Mohon tunggu...
HARDI SANJAYA
HARDI SANJAYA Mohon Tunggu... -

Melihat, merenung, menuturkannya lalu menuliskannya agar kita tetap ada dan dikenang meski raga usai dilahap tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jokowi, Prabo, Dais dan Aku

10 April 2014   17:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perayaan ulang tahun ketujuh belasku sudah lewat beberapa bulan lalu. Tak seperti ultah orang-orang yang populer di sekolahku saat menginjak ‘sweet seventeen’ mereka, berlalu dengan indah. Ada sebungkus kado berpita pink imut yang tersembunyi di laci meja belajar dari secret admirer, atau sambutan hangat dari ujung ponsel tepat pada pukul 12 malam dari orang terkasih. Aku ingin seperti mereka. Namun pestaku redup.

Bagiku hal tersebut hanyalah sebuah khayalan tingkat tinggi. Sesungguhnya aku bukanlah siswa yang terkenal di seantero sekolah ataupun mempunyai sesuatu yang bisa kubanggakan. Apalagi statusku jomblo galau. Plus aku bukan termasuk siswa yang berotak cerdas dan dandananku pun tak turut memberikan andil untuk layak diperhitungkan sebagai saingan untuk mendapatkan beragam prestasi. Terutama jabatan bergengsi sebagai ketua OSIS ataupun organisasi internal sekolah lainnya.

Aku, seorang siswa yang cuma kebanyakan mengkhayal di depan tivi. Hobiku lainnya sering mencari ‘Mbah Google’untuk sekadar mencari artikel-artikel menarik saja, terutama soal Primbon. Cita-citaku nihil, kabur, samar-samar, gamang, dan blur. Kapabilitasku hanya sebatas menyontek, orang ‘kerdil’ bila diukur dari sudut apa pun. Di rumah aku lebih banyak mengerjakan berbagai aktivitas layaknya pembantu; menyuci, menyapu, serta kemampuan menulis artikel yang acak-acakan, membuka situs terlarang meskipun sudah diblok pemerintah.

Sekarang, aku selayaknya pesakitan di rumahku sendiri. Di lingkungan tetangga aku jarang bermain. Aku tak merakyat. Tak supel. Minder dan malas bergaul karena takut ditipu orang lain, disakiti, dan seluruh imajinasi negatif yang berkeliaran di benakku,serta malas bergerak sehingga bobot lemak di tubuh semakin bertambah. Sungguh berantakannya hidupku.

Tidak ada cita-cita yang pantas tersemat untukku. Aku juga tak mampu jika diusung menjadi wakil rakyat. Otak tak cerdas, tak lihai berkata-kata, tersembunyi, dan miskin prestasi. Tentu saja mana ada diantara kriteria-kriteria seperti itu yang bisa membuatku berkecimpung di dunia profesi apa pun terutama perpolitikan.

Sebentar lagi ada pesta lima tahunan di kampungku yang luas ini. Pesta yang jauh sangat semarak. Pemilu. Sebuah pesta akbar yang akan menghadirkan sejumlah figur yang konon katanya akan mewakili suara rakyat. Tapi rakyat yang mau dibeli suaranya. Dan dari hasil itu, partai yang banyak meraih suara tentu saja berhak mengajukan capresnya sendiri. Mereka inilah yang akan digadang-gadangkan menjadi pengambil tongkat estafet kepemimpinan Pak SBY yang sudah kehabisan durasinya.

Ini merupakan pemilu pertamaku, karena dua bulan yang lalu aku mendapatkan KTP. Sampai di titik ini aku sudah dewasa rupanya. Setidaknya menurut data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil serta KPU. Asyik!

Tapi aku bingung harus memilih partai apa, siapa calegnya, dan lebih membingungkan lagi, siapa yang akan kupilih dari ketiga capres kebanggaan Indonesia ini. Menurutku ada tiga orang dan beberapa hasil survey.

“Dit, pilih partainya Prabowo aja. Dia anak Begawan Ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Dia itu jenderal, bodinya atletis, sehat kan? Sudah jelas pernah berjasa untuk negara.” Kata ayah sambil membaca surat kabar Minggu pagi yang ada headline, Prabowo: Program Kami Jelas, yang Lain Tidak.

Bunda memotong perkataan ayah sambil mengayunkan pisaunya ke arah ayah yang duduk di dapur. Kira-kira semester dari Ayah.

“Jangan. Mendingan kau pilih Jokowi. Tokoh blusukan, merakyat, membumi. Lihat, dia pemimpin yang suka masuk ke gorong-gorong. Mana ada pemimpin sepertinya.”

Ayah terbakar hatinya. Pilihannya