Frasa pengalihan isu sering kali terdengar bagi kita sebagai masyarakat yang mengonsumsi begitu banyak informasi. Biasanya, frasa tersebut muncul ketika ada suatu berita baru yang mencuri perhatian semua masyarakat saat masih ada berita lain yang seharusnya lebih diberi perhatian. Namun, apakah pengalihan isu itu?
Pengalihan isu dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menutupi suatu kasus tertentu. Kegiatan tersebut adalah memberitakan hal lain lalu menggadang-gadangkannya. Namun sayangnya, sampai saat ini tidak ada bukti konkret mengenai pengalihan isu ini.
Dahulu, mungkin saja media dapat melakukan pengalihan ini. Hal tersebut disebabkan oleh pemerintah yang masih memegang kekuasaan terbesar dalam mengatur segala hal, termasuk kebebasan pers. Bahkan, saat itu, tepatnya tanggal 14 September 1956, tentara juga ikut mengatur pemberitaan dari media massa. Dengan demikian, masuk akal jika pengalihan isu bisa saja terjadi.
Dengan perkembangan zaman dan diikuti oleh perkembangan kebebasan pers dalam berkarya, seharusnya pengalihan isu tak lagi ada. Apa lagi dengan terus berpaku pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai jurnalis yang bekerja di media massa.Â
Pers harusnya berdiri sendiri tanpa perlu ikut campur dari berbagai pihak, bahkan pemerintah sekalipun.
Namun, saat ini begitu banyak media massa yang bertebaran. Akibatnya, antara media satu dan yang lain mau tak mau harus bersaing demi mempertahankan posisinya.Â
Semua media berlomba-lomba memberitakan apa yang sekiranya masyarakat butuhkan.
Jika hal ini terus terjadi, maka tentu akan berdampak buruk ke depannya. Hal ini dapat diilustrasikan dengan awalan berita korupsi dari salah satu pejabat provinsi.Â
Di awal pemberitaan, bisa saja berita ini mendapat feedback yang bagus bagi media. Engagement masyarakat meningkat dan menjadikan berita ini diikuti terus perkembangannya.
Kemudian, tiba-tiba ada skandal yang dilakukan oleh artis A. Artis A dikenal memiliki basis penggemar dan pembenci yang banyak, sehingga media berlomba untuk memberitakannya.Â
Apabila berita skandal artis lebih 'menjual' dibanding berita mengenai koruptor, maka kemungkinan besar media akan lebih mengikuti perkembangan skandal artis tersebut. Hal seperti ini kemudian akan menutup berita terkait koruptor tadi.
Keadaan dapat diperburuk apabila sebuah media massa terlalu mendewakan uang pada orientasinya. Dengan uang sebagai prioritas utamanya, bukan tidak mungkin media tersebut menerima tawaran kerja sama untuk mengada-adakan berita.Â
Media massa seperti itu dapat merusak citra dari keseluruhan media di mata masyarakat serta melanggar hukum yang berlaku.
Dengan menerima suapan untuk menutup suatu berita lain, maka media massa tersebut sudah melanggar tujuan dari keberadaan KEJ. KEJ diberlakukan dengan tujuan agar melindungi ekstensi profesional, mencegah kecurangan dan manipulasi yang terjadi.Â
Jika dianalisis dari pasal-pasalnya, maka tindakan tersebut sudah melanggar total pasal 6 dalam KEJ yang berbunyi "wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap."
Apalagi jika yang harus dikeluarkan saat menerima suap adalah berita hoaks. Berita hoaks sangat dilarang di seluruh bagian peraturan mengenai pers.Â
Jika dilakukan penyebaran atas berita tidak benar tersebut, maka ada tiga pasal yang dilanggar, yakni pasal 1, 2, dan 3 dalam KEJ.
Pasal 1 KEJ berbunyi, "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk." Menyebar berita hoaks bahkan sudah melanggar keempat poin utamanya. Hal ini membuktikan seberapa tidak terpujinya tindakan tersebut.
Pasal 2 KEJ berbunyi, "Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik." Menerima suap tentu bukan tindakan profesional, melainkan tindakan kotor yang mencoreng nama baik media massa dan jurnalistik.
Terakhir, pasal 3 KEJ berbunyi, "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah." Penyebaran hoaks tentu tidak melalu proses-proses yang dijelaskan pada pasal tersebut. Sehingga, dapat dikatakan tindakan tersebut juga mencoreng pasal ke 3.
Sebagai masyarakat, tentu kita tidak begitu mengetahui tentang apa yang terjadi di balik meja redaksi. Selama ini, yang dapat kita lakukan hanya menduga-duga terkait pengalihan isu. Namun, ada langkah penting yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi hal ini, yakni pilah-pilih dalam mengonsumsi berita.
Persaingan media massa mengharuskan media tersebut harus mengikuti pasar. Jika selera masyarakat lebih tinggi pada artis dan kurang berminat pada kasus negara, maka boleh jadi media akan mengikutinya. Maka dari itu, mulailah untuk berfokus pada masalah yang merugikan khalayak ramai. Dengan begitu, media dapat perlahan-lahan beralih juga.
Peranan pemerintah juga harus ada dalam mengawasi, bukan mengekang. Jika ada perlakuan yang menentang hukum, maka kegiatan tersebut dapat diproses lebih lanjut. Dengan adanya kerja sama yang baik, maka lingkungan media massa yang positif dapat tercipta lebih cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H