Mohon tunggu...
Diva Yulismayora
Diva Yulismayora Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Suburnya Dinasti Politik Menjelang Pilkada Serentak 2020

10 Desember 2019   11:11 Diperbarui: 10 Desember 2019   11:11 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberpa contoh kasus tersebut sudah cukup membuktikan bahwa dinasti politik  sangat rentan tehadap kasus korupsi. Fenomena tersebut membuat kita bertanya-tanya, apakah tidak ada undang-undang yang mengatur tentang Politik Dinasti? Jawabanya adalah ada, yaitu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang memberikan batasan definisi "tidak memiliki konflik kepentingan" , antaralain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping, dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, adik, ipar, anak, menantu. 

Namun pasal tersebut medapat banyakagugatan hingga membuat MK akhirnya melegalkan dinasti politik dan membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada, yang menyebutkan bahwa syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) tidak memiliki konflik petahana. Hakim Konstitusi berpendapat bahwa meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik dalam memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.

Jika melihat putusan MK tersebut terlihat bahwa politik dinasti  adalah fenomena yang tidak bisa dihindarkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Indonesia yang menganut sistem politik demokrasi, seharusnya bisa memberikan kesempatan lebih bagi setiap orang untuk mencalonkan sebagai pejabat publik, namun karena adanya politik dinasti yang mencuat membuat lawan politik lain kalah, karena kekurangan modal (mahar politik), kurangnya dukungan hingga eksistensi yang telah dimiliki keluarga dinasti politik membuat lawan politik harus mundur atau kalah telak. 

Tidak adanya aturan yang melarang keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam jabatan politik mendorong anggota keluarganya untuk maju mencalonkan diri sebagai pejabat publik.  Padahal fenomena tersebut justru mebuat terhambatnya demokrasi, karena dinasti politik yang hanya mengincar kekuasaan akan  melahirkan korupsi yang melibatkan keluarga, yang membuat keresahan demokrasi mulai terusik. 

Proses demokrasi sendiri membentuk kesadaran suatu bangsa dan meletakkan pola sentimen nasionalisnya. Bagaimana proses itu berlangsung dipengaruhi oleh (1) tahap dan pola perkembangan sosial dan ekonomi NSMD bersangkutan, (2) ketangguhan dan sifat lembaga-lembaga politiknya, dan (3) kepentingan-kepentingan yang memimpin dalam nation-building. 

 Mereka yang terlibat dalam lingkaran dinasti politik sering menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan amanah dan jabatannya. Bahkan ketika sudah tidak lagi menjabat lagi, mereka tetap bisa mengendalikan pemerintahan lewat anggota keluarganya yang juga menjabat dalam instansi pemerintahan. 

Seperti pernyataan populer Lord Acton yang mengatakan kekuasaan cenderung korup "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan amanah dan jabatannya demi kepentingan pribadi seolah-olah tidak peduli dengan nasib rakyatnya dan tentu saja hukum atau kebijakan yang mereka buat sangatlah bertentangan dengan kekuasaan Allah dan Hukum Allah. 

Padahal sudah sejak lama Al-Qur'an berulang-ulang kali memperingatkan, jika suatu umat memiliki kesempatan untuk memegaang kekuasaan disuatu wilayah dan mereka gagal menerapkan hukum da kekuasaan yang berlandaskan pada hukum Tuhan yang telah diwahyukan, maka Al-Qur'an dengan tegas megutuk mereka dan menghina mereka berbuat Kufur (tidak beriman), Zalim (tidak adil), dan Fasiq (kejahatan dan dosa besar). Maka sudah jelas bahwa politik dan agama adalah hal yang tak bisa dipisahkan dan harus didasarkan pada pertimbangan yang baik.

Jika memang politik dinasti merupakan hal yang dianggap wajar dan tidak bisa dihindarkan, karena konstitusi telah menjamin seluas-luasnya, maka seharusnya pemerintah meningkatkan pengawasan lebih ketat untuk membatasi dan mecegah suburnya dinasti politik yang akan menghambat demokrasi, juga menegakkan hukum terhadap kasus suap pencalonan (mahar politik) agar biaya politik bisa ditekan sehingga setiap warga memiliki kesempatan untuk mencalonkan dalam kontestasi politik dan menjadi pejabat publik yang adil. 

Karena kita memerlukan pemimpin yang menang dengan cara adil dan terbuka untuk memimpin suatu daerah atau wilayah. Pemimpin yang amanah, yang akan mendengar dan mementingkan suara rakyatnya dibanding kepentingan pribadi dan kelompok yang hanya menguntungkan segelintir orang atau golongan elite saja. Juga menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan dapat dipercaya oleh rakyatnya. Pemerintah juga perlu berpikir Holistik demi mewujudkan geopolitik yang menyatu padu, membentuk kesadaran suatu  bangsa agar proses demokrasi tercapai, serta menerapkan hukum yang adil yang berlandaskan dengan hukum Tuhan.

*Ditulis oleh mahasiswa semester 1 mata kuliah pengantar ilmu politik, prodi ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Untirta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun