Mohon tunggu...
Ditta Widya Utami
Ditta Widya Utami Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

A mom, blogger, and teacher || Penulis buku Lelaki di Ladang Tebu (2020) ||

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melestarikan Budaya: Jika Bukan Kita, Siapa Lagi?

24 Agustus 2023   05:24 Diperbarui: 24 Agustus 2023   05:55 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak saat mempraktikkan kaulinan Sunda (foto: Tim Fasilitator P5 SMPN  Cipeundeuy, Subang)

oleh Ditta Widya Utami, S.Pd., Gr.

Nahak (2019: 165) menyebutkan bahwa era globalisasi dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang lebih modern. Akibatnya masyarakat cenderung untuk memilih kebudayaan baru yang dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Salah satu faktor yang menyebabkan budaya lokal dilupakan di masa sekarang adalah; kurangnya generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaannya sendiri.

Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melestarikan budaya Indonesia, yaitu: Culture Experience dan Culture Knowledge.

Terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural merupakan contoh melestarikan budaya dengan cara culture experience. Sedangkan melestarikan budaya dengan culture knowledge dapat dilakukan dengan cara membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsionalisasi ke dalam banyak bentuk. Tujuannya adalah untuk edukasi ataupun untuk kepentingan pengembangan kebudayaan itu sendiri dan potensi kepariwisataan daerah.

Saya lalu teringat pada peristiwa dimana batik hampir saja diklaim oleh negara tetangga. Proses yang penuh perjuangan dilakukan oleh berbagai pihak agar batik bisa ditetapkan sebagai warisan asli budaya Indonesia. Syukurlah, UNESCO memutuskan bahwa batik milik Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009. 

Saya juga teringat perbincangan dengan teman dari jurusan Bahasa Sunda (sekitar tahun 2012, saat kami pertama kali masuk dunia kerja). Teman saya mengatakan bahwa orang luar negeri memiliki minat yang sangat besar terhadap budaya kita. Sekarang saja (saat kami berbicara), orang-orang dari jurusan Bahasa Sunda kalau mau kuliah S3 harus pergi ke luar negeri karena tidak ada jurusan S3 Bahasa Sunda di Indonesia.

Saat mengikuti kegiatan MGMP, saya dikejutkan dengan fakta bahwa hak paten membuat tempe atau yang berkaitan dengan tempe dimiliki oleh negara seperti Amerika dan Jepang. Padahal sehari-hari tempe sangat mudah dijumpa di Indonesia.

Hal-hal tersebut membuat saya menjadi was-was. Jangan sampai kelak harus berguru ke luar negeri untuk belajar budaya sendiri.

Ngageugeut Budaya Sunda dan Mulok Wajib Sisingaan

Upaya dalam melestarikan budaya tampaknya menjadi salah satu fokus pemerintah Kabupaten Subang. Pada kegiatan Pekan Kebudayaan Daerah Tahun 2023, Sisingaan yang merupakan kesenian khas Subang diresmikan menjadi muatan lokal (mulok) wajib untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

SMPN 1 Cipeundeuy, Subang, melalui kegiatan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) juga ikut melestarikan kesenian sisingaan. Mengusung tema Kearifan Lokal dengan topik Ngageugeut Budaya Sunda, Tim Fasilitator memasukkan pengenalan dan praktik tari sisingaan ke dalam salah satu kegiatan P5.

Rabu (23/8), seluruh murid kelas 7 dan 8 mendapat penjelasan mengenai kesenian sisingaan dari Bu Puspita dan Bu Sri Nurhaeni. Beberapa murid yang memiliki minat dan bakat di seni tari dilibatkan menjadi tutor sebaya dan memimpin kegiatan di hadapan murid lainnya sebagaimana tampak pada video berikut:



Melalui kegiatan culture experience tari sisingaan, saya jadi mengetahui ternyata tari sisingaan termasuk tari kreasi. Dengan demikian, gerakan dasar yang mengambil dari tari tradisional bisa dipadukan dengan gerakan modern sesuai yang mengkreasikan.

Hal tersebut tentu menjadi hal positif untuk kesenian sisingaan karena bisa dikembangkan sesuai perkembangan zaman tanpa kehilangan akar budayanya.

Melalui kegiatan refleksi, saya mengetahui bahwa anak-anak ternyata merasa senang saat belajar dan mempraktikkan tari sisingaan.

Tak hanya sisingaan, murid juga dikenalkan dengan berbagai macam permainan tradisional Sunda. Dilansir dari basasunda.com, hasil penelitian di Jawa Barat menunjukkan bahwa ada 360 Kaulinan Sunda. Namun, hanya sekitar 30% saja yang masih dimainkan. Itu pun sebagian besar bukan oleh anak-anak lagi melainkan oleh komunitas-komunitas yang peduli dengan budaya Sunda.

Di kelas, saat sesi bersama fasilitator P5, para murid tampak antusias dan senang mempraktikkan berbagai kaulinan Sunda seperti endog-endogan, prepet jengkol, oray-orayan, cingciripit, ucing cang kacang panjang, ucing sumput, hompimpa, paciwit ciwit lutung, dan ucing sabun. 

Semoga, melalui proses mengenali dan mempraktikkan ini, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang siap menghadapi era globalisasi tanpa lupa akan nilai luhur dan kebudayaan bangsa.

Melestarikan budaya bangsa tentu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Setiap orang mampu berpartisipasi asal ada kemauan. Jika bukan kita, siapa lagi?

Referensi:

Nahak, H. M. (2019). UPAYA MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI. Jurnal Sosiologi Nusantara, 5(1), 65–76. https://doi.org/10.33369/jsn.5.1.65-76 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun