh, Ayah. Ayah mau lihat Clara ngamuk dan berubah jadi barongsai, ya? Kenapa Clara dibawa ke rumah sakit lagi sama Om Jefan? Kata Om Jefan, Om Jefan janjian sama Ayah di sini. Ini tangan Clara saja belum sembuh, Ayah. Bagaimana bisa mau di suntik lagi?" Clara marah-marah pada Dio.
   "Maaf ya, Clar. Om Jefan bawa kamu kesini karena ada yang mau ketemu dan bicara sama kamu." Kata Jefan.
   "Tapi Clara Tidak mau di suntik lagi ya!" Ucap Clara menegaskan.
   "Iyaaa, Cepat sini masuk ke ruangannya. Dia sudah menunggumu." Jawab Dio.
   Dio membiarkan Dokter Al untuk berbicara dengan Clara mengenai keadaan tubuhnya yang sekarang. Dio berfikir bahwa Dokter Al akan mempunyai bahasa yang bisa lebih dimengerti oleh anak seumuran Clara.
   "Clara..." Panggil Dio.
   Clara dan Dio sudah keluar dari ruangan Dokter Al. Clara tampak memperhatikan seluruh penjelasan dari Dokter Al dengan seksama. Ia juga tidak memberikan respon seperti marah ataupun berteriak seperti tadi sebelum masuk ruangan Dokter Al. Ia hanya duduk diam mendengarkan, itu aneh.
   Jantung Dio lagi-lagi terasa berdetak kencang. Takut kalau semua yang ada di kepala Dio benar. Dio mengajaknya duduk di kantin rumah sakit membicarakan semua hasil diskusinya bersama Dokter Al. Tentu saja sambil memesan minuman favoritnya, Susu Coklat.
   "Ayah..." Panggil Clara.
   Dio menatapnya, merasa gugup. Tetapi saat Dio menatap maniknya, tidak ada raut sedih maupun kecewa disana.
   Dio mengerutkan kening, bingung.
   "Jadi... Clara sakit kayak yang di film-film itu ya?" Tanyanya polos.
   Dio mengangguk pelan.
   "Oh..." Lanjutnya pelan
   Hah?
   Tatapan Dio berubah menjadi kebingungan. Bagaimana bisa responnya sesantai itu? Apakah Clara sangat shock?
   "Clara, apa Kau tidak sedih?" Tanya Dio pada Clara. Pertanyaan retoris tentunya.
   "Sedih. Tentu saja sedih sekali. Pasti nanti Clara akan merasakan sakit seperti saat flu kemarin bukan? Tapi kalau Clara sedih terus, nanti Ayah juga ikut sedih. Clara tidak mau jika Ayah ikut sedih. Lagipula, kata Dokter Al Clara bisa sembuh kok. Tapi harus sabar dan tidak boleh bandel, kan?" Jelasnya.
   Manik mata Clara bertemu dengan manik mata Dio yang sudah sedikit berkaca-kaca. Ia memikirkan Dio jauh sebelum memikirkan dirinya sendiri. Ia takut Dio sedih. Clara jauh lebih tegar dan kuat dari yang Dio bayangkan.
   "Tuh kan, Ayah nangis. Clara tidak mau melihat Ayah seperti ini. Ayah... Clara gak jadi sedih deh-" Ucap Clara terpotong.
   Belum ia menyelesaikan kalimatnya, Dio sudah merengkuhnya dalam pelukan Dio. Menitikkan air mata sambil mendekapnya.
   "Ayaaahhh, Sudah ya. Malu di liatin orang-orang, malu juga sama Amara." Ujarnya sambil menunjuk Amara yang tampak memperhatikan Dio dan Clara.
   "Yah... Tapi jujur... Clara takut. Clara beneran bisa sembuh kan?" Tanyanya.
   Dio terdiam mendengar pertanyaannya. Tapi ia mengingat perkataan Jefan. Dio tersenyum pasti dan menggenggam kedua tangan Clara. Mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Clara.
   "Bisa. Anaknya Ayah kan kuat. Clara pasti sembuh. Percaya ya sama Ayah?" Tanya Dio sambil menyalurkan energi pada Clara.
   Clara mengangguk pasti.
   "Ayah..." Panggil Clara
   "Hmmm..." Dio hanya menjawabnya dengan deheman.
