baby blues nggak?" tanya Amel sambil menyeruput minuman dinginnya.
"Cha, lo pernah denger tentangDi bawah rindangnya pohon flamboyan, Icha dan Amel duduk bersantai di kursi kayu taman rumah Icha. Mereka berbincang santai sambil menikmati semilir angin yang membawa aroma bunga. Dua sahabat ini mengobrolkan segala tema yang terlintas di pikiran. Maklum saja, entah berapa puluh tahun mereka tak bertemu sejak lulus SMA.
"Iya, Mel. Gue pernah ngalamin sendiri. Bener-bener nggak nyangka bakal seberat itu," jawab Icha.
"Serius, lo? Ceritain dong, gimana rasanya?" Amel memandang Icha dengan rasa ingin tahu.
"Waktu itu, gue baru pulang dari rumah sakit, dan semua orang seneng banget, dong. Eh, gue malah ngerasa aneh. Sedih, cemas, dan kadang-kadang marah tanpa alasan jelas. Padahal, gue harusnya bahagia, kan?” Icha mulai bercerita dengan ekspresi wajah yang serius.
Amel mengangguk mengerti. "Kayaknya berat banget ya, Cha. Itu terjadi pas anak pertama atau kedua?"
"Pas anak kedua, Mel. Aneh banget, kan? Gue bener-bener ngrasa nggak siap sama perubahan yang tiba-tiba. Perasaan gue jadi kacau balau. Padahal, kan, itu bukan pengalaman pertama gue," jawab Icha sambil menghela napas panjang.
"Momen yang paling bikin lo merasa gak nyaman banget itu apa, sih, Cha?"
"Waktu malam pertama di rumah, bayi gue nangis terus-terusan. Gue udah coba nyusuin, ganti popok, pokoknya semuanya, deh. Tapi nggak berhenti juga. Di situ gue ngerasa gagal jadi ibu, ngerasa nggak mampu buat nenangin bayi gue sendiri. Rasanya hopeless banget," Icha mengenang momen tersebut dengan mata sedikit berkaca-kaca.
"Terus, apa yang terjadi sama perasaan lo waktu itu?" Amel bertanya dengan penuh perhatian.
"Awalnya gue ngerasa sedih, tapi lama-lama jadi marah sama diri sendiri. Kenapa gue nggak bisa kayak ibu-ibu lain yang keliatannya enjoy aja? Gue juga jadi gampang nangis, cemas berlebihan, bahkan sempet mikir yang aneh-aneh tentang diri gue dan bayi gue," Icha menjelaskan dengan suara yang agak bergetar. Rupanya momen itu masih begitu membayangi perasaan Icha.
"Gue nggak bisa bayangin betapa beratnya itu, Cha. Tapi gimana lo akhirnya bisa ngatasin perasaan kayak gitu?"
"Gue beruntung punya suami yang perhatian, Mel. Dia mungkin nggak selalu ngerti apa yang gue rasain, tapi dia selalu ada buat dengerin. Dia bantuin gue ngurus bayi, ngebebasin gue dari pekerjaan rumah, dan yang paling penting, dia ngasih gue waktu buat istirahat dan ngerawat diri sendiri," kata Icha sambil tersenyum mengenang dukungan suaminya.
"Wah, suami lo keren juga ya, Cha. Ternyata penting banget, ya, punya pasangan yang suportif." Amel menimpali dengan kagum.
"Iya, bener. Dukungan suami, tuh, penting banget. Ada satu momen waktu gue lagi nangis di kamar, suami gue dateng dan bilang, 'Kamu nggak sendiri, sayang. Ada aku di sini buat kamu dan bayi kita.' Itu bener-bener bikin gue merasa lebih tenang dan diterima."
"Jadi, dukungan suami itu bisa ngefek banget, ya, buat kondisi mental istri?" Amel bertanya, mencoba memahami lebih dalam.
"Banget, Mel. Sikap suami yang penuh perhatian dan empati bisa bantu istri ngelewatin masa-masa sulit kayak gitu. Kalau suaminya cuek, malah bisa bikin baby blues makin parah. Gue ngerasa banget, kehadiran suami gue yang selalu siap dengerin dan bantuin bener-bener jadi penyelamat buat gue."
Amel mengangguk-angguk. "Jadi, menurut lo, apa yang sebaiknya suami lakuin biar istri nggak merasa sendirian waktu ngalamin baby blues?"
"Pertama, suami harus sadar dan ngerti tentang baby blues. Banyak suami yang nggak tau atau nggak peduli soal ini. Mereka pikir istri cuma lebai. Padahal, baby blues itu nyata dan bisa berdampak serius kalau nggak ditangani dengan baik." Icha memulai penjelasannya.
"Kedua, suami harus siap jadi pendengar yang baik. Kadang istri cuma butuh didengar tanpa dihakimi. Biarkan dia ngeluarin semua perasaannya. Tunjukin kalau lo ada di sana buat dia, dan dia nggak perlu ngelewatin semuanya sendirian.
"Ketiga, bantuin istri dalam hal-hal praktis. Misalnya, ganti popok, nyusuin bayi pake botol kalau dia pake ASI perah, atau sekadar ngerjain pekerjaan rumah. Hal-hal kecil kayak gini bisa meringankan beban istri dan ngasih dia waktu buat istirahat."
Amel tersenyum mendengar penjelasan Icha. "Bener juga ya, Cha. Gue jadi makin paham pentingnya peran suami. Dukungan kecil dari suami ternyata bisa bikin perubahan besar."
"Iya, Mel. Gue berharap semua suami bisa sadar betapa pentingnya peran mereka. Meskipun istri tidak mengalami baby blues, tetap saja melahirkan dan merawat bayi itu nggak mudah. Istri butuh dukungan penuh dari suaminya, bukan cuma secara fisik, tapi juga emosional. Kalau suami bisa ngasih dukungan yang baik, baby blues bisa cepat teratasi dan hubungan suami istri juga makin kuat."
Amel mengangguk setuju. "Gue setuju banget. Kadang para lelaki lupa kalau peran suami itu bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga melindungi dan mendukung anak istri. Mudah-mudahan, makin ke sini makin banyak suami yang memahami bahwa dukungan dan perhatian suami itu amat sangat penting, ya, Cha."
"Iya, semoga aja. Itulah pentingnya komunikasi. Bukan cuma dalam keluarga kecil kita, tapi saling sharing dengan sahabat pasti akan membuka wawasan kita. Kayak kita ini, kan?" Icha menatap Imel dengan sedikit memiringkan kepala dan bibir tersenyum. Gaya andalan Icha, begitu para sahabat melekatkan itu kepadanya. Imel pun tertawa dan mengulurkan kedua lengannya ingin memeluk yang langsung disambut oleh Icha.
"Eh, tapi tahu nggak, Mel?” Imel membuka kisah lain. “Gue punya cerita nyata yang cukup bikin gue sedih. Ada temenku di komplek ini yang pernah kena baby blues juga. Sayangnya, keluarganya nggak ngerti sama kondisi ini.”
"Duh, gimana ceritanya, Cha?"
"Jadi, temanku itu pas baru lahiran anak pertamanya, katanya dia ngerasa sedih terus-terusan. Suaminya sibuk kerja, orang tuanya juga nggak tinggal bareng, jadi dia ngerasa sendirian. Nggak ada bisa yang ngertiin perasaannya, kan? Nah, suatu hari dia chat ke gue kalau dia mikir buat ninggalin bayinya di panti asuhan karena kayak ngerasa nggak mampu jadi ibu yang baik."
"Ya ampun, Cha. Terus gimana?" Amel terkejut mendengar cerita itu.
"Habis terima chat, gue mikir dia kena baby blues, nih. Langsung aja gue ajak beberapa temen komplek untuk gantian datang ke rumahnya, bantuin dia urus bayi, dan yang paling penting, dengerin keluh kesahnya. Aku juga minta suamiku ajak ngobrol suami temenku itu tentang pengalamanku. Pelan-pelan dia mulai pulih. Dia cerita kalau suaminya mulai perhatian. Sering chat dan kadang telepon cuma tanya kabar. Nah, segitu pentingnya, kan, dukungan dari suami? Kalau mereka cuek, kondisi kayak gini bisa jadi parah dan bahaya."
"Ah, syukurlah. Untung dia punya tetangga yang baik hati. Eh, tapi bener deh, ini pelajaran buat kita semua. Dukungan keluarga, terutama suami, itu kunci utama buat ngelewatin baby blues. Iya, kan?"
"Betul banget. Gue berharap semua orang bisa lebih peka dan peduli. Kadang hal-hal kecil yang kita lakuin bisa bikin perubahan besar buat orang lain.” Amel kembali memeluk Icha, sahabatnya yang selalu saja inspiratif buatnya.
"Tahu gak, Mel? Ada satu hal lagi yang pengen banget gue sampaikan buat para suami di luar sana. Selain dukungan penuh, aku pengen mereka tahu kalau umumnya baby blues itu bertahan paling lama dua hingga tiga minggu. Kalau nggak kunjung membaik, suami harus segera bawa istrinya menemui dokter atau psikolog agar tidak membahayakan siapa pun."
Amel mengangguk setuju. "Bener, Cha. Kadang suami nggak sadar kalau tindakan mereka bisa sangat mempengaruhi kondisi mental istri. Mereka harus tahu, seorang suami yang mendampingi istri di saat sulit adalah suami yang benar-benar mengerti arti cinta dan tanggung jawab."
"Iya, Mel. Rasanya aku pengen teriak, ‘Hai, para suami! Ingatlah, peran kalian sangat krusial! Jangan biarkan istri kalian merasa sendirian. Dukungan kalian bisa menyelamatkan mereka dari kesulitan dan membantu mereka kembali bahagia!’" tambah Icha dengan penuh semangat.
Amel tertawa lalu menatap Icha, Dia merasa mereka makin terikat oleh pengalaman-pengalaman yang mereka bagikan. Ada satu pemahaman yang membuat Amel semakin yakin. Di tengah segala tantangan menjadi ibu, dukungan dan cinta dari orang terdekat adalah kekuatan yang tak tergantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H