Sore itu, aku membawa novel baruku dan secangkir kopi hitam ke teras. Terbayang olehku, wangi kopi yang berkelindan dengan untaian kata-kata yang mengalir lembut akan menghanyutkanku dalam imajinasi novelis favoritku. Semburat senja menambah keindahan suasana, memberikan ketenangan yang kuharap bertahan sepanjang sore.
Beberapa lembar halaman usai kujelajahi, kudengar sebuah motor berhenti di depan pagar rumahku. Aku yang sudah hafal dengan motor tersebut, segera meletakkan novel yang kubaca dan menghampirinya. Dari mata indahnya yang redup dan sedikit sembap, aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja. Dia adalah Salsa, salah satu sahabatku. Kuminta dia menyimpan motornya di garasi dan mengajaknya masuk ke kamarku.
Sampai di kamar, dia langsung memelukku dan menangis. Seperti biasa, aku memilih mendiamkan saja. Membiarkan dia mengizinkan dirinya sendiri melepas emosinya, tanpa harus kuintervensi bahkan sekadar menepuk punggungnya.
Aku meyakini, emosi yang mengalir keluar adalah ekspresi tubuh yang tak hendak menyimpan memori menyakitkan. Jika aliran tersebut kita halangi, rasa menyakitkan itu akan mengendap dan tertumpuk sebagai "sampah rasa". Sebuah kalimat atau tepukan yang kita anggap sebagai bukti empati bisa saja mengganggu aliran tersebut. Itulah sebabnya aku memilih untuk diam.
Salsa melepas pelukannya saat dia kembali meraih kesadarannya. Dia tersenyum lalu duduk di sofa sambil memeluk bantal kecil yang ada di sana. Aku balas tersenyum dan duduk di sofa yang sama dengan posisi berhadapan.
"Rara, dia mulai lagi. Kali ini adik sepupunya yang menjadi alasan. Â Dia spontan menolongku agar tidak terjengkang saat aku terpeleset. Tapi, kali ini aku tidak mengizinkannya memaki-maki di depan orang banyak. Selepas bilang terima kasih, aku memilih segera masuk ke rumah, menuju taman belakang rumah Paman agar dia bisa melampiaskan emosinya di sana."
Aku tersenyum mendengar cerita Salsa. Setidaknya ada perubahan dari dirinya. Dia sudah memilih cara menghindar agar Abi tidak makin emosional. Saat emosi Abi meluap dan ada yang membela Salsa, dia akan merasa harga dirinya tertusuk dan membuatnya makin menjadi-jadi. Salsa paham akan hal itu dan inilah caranya untuk mencegah. Setidaknya, Salsa hanya mendengar kemarahan Abi untuknya, tidak bertumpuk dengan rasa tidak nyamannya kepada orang lain yang menyaksikan mereka berdua.
"Aku hanya mencoba memahami saja. Tak hendak bereaksi apa pun. Di saat suasana hatinya masih bergejolak, aku memilih diam, bekukan pikiranku. Aku paham, jika aku menuruti egoku untuk membantah atau mencoba koreksi semua 'kalimat indah'-nya, aku akan semakin memperkeruh suasana hatinya."
Aku sudah paham dengan apa yang diceritakan sahabatku itu. Abi, suami Salsa, memang sering melakukan kekerasan verbal kepadanya. Aku tahu sekasar apa "kalimat indah" yang disebut Salsa karena perlakuan tersebut pernah terjadi di depanku. Abi sama sekali tak memandang siapa pun ketika emosi mulai menguasainya.
Aku tidak tahu sejak kapan Abi mulai berubah posesif hingga menjerat kepribadian Salsa. Perempuan yang dahulu begitu ceria dan percaya diri, sekarang seperti katak dalam tempurung. Saat ini, hanya aku satu-satunya sahabat Salsa yang masih bertahan mendampinginya. Sahabat lain sudah menjauh karena tidak tahan melihat gaya amarah Abi yang terkadang bisa merembet kepada kami. Ya, Abi bahkan tidak segan mengucap "kalimat indahnya" kepada kami jika dia anggap kami memengaruhi Salsa dan melanggar aturannya. Apa pun yang dilakukan Salsa harus seizin Abi, meskipun itu hanya sebatas minum kopi bersama di teras rumah mereka.
"Lelaki mana pun tak akan suka dikoreksi, terlebih oleh orang terdekat, dengan alasan apapun. Itu pernah disampaikannya padaku. Entah memang begitu adanya lelaki atau sekadar pembenaran saja, aku tak tahu. Sebagai perempuan, tentu aku tak mengenal karakter lelaki selain dirinya."