Konsep sayap depan Ferrari yang radikal ini rupanya berefek pada perolehan downforce yang mereka dapat. Padahal regulasi musim ini saja untuk sayap depan, perolehan downforce pada bagian itu dikurangi.Â
Dan Ferrari justru mengambil direksi yang radikal dengan berfokus pada efisiensi daripada downforce. Hasilnya sudah terlihat, kalah telak dari Mercedes.Â
Paling terlihat di Catalunya, dimana pada kualifikasi Vettel terpaut 0,8 detik dari peraih pole, Valtteri Bottas. Dan dari tayangan ulang, terlihat sekali betapa katrok-nya Ferrari di tikungan. Sambat lagi, kan?.
Ferrari masih bergelut dengan ini. Sebenarnya bukan cuma Ferrari saja yang mengalami masalah ini, hampir setiap tim mengalaminya, kecuali Mercedes. Iya, mereka memang sempurna.
Penunjukan Mattia Binotto sebagai tim prinsipal yang baru untuk musim ini menggantikan Maurizio Arrivabene sempat membawa secercah harapan bagi penggemar Ferrari.Â
Posisi Binotto sebelumnya adalah sebagai kepala teknis dan sukses membuat mobil yang sukses membuat Toto Wolff dan kawan-kawan ketar-ketir pada 2017 dan 2018. Hal ini membuat mayoritas penggemar Ferrari berharap Binotto mampu membuat mobil yang sempurna bagi Ferrari.
Beberapa penggemar bahkan membandingkan sosok Binotto dengan Ole Gunnar Solkjaer yang menggantikan Jose Mourinho menjadi pelatih Manchester United, yang parahnya bukan main.Â
Berharap Binotto mampu membangkitkan Ferrari seperti Ole membangkitkan Manchester United. Dan hasilnya, sama. Terlihat bangkit di awal, makin kesini semakin terjun bebas dan melawak. Sambat lagi, deh.
Salah satu tujuan penunjukan Mattia Binotto adalah karena Arrivabene sering membuat kesalahan strategi. Sekarang, kita lihat musim ini. Berapa kali Ferrari melakukan keputusan dan strategi yang tidak jelas ketika balapan? banyak.Â
Mulai dari team order yang tak jelas maksudnya apa, strategi pit stop yang berantakan dan yang terbaru strategi Ferrari saat kualifikasi GP Monako yang sebabkan Charles Leclerc keluar pada sesi Q1 dan menghancurkan balapannya.Â