Nusa tenggara barat (NTB) hingga saat ini masih populer dengan sebutan “Bumi Gora”. Julukan ini, tidak hanya kita dengar dari kalangan masyarakat Nusa Tenggara Barat saja, akan tetapi sudah populer atau menggaung secara nasional. Dengan julukan tersebut, Provinsi Nusa Tenggara Barat pasti memiliki rekam jejak dalam hal pengelolaan atau kebijakan pangan, yang dimana mampu memberikan sumbangsih terhadap prekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Barat, khususnya.
Namun, seiring dengan pertumbuhan sub sektor yang ada di Nusa Tenggara Barat dan di pertegas dengan adanya dorongan dari pemerintah pusat yang menjadikan provinsi ini sebagai gerbong pariwisata, maka kita harus bersikap kritis dan setidaknya mempunyai gambaran besar terkait kondisi masyarakat Nusa Tenggara Barat sekarang, besok dan kedepannya. Karena menurut hemat penulis, secara program dan kebijakan bahwa Nusa Tenggara Barat sekarang ini sebenarnya dalam kondisi yang dilematis yaitu antara memajukan dunia pariwisata ataukah mempertahankan swasembada pangan .
Awalnya, pada era pemerintahan SBY-Boediono pernah mengeluarkan suatu kebijakan (perencanaan ekonomi) untuk memajukan prekonomian nasional. Perencanaan tersebut, kita kenal dengan istilah Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Ini bertujuan untuk mamajukan prekonomian indonesia, katanya. Dalam MP3EI ini, wilayah Indonesia di bagi menjadi beberapa koridor. Dan Nusa Tenggara Barat masuk dalam koridor lima bersamaan dengan Provinsi Bali dan NTT. Dengan demikian, Seperti penulis katakan diatas, Nusa Tenggara Barat di dorong sebagai gerbong pariwisata nasional. Sementara dari tahun ke tahun, pemerintah daerah gencar-gencarnya meneriakkan swasembada pangan.
Sementara, menurut hemat penulis bahwa persoalan pariwisata sangat identik dengan investor asing maupun investor dalam negeri. Mau tidak mau, pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat akan bahkan telah menyiapkan sejumlah paket program/kebijakan untuk menarik para investor agar berbondong-bondong menanamkan modalnya di wilayah Nusa Tenggara Barat dan targetan mampu menjaring dua juta wisatawan.
Sejumlah langkah pun telah di lakukan oleh perintah daerah, mulai dari pembangunan infrastruktur (bangunan-bangunan megah) seperti jalan raya, pusat perbelanjaan, pusat hiburan yang identik dengan pola kehidupan barat. Selanjutnya telah ada program visit lombok-sumbawa, dan tambora menyapa dunia, yang beberapa hari kemarin di selenggarakan.
Dan beberapa hal di atas dapat kita lihat dengan mata telanjang, misalnya pembangunan bandara internasional di Lombok Tengah, mandalika resout, rencana pembangunan pelabuhan internasional di pulau sumbawa, pembuatan dan perapian jalan raya menuju Bandara Internasional Lombok (BIL), adanya hotel-hotel di sekitaran wilayah pantai pesisir dan di pusat perkotaan kabupaten/kota provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kita tidak menutup mata, untuk memperlancar dan memuluskan wilayah Nusa Tenggara Barat sebagai gerbong pariwisata nasional, sederetan program dan langkah-langkah di atas pun telah menyisakan dan menimbulkan adanya konflik agraria serta menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi gedung-gedung yang megah dan pabrik-pabrik industri. Akibatnya, bangunan-bangunan yang berdiri dimana-mana itu tentu akan menggeser masyarakat bawah semakin terpinggirkan dan terpojokkan.
Padahal, kalu kita lihat di dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 dengan jelas melarang warga negara asing untuk membeli atau memiliki tanah pada wilayah indonesia, namun hal tersebut tidaklah terlaksana dengan baik. Lagi-lagi kita bisa lihat di wilayah Nuasa Tengagra Barat, seperti salah satu contoh pariwisata tertua di lombok yakni senggigi. Sebagian besar tanah wilayah senggigi dikuasi oleh orang asing dengan menggunakan nama masyarakat penduduk asli sebagai nama pemilik, namun pemilik modalnya adalah warga negara asing, sementara masyarakat penduduk asli senggigi tergeser ke wilayah pinggiran, pegunungan. Begitu pun di beberapa kabupaten/kota lainnya yang ada di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Sederetan persoalan-persoalan di atas jelas memiliki konsekuensi logis terhadap kondisi prekonomian Nusa Tenggara Barat dan berefek besar terhadap jargonnya yang katanya masih menyandang julukan “Bumi Gora’’ atau lumbung padi yang pernah di gaung-gaungkan selama ini. Pendorongan sektor pariwisata di wilayah Nusa Tenggara Barat mengindikasikan bahwa terjadinya konversi lahan produktif,yang awalnya lahan pertanian kini berubah fungsi menjadi lahan tak berproduktif lagi. Kemudian akan mengancam ketahan pangan provinsi Nusa Tenggara Barat akibat penyempitan lahan, sehingga kerisis pangan pun akan terjadi. Tidak menutup kemungkinan hal tersebut kita rasakan di provinsi Nuasa Tenggara Barat.
Dengan semakin, menyempitnya lahan pertanian akibat beberapa pembangunan infrastruktur dan bangunan-bangunan megah lainya, maka beberapa persoalan pun telah muncul ke permukaan. Jelas, sektor pariwisata memberikan effect terhadap ketahanan pangan. Mulai dari luas lahan pertanian hingga merembet pada kondisi sosial kemasyarakatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Ironisnya lagi, alih-alih ingin mencapai swasembada pangan. Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat belum optimal dalam pengekskusian kebijakan atau progaram swasembada pangan. Menurut hemat penulis, hal ini patut untuk kita pertanyakan. karena belum lama ini, masyarakat kita di pusingkan dengan adanya kelangkaan pupuk,yang nota banennya berimplikasi pada kondisi pangan itu sendiri . Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat belum memantapkan hati dalam hal perencanaan swasembada pangan yang sejatinya.
Nampaknya, pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat pun merasa khawatir soal tingkat produksi pangan. Ya, Berdasarkan data BPS dalam ramalan II tahun 2014 diperkirakan produksi padi akan mengalami penurunan sebanyak 5,17% dibanding tahun 2013 yaitu 2.080.205 ton - 2.193.689 ton disebabkan karena berkurangnya luas panen sebesar 1,79% dari 438.057 ha 3013 menjadi 430.235 ha tahun 2014. Sementara tanaman kedelai pada ramalan II tahun 2014 diperkirakan mengalami penurunan sebanyak 4,81% dibanding tahun 2013 yaitu 91,065ton menjadi 86.683 ton pada tahun 2014. kemudian, produksi kacang hijau pada tahun 2014 di perkirakan turun menjadi 18.351 ton dari tahun 2013 yang mencapai 22.079 ton. Selanjutnya, produksi kacang tanah mengalami penurunan pada tahun 2014 di bandingkan di tahun 2013 yaitu dari 41.889 ton biji kering menjadi 36.237 ton biji kering. Menurunnya produksi kacang tanah disebabkan karena menurunnya luas panen dari 30.772 ha pada tahun 2013 menjadi 26.870 ha pada tahun 2014.
Bukan hanya di lihat dari penurunan lahan produktif saja, akan tetapi ini setidaknya berdampak pada permasalahan sosial. Dimana, kita tahu bahwa Provinasi Nusa Tenggara Barat urutan ke dua secara nasioanal dalam hal gizi buruk. Hal ini linier dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) urutan terendah ke dua paling bawah secara nasional dari 33 provinsi yang ada.
Penulis sangat percaya dan yakin, pemerintah daerah dan semua elemem masyarakat pasti lah menginginkan kondisi Nusa Tenggara Barat yang lebih baik dari tahun ke tahun baik secara ekonomi maupun secara sosial. Kesejahteraan masyarakat menjadi hal yang pokok untuk segera di wujudkan. Namun , hal ini membutuhkan keseriusan dan kecerdasan yang selektif dalam mengambil kebijakan maupun program-program yang terintergrasi dan terpadu, terutama sekali dari pemerintah daearah Nusa Tenggara Barat selaku pemangku kebijakan.
Pemerintah daerah sudah selayaknya untuk menyusun perencanaan yang lebih serius dalam menyikapi dua sektor ini,yakni pariwisata dan sektor pangan. Agar kedua sektor ini menajadi sumber kemajuan prekonomian masyarakat. Bukan sebaliknya,menyisakan kemunduran dan menjadi bomerang bagi kelangsungan hidup masyarakat sekarang,besok dan kedepannya. Atau pemerintah bisa memilah mana yang pokok dan sub pokok demi kemajuan daerah Nusa Tenggara Barat. Semoga !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H