Mohon tunggu...
Ditto ChoirulAnhar
Ditto ChoirulAnhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universiitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Si Gajang Laleng Lipa

6 Januari 2022   00:25 Diperbarui: 6 Januari 2022   01:07 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi si gajang laleng lipa merupakan tradisi nenek moyang di zaman dahulu untuk menyelesaikan masalah. Dimana jikalau kedua belah pihak dirasa sudah menemukan jalan buntu dalam suatu persoalan, maka sigajang laleng lipa lah pilihan terakhir. Karena siri di suku bugis sendiri memiliki kedudukan tertinggi. Nah, bagaimana tradisi si gajang laleng lipa pada era saat ini? Apakah masih dilakukan untuk menyelesaikan masalah?

Menurut Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H. yaitu seorang Ketua Dewan Pakar Forum Silaturahmi Keraton Nusantara menjelaskan bahwa Tradisi si gajang laleng lipa sudah tidak boleh di laksanakan lagi karena sudah jelas bahwa MPR sendiri menuturkan jika tradisi yang bertentangan dengan pancasila jelas tidak boleh dilaksanakan. Sehingga, pada saat ini masyarakat bugis sudah memiliki kesadaran bahwa hal tersebut sudah tidak tepat dilakukan pada era sekarang dan lebih memilih musyawarah sebagai jalan menemukan solusi. 

Tapi tidak dipungkiri jika tradisi ini masih dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat yang belum sadar akan pentingnya pancasila untuk kehidupan yang lebih makmur dan sejahteara. Hal ini dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa.

Nilai-nilai dalam Si Gajang Laleng Lipa

Lantas kenapa harus berduel dalam sarung (lipa')? "Bagi masyarakat Bugis-Makassar, sarung adalah simbol persatuan dan kebersamaan," kata Bahri. Bahkan di situasi yang terdengar brutal pun, ada nilai-nilai persaudaraan yang tetap dijunjung tinggi. 

Di sisi lain, Asmin Amin menyebut sigajang laleng lipa (Bugis) atau sitobo lalang lipa (Makassa) juga dipandang sebagai bentuk berserah diri pada Yang Maha Kuasa. "Hidup mati itu ketentuan Tuhan. (Maka dalam) pertarungan itu, mereka memohon pada Allah agar menentukan segera tentang siapakah yang Allah pilih untuk mati atau tetap hidup," jelasnya. 

Namun, seiring meresapnya nilai-nilai Islam di masyarakat sejak abad ke-17, praktik sigajang laleng lipa' ikut berkurang. Khair Khalis Syurkati, dalam makalah berjudul Memahami Konsep "Siri' Na Pesse" sebagai Identitas Orang Bugis Makassar menulis bahwa ajaran agama Islam membuat penebusan siri' dalam cara ekstrem mulai dipandang melampaui batas. 

Kini, sigajang laleng lipa' lebih banyak dipentaskan dalam bentuk seni ketimbang duel berdarah. Salah satu bentuk ejawantahnya di budaya populer dilakukan sutradara Archie Hekagery, lewat film "Tarung Sarung" yang rilis akhir 2020 lalu. Selain itu, nilai nilai yang masih bisa diambil dari tradisi Si Gajang Laleng Lipa adalah adanya tanggung jawab dan kesadaran diri supaya dia tidak memiliki masalah lagi dan menyerahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Demikian lah penjelasan mengenai Tradisi dari Suku Bugis yaitu Si Gajang Laleng Lipa atau pertarungan oleh dua orang dalam satu sarung menggunakan senjata khas Bugis yaitu Badik (Pisau kecil) untuk menyelesaikan suatu masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun