Mohon tunggu...
Ditta Widya Utami
Ditta Widya Utami Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

A mom, blogger, and teacher || Penulis buku Lelaki di Ladang Tebu (2020) ||

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru Honor Tak Pantas PPG

28 Oktober 2018   15:48 Diperbarui: 28 Oktober 2018   16:08 2422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tetap berdoa agar diberi kemudahan. Biar bagaimanapun, Pendidikan Profesi Guru (PPG) adalah salah satu program pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru, meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. 

Jika guru honor terjegal hanya karena selembar kertas bernama SK Bupati/Kadis, bukankah Indonesia sendiri yang akan rugi? Meluncurkan program, namun minim peserta.

"Hanya keyakinan yang bisa menggetarkan pintu-pintu langit." Para penguasa mungkin tak berkutik mengeluarkan SK yang tersendat dengan segala regulasi, namun di atas segalanya masih ada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, di detik-detik terakhir pengumpulan berkas ada informasi bahwa Kepala Dinas Kabupaten mengeluarkan SK bagi guru honor yang akan menjadi calon peserta PPG 2019.

Meskipun di Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan tertulis bahwa SK tersebut hanya berlaku untuk pendaftaran PPG dan tidak bisa digunakan untuk pembayaran tunjangan profesi kecuali yang bersangkutan mengajar di sekolah swasta atau menjadi PNS, tak mengapa. Toh, kami butuh SK tersebut untuk belajar. Adapun rizki, insya Allah akan beriringan.

Kini, kami masih menunggu hasil seleksi administrasi calon peserta PPG 2019. Semoga saja hasilnya baik.

Entahlah apakah kita harus berbahagia atau sedih dengan adanya PPG. PPG yang merupakan program pengganti Akta IV mampu melegalkan siapa pun yang bergelar sarjana untuk bisa menjadi guru profesional. Terlepas apakah orang yang bersangkutan lulus dari fakultas pendidikan (FKIP) atau tidak. Tentu saja lulusan non-FKIP harus menjalani kuliah matrikulasi terlebih dahulu. Dengan begitu persaingan (saya tidak tahu harus menggunakan kata apa lagi) untuk menjadi seorang guru profesional akan semakin ketat.

Kadang saya bertanya, jika tetap seperti ini, mungkinkah di masa yang akan datang, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan akan tetap eksis atau justru akan segera punah?

Hal ini mungkin bisa jadi kabar baik. Profesi guru yang dulu dipandang sebelah mata, kini mulai naik prestisenya. Terbukti banyak lulusan yang berasal dari jurusan non-FKIP yang memilih menjadi guru. Atau, menjadi guru sebetulnya masih menjadi pilihan terakhir mereka karena tidak diterima di berbagai perusahaan/instansi bonafide? Who knows?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun