Jumat malam (9/6) tepat saat jarum jam menunjukkan angka 22.00 WIB, sebuah bus melaju membawa 57 penumpang menuju ibu kota Jawa Tengah. Saya termasuk satu di antaranya.
Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Subang mengadakan temu sapa dengan penggerak pendidikan berbasis komunitas. Pak Cecep (Kepala Bidang GTK), Pak Asep (Kasi PTK SD), Bu Tresnawati, Pak Taupik serta Pak Gentar dari GTK Disdik juga ikut serta dalam kegiatan ini.
Ada tiga destinasi wisata yang kami kunjungi, yaitu Sam Poo Kong, Lawang Sewu dan Kota Lama Semarang.
Sam Poo Kong
Pukul tiga dini hari (10/6), Sahabat GTK (sebutan untuk rombongan kami) tiba di tempat transit. Usai mandi, melaksanakan salat malam, salat subuh dan juga sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke destinasi pertama: Sam Poo Kong.
Tak seru tentu bila mengunjungi suatu kawasan tanpa mengetahui sejarahnya. Syukurlah tour guide dari Safa Tour & Travel berbaik hati menyampaikan sekilas tentang Sam Poo Kong dan juga destinasi lainnya yang kami kunjungi.
Ternyata, Sam Poo Kong merupakan wilayah persinggahan pertama dari Laksamana Tiongkok beragama islam yang bernama Zheng He atau Cheng Ho (dikenal juga dengan Sam Poo).
Di kompleks kelenteng Sam Poo Kong, selain berswafoto, kita juga bisa berfoto dengan menyewa kostum, atau menulis harapan di Wall of Hope Sam Poo Kong. Bukan gembok, melainkan papan kayu yang menjadi media menulis harapannya.
“Semoga dapat istri shalihah”, “Semoga semua hutang lunas di tahun 2023”, “Semoga dapat suami tampan dan kaya”, dan masih banyak lagi harapan yang sudah ditulis di Wall of Hope Sam Poo Kong. Hehe, menarik, ya?
Bandeng Presto dan Lumpia Semarang
Sebelum melanjutkan ke destinasi wisata kedua, rombongan Sahabat GTK dibawa terlebih dahulu ke pusat oleh-oleh Kampoeng Semarang. Bandeng presto (tulang lunak) tentu saja menjadi salah satu list oleh-oleh yang wajib dibeli jika berkunjung ke Semarang. Saya pun membeli beberapa untuk keluarga.
Teman-teman bahkan adik ipar saya memberi tahu bahwa selain bandeng presto, kuliner khas Semarang yang juga patut dicoba adalah lumpia. Teman saya bahkan ada yang sengaja pergi ke Gang Lombok karena lumpia di sana termasuk salah satu yang paling terkenal di Kota Semarang.
Pada kunjungan kali ini saya tidak membeli lumpia, karena saya termasuk yang jarang makan goreng-gorengan. But maybe, next time saya pun akan mencicipi juga makanan yang jadi primadona Semarang tersebut.
Lawang Sewu
Sebetulnya ini kali kedua saya datang ke Lawang Sewu. Sekitar tahun 2010, saya pernah berkunjung ke Lawang Sewu pada malam hari. Saat itu, masuk dan menjelajah bagian ruang bawah tanah Lawang Sewu merupakan hal yang mendebarkan. Pasalnya, di masa pendudukan Jepang, ruang bawah tanah Lawang Sewu difungsikan sebagai penjara dan tempat eksekusi massal. Bau anyir darah bahkan masih tercium ketika saya menjelajahi ruang bawah tanah tersebut. Saya harus memakai sepatu boots untuk menjelajahi ruang bawah tanah yang sempit. Hal itu juga yang membuat kami (pengunjung) harus berjalan dengan cara berbaris.
Fakta bahwa ruang bawah tanah pernah dijadikan penjara serta pernah adanya tayangan uji nyali menjadikan Lawang Sewu masuk dalam daftar tempat terangker versi Google Earth bahkan terangker kedua di Asia (merdeka.com[1]).
Suasana berbeda saya dapatkan di kunjungan kali ini. Ternyata, Lawang Sewu di siang hari sangat menarik. Ada musisi yang menyanyikan lagu mengiringi setiap langkah kami di gedung dengan banyak pintu tersebut. Para pedagang juga berjejer rapi mengelilingi area lapang yang terletak di bagian tengah.
Pengunjung juga bisa membeli souvenir di tempat yang telah disediakan. Saya sendiri memilih mainan Warak Ngendog sebagai buah tangan untuk anak saya. Warak Ngendog sendiri merupakan hewan rekaan yang mewakili tiga etnis di Semarang. Kepala naga mewakili unsur Cina, kaki empat (seperti kambing) mewakili etnis Jawa sedangkan badannya yang berbulu keriting mewakili unsur Arab (dari buroq)[2].
Kota Lama
Jika Bandung terkenal dengan Braga dan Jakarta dengan Kota Tua-nya, maka di Semarang ada Kota Lama. Menjelang malam, Kota Lama akan semakin padat bukan hanya oleh para pelancong melainkan juga para pedagang kaki lima, musisi, dsb.
Daerah yang mendapat julukan “Little Netherland” ini memiliki lanskap yang mirip dengan negeri kincir angin. Memiliki beberapa kanal di sekelilingnya. Semarang Oute Stad juga pernah menjadi pusat perdagangan di abad 19-20.
Saya dan teman-teman tentu saja tak lupa mengabadikan momen di Kota Lama. Sayang, ini menjadi destinasi terakhir kami di Semarang. Menjelang magrib, kami sudah harus kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman.
Terima kasih Sahabat GTK, panitia dan tim travel.
Referensi tambahan:
[1] https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=3766
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H