   "Satu lagi. Clara mau diobati tapi tidak mau di suntik." Ungkapnya.
   Duh, inilah masalah utamanya.
   Jefan duduk di samping Dio. Ia menatap Dio dengan tatapan bingung sambil melirik Clara bergantian dengan menatap Dio. Ia heran bagaimana bisa Clara sesantai itu dan kembali bermain dengan Amara setelah ia membicarakannya dengan Dio.
   Dio tersenyum penuh makna. Dio bangga pada Clara, bahkan sampai kapanpun.
***
   "Clara." Panggil Dio.
   Clara menoleh.
   "Besok jangan makan apa-apa ya? Dari pagi. Tapi nanti malam Ayah belikan Soto Nayla kesukaan Clara." Dio sedang bernegosiasi.
   "Lho? Kenapa, Yah? Kita mau puasa ya?" Tanyanya bingung.
   "Iya. Kita juga mau tes, kan kemarin sudah janji sama Dokter Al. Oke kan?" Tanya Dio memastikan
   "Iya, Oke Ayah. Ayah sudah bilang pada Dokter Al?" Tanyanya.
   "Bilang apa?" Jawab Dio
   "Bilang kalau Clara tidak mau disuntik." Jawabnya polos.
   Dio kikuk.
   "Sudah sana tidur." Dio mengalihkan pembicaraan.
   "IH JAWAB DULU AYAH." Clara berteriak.
   "Tidak Tahu, Dokter Al kan bukan teman Ayah." Jawab Dio seadanya.
   Sang empu tidak mendapat jawaban puas. Ia hanya menggembungkan pipinya kesal, lucu sekali anak itu.
***
   "Ayah, Clara lapar..." Ucap Clara.
   Itu adalah hal pertama yang Clara ucapkan saat ia sudah mengganti bajunya dengan baju khusus rumah sakit.
   Hari itu ia akan melaksanakan tes yang dimaksud. Ia akan menjalani tes BMP.
   BMP kurang lebih prosedurnya seperti gambar dibawah ini. Mungkin untuk yang lebih lanjut dan lebih pastinya bisa dicari di internet.
   Clara tampak pucat, gugup, dan wajahnya terlihat sangat tidak tenang walaupun ia terus berlagak ingin terlihat baik-baik saja.
   Dio paham. Ia takut.
   Clara meminum obat yang diberikan oleh dokter. Perlahan-lahan ia mulai mengantuk, lalu Dio membaringkannya sembari mengelus surai hitamnya.
   Kala itu menjadi hari yang paling menyayat hati bagi Dio. Bagiamana tidak, Dio menyaksikan dengan jelas bagaimana jarum besar itu masuk ke punggung Clara. Bukan sebuah pemandangan yang ingin Dio lihat. Ditambah lagi, suara rintihan Clara yang meminta untuk segera dihentikan, ia kesakitan. Sangat. Saat bahkan sudah diberi anestesi sebelumnya.
   "Ayah... sakit..." Lirihnya.
   Dio menggenggam tangan Clara, berusaha untuk menyalurkan kekuatan yang ia punya. Tapi nihil. Ia tetap melenguh kesakitan tak berdaya.
   "Aaaaaa..... Sakit.... Aku sudah tidak tahan lagi" Begitu ucapannya.
   Hati Dio sakit mendengarnya.
   Dari situ perasaan Dio sebagai seorang ayah lagi-lagi hancur karena ia tahu, ia tidak bisa melakukan apapun untuk mengurangi rasa sakit yang Clara derita.
***
   "Ayah..." Panggil Clara.
   Ini hari ketiga setelah Clara menjalani BMP. Dari kemarin lusa ia tak bisa menghilangkan rasa tidak nyaman yang menjulur hingga ke kaki. Kepalanya pusing karena nyeri.
   Bagaimana Dio tahu?
   Tentu saja dari celotehan Clara yang tidak pernah berhenti. Tidak terhitung sudah berapa kali ia mengucapkan "Yah, sakit..." dalam 3 hari ini.
   "Sakit, Yah." Ujarnya sambil menahan sakit.
   Dio akan mulai menghitung kata ini sekarang agar bisa mengingatkannya pada perjuangan Clara.
   "Sabar ya Sayang..." Dio berusaha menenangkan Clara.
   Dio bingung.
   "Ini sakit banget. Badan Clara seperti ditusuk puluhan jarum. Kakinya pegel banget. Sakit, Yah." Keluhnya lagi.
   "Sabar. Soalnya virus jahatnya lagi di bunuh-bunuhin. Makanya sakit banget. Sabar ya?" Lagi-lagi Dio berusaha menenangkan Clara dengan kata 'sabar'.
   Clara mengangguk pasrah. Ia mengambil ponsel miliknya, dan mulai membuka aplikasi yang menyediakan tontonan yang biasa ia tonton. Dengan itu, setidaknya Clara tidak akan mengeluh sakit sampai 2 jam kedepan.
***
   Hari-hari setelah Clara menjalani tes berlalu begitu cepat. Rangkaian hasil tes sudah di infokan begitu pula dengan tahap pengobatan selanjutnya.
   Clara malam ini tiba-tiba demam tinggi. Tadi Dio sempat khawatir takut Clara kenapa-kenapa. Besok juga Clara akan menjalani kemoterapi pertamanya. Akan tetapi, setelah ia tanyakan pada Dokter Al rupanya itu wajar. Clara masih ada traumatic fever akibat BMP-nya tempo lalu. Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Yang penting hari esok trombositnya sudah mencukupi untuk mengikuti kemoterapi.
   Namun yang Dio khawatirkan adalah, bagaimana caranya ia membujuk Clara kembali agar ia mau menjalani pengobatan yang ada suntiknya.
   Dio kebingungan sendiri. Sampai akhirnya ia menghubungi Jefan, sahabatnya.
   "Duh, Jef. Aku bingung." Ucap Dio di telepon pada Jefan.
   "Bingung kenapa?" Tanyanya di ujung sana.
   "Clara besok mau Chemo pertama, tapi karena dia demam, Aku konsultasi sama dokternya katanya suruh cek darah dulu. Harus sogok pake apa lagi ya, bingung" Jelas Dio.
   "Oh iya, besok Chemo pertamanya Clara ya? Aku bawakan hadiah saja nanti. Aku tanya Amara dia sedang ingin apa." Ucap Jefan.
   "WADUH. Makasih Ya, Jef."
   Oke, Clear.
   "AYAH, TAU GA? Tadi Om Jefan membawakan hadiah untukku. Ia membelikan kamera Instax yang Clara idam-idamkan." Teriaknya bahagia.
   Baru saja memasuki kamar rawat inapnya, Dio di serbu teriakan bahagia dari Clara.
   Dio tersenyum.
   Clara sangat ceria, seperti namanya. Sepertinya rasa takutnya tadi pagi sudah hilang dalam sekejap.
   "Oh? Bagus dong. Sudah bilang terima kasih?" Tanya Dio pura-pura tidak tahu.
   "Sudahhh!" Jawabnya antusias.
   "Ya sudah, sekarang Clara ambil darah dulu ya sekalian di infus?" Tanya Dio sedikit ragu-ragu. Takut ia menolak
   "Oke. Tapi Ayah sambil bantu aku mengatur Kamera Instax-nya ya?" Ujarnya.
   Lho, Anak ini mudah sekali disogok. Sepertinya ia melupakan bagaimana rasanya disuntik.
   Tapi syukurlah. Dio berterimakasih pada Jefan, ia di selamatkan.
   Itu pikir Dio. Sebelum kegelapan kembali merenggut kebahagiaan yang Clara miliki saat ini.
   Setelah hasil cek lab keluar dan penandatanganan ini itu, kemoterapi dimulai. Dulu Dio pikir, kemoterapi adalah sebuah prosedur yang sangat rumit.Â
Seperti masuk ke dalam ruangan lalu melakukan ini dan itu. Nyatanya, kemoterapi seperti di infus biasa. Bedanya adalah dari cairannya. Cairan itu adalah cairan obat yang akan membuatmu duduk tidak nyaman untuk seharian penuh. Atau mungkin lebih.
   Clara awalnya masih tenang saja, sambil bermain dengan kamera Instax barunya. Tapi selang setengah jam menerima cairan tersebut, badannya mulai gusar. Berkali-kali ia terdiam, lalu memainkan hp dan bergantian dengan kameranya lagi.
   Intensitasnya semakin sering sampai ia memutuskan untuk berhenti. Tangannya mencengkram selimut cukup kuat, sampai buku-buku kukunya berwarna putih. Hingga Dio menyadarinya.
   "Clara? Kau kenapa?" Tanya Dio khawatir.
   "S-sakit, Yah. Perutnya mual banget." Ujarnya terbata-bata.
   Mual adalah salah satu efek dari kemoterapi yang telah diberitahukan dari awal oleh dokter. Dio mengambilkan wadah yang tersedia di sisinya, lalu meletakkannya di pangkuan Clara.
   "Gapapa Sayang, muntahkan saja. Biar mualnya cepat hilang." Jawab Dio sambil memijit bagian pundak Clara agar Clara kembali rileks.
   Lalu, setelah itu berkali-kali rentetan muntah terjadi. Dio sampai memanggil perawat. Dio merasa obatnya ada yang salah. Tapi jawaban seorang perawat membuat Dio ternganga.
   "Iya, Pak. Tidak apa-apa. Itu merupakan salah satu efek samping yang sangat normal untuk kemoterapi," Ucap perawat itu.
   Sangat normal katanya?
   Bayangkan, Dio yang mendengarnya saja bergidik ngeri. Bagaimana bisa Clara menahan semua kengerian ini. Bayangkan saat melihat anakmu hampir terbujur lemas tak berdaya karena sibuk mengeluarkan isi perut yang hampir tidak ada isinya?
   Dio tentunya merasa marah. Ini rumah sakit. Seharusnya Clara merasa lebih baik, bukan malah semakin kesakitan seperti ini. Dio kembali ke kamar dengan kondisi marah, sangat. Saat itu pengobatan hampir selesai.
   Clara tidak lagi memainkan kameranya. Ia menarik nafas panjang, mungkin untuk mengurangi rasa mual di perutnya. Tapi nafas tersebut nampak sakit. Sehingga Dio memanggil kembali perawat dan akhirnya Clara diberikan alat bantu nafas entahlah apa namanya Dio tidak bertanya. Yang jelas Dio ingin Clara merasa nyaman saat itu, walaupun pada kenyataannya tidak. Clara menggunakan alat bantu nafas itu mungkin karena rasa sakitnya, kadar oksigen dalam tubuhnya juga ikut turun.
   Sekarang Clara terdiam. Tapi bukan karena ia merasa tidak mual lagi. Ia sangat lemas, bahkan sampai tidak sanggup untuk bergerak ataupun mengeluh lagi.
   Hati Dio terasa sangat sakit melihatnya. Berkali-kali ia mengucapkan kata maaf dan menggenggam tangan Clara. Dio mengelus surai hitam Clara berusaha menguatkannya. Tapi Clara tetap diam, matanya terpejam walau ia tidak tidur.
   Kini Dio tersadar, mataharinya perlahan-lahan mulai direnggut cahayanya.
   Efek kemoterapi yang Dio pikir hanya berlaku beberapa jam saja ternyata benar-benar salah. Setelah semua pengobatan benar-benar berakhir, Clara malah nampak seperti orang sakit sungguhan.
   Nafsu makannya turun drastis. Bahkan Soto Nayla kesukaannya yang sengaja Dio belikan pun tak ia sentuh sama sekali. Dio sampai kehabisan cara untuk membujuknya makan.
   "Claraaaaa!!!" Teriak Amara dari pintu.
   Jefan mencoba membawa Amara setelah mendengar cerita Dio via telepon. Clara menoleh ke arah Amara, ia tersenyum. Senyum yang telah hilang selama beberapa jam ini.
   Amara mengajaknya main, memainkan kamera barunya Clara. Amara anak yang pintar, ia benar-benar tidak membahas tentang segala pengobatannya Clara. Ia lebih memilih untuk mengesampingkan itu semua dan mengalihkan pikiran Clara.
   Sambil bermain, Dio berinisiatif untuk memberikan susu coklat kesukaan Clara yang ia beri sedotan secara diam-diam. Itu hal favoritnya. Tanpa basa-basi, Dio menyodorkan sedotannya ke mulut Clara. Mungkin karena ia keasyikan bermain, ia melupakan rasa sakitnya dan mulai menyesap susu tersebut sambil asyik bermain dengan Amara.
   "Sekali lagi terima kasih, Jef, Jen." Ucap Dio dalam hati.
***