Tulisan ini harus dimulai dengan kalimat, “Siapa yang tidak kenal Bali?”. Makhluk mancanegara pun lebih mengetahui Bali daripada Indoneisa. (kebanyakan mungkin). Alam dan kekayaan adat yang luar biasa adalah equity yang selalu terlihat dalam pulau ini. Tak perlu banyak investasi dalam marketing pun(kecuali setelah kasus pengeboman), wisatawan dalam dan manca pun sudah memasukkan Bali sebagai salah satu destinasi liburannya. Hal ini tercermin dari adanya peningkatan kunjungan destinasi meningkat 8 % dalam 5 tahun terakhir atau sebesar 2, 7 juta orang.
Perekonomian Bali masih mampu tumbuh tinggi di triwulan I-2013, dengan pertumbuhan tercatat 6,71% ,di atas pertumbuhan nasional yang saat mematok angka 6,5 % saja sudah dianggap mimpi di siang bolong.
Pertumbuhan ekonomi Bali sebesar 2,18 persen pada triwulan II/2013 dibanding triwulan sebelumnya ditopang dari wilayah selatan, seperti Kabupaten Badung yang berkontribusi 25,04 persen dan Kota Denpasar 20,62 persen. Selesaikah masalah? Belum. Angka destinasi yang meningkat ini bisa menjadi bumerang bagi masyarakat Bali. Mengapa? Tengok angka pertumbuhan selama tahun 2000 hingga 2010 di Bali sebesar 2, 51 % menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jauh di atas laju pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1. 49%, padahal masih menurut data angka kelahiran per tahun di Bali relative kecil, hanya sebesar 2,14%. Darimana angka itu bisa terjadi? Migrasi. Ya faktor migrasi menjadi isu krusial di Bali. Orang yang datang untuk berliur bisa mendadak memiliki ide untuk menetap karena keramahan penduduk lokal atau malah berpikir berbisnis, karena di Balilah kita dapat menyaksikan pasar lokal dengan nuansa internasional.
Menurut Kadin 80% investasi Bali dikuasai oleh asing, baik itu luar Bali atau luar Negeri, Pusat-pusat pariwisata Bali, seperti Badung (Kuta, Nusa Dua, Legian) benar-benar dikuasai investor luar. Hotel berbintang 5 di kawasan Bali Tourism Development Corporation (BTDC) maupun hotel di sepanjang Jalan Pantai Kuta sebagian besar milik luar. Hal ini terjadi karena dari proporsi ideal 2% dari angkatan kerja merupakan pengusaha, saat ini rasio tersebut tidak menyentuh 1%nya saja.
Dari sumber yang didapat penulis,triwulan iii tahun lalu Bali mencatat adanya Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar 5,49 triliun yang terdiri dari 4145 unit usaha sedangkan Penanaman Modal Asing tercatat 4, 15 triliun lebih (dengan kurs saat itu masih 9.300) dengan 266 investor. Sehingga yang terjadi adalah investor domestik bermain dalam usaha kecil tetapi memiliki kuantitas , sedangkan asing memegang proyek-proyek besar. Hal ini semakin tercermin dari 98% dari PMDN dan 976% PMA berada di sektor tersier, yakni hotel, restoran, transportasi, perkantoran, gudang, telekomunikasi, air. Sedangkan sektor sekunder meliputi karet, tekstil, kayu,plastik, industri makanan,logam, elektronik kimia dan farmasi. Sedangkan sektor pertanian yang merupakan sektor primer semakin tergerus. Dari data Kajian Ekonomi Regional Bank Indonesia triwulan 1 2013, terlihat bahwa pertanian hanya menyumbang 2,14 % dari Produk Domestik Regional Bruto Bali, jauh di bawah Bangunan sebesar 21, 1%. Padahal konon Bali merupakan lahan terbaik untuk beberapa komoditi perkebunan, seperti jambu mete, coklat dan kopi. Sektor tersier ini yang lebih banyak dikuasai sektor jasa atau non tradable, ini cukup riskan, selain menyerap sedikit pekerja, hal ini terlihat dari menurunnya jumlah pekerja di sektor pertanian sebesar 73,4 ribu orang atau atau sebesar 11,23 %, sedangkan industri jasa keuangan meningkat 24, 59% padahal hanya terjadi kenaikan 19,12 ribu orang.
Sektor tersier ini hanya dinikmati kalangan atas saja. Bertumpu pada sektor tersier merupakan hal yang menggerogoti ketahanan ekonomi, karena sedikit saja terjadi resesi , labilnya nilai tukar, akan sangat elastis mempengaruhi sektor perekonomian di Bali.
Banyak kasus investor enggan bermain di sektor pertanian karena lahan yang tersedia kurang cukup untuk partai besar, kalaupun ada, lahan-lahan tersebut terpisah-pisah, properti memiliki peran sebagai agen pemisah lahan ini.
Barang-barang tradable yang bisa menjadi andalan untuk ekspor semakin ditinggalkan, terlihat dari menurunnya angka ekspor Juni 2013 dari Juni 2012 (year of year), sebesar 10,25 %. Dimana komoditas ekspor unggulannya adalah ikan dan udang sebesar 26,57%, perhiasan dan permata sebesar 12,43%. Sektor- sektor yang mulai ditinggalkan, berbanding terbalik dengan sektor property , terlebih pembangunan tol dan renovasi Bandara Ngurah Rai juga dikuasai investor luar.
Jadi waspadalah penduduk Bali, sektor properti semakin menjamur, dikuasai investor asing, yang justru sangat riskan terhadap isu-isu global yang suatu saat bisa menyebabkan capital outlflow meningkat luar biasa. Pemerintah Daerah harus sadar akan bahaya tersebut dan membuat langkah antisipasi untuk memprotect Bali dan segala nilai “sakral” yang terkandung di dalamnya. Sehingga kita tetap menjadi tuan di daerah sendiri.
Hanya sekedar usul usil penulis
Matur Suksme
Om Shanti Shanti Shanti Om.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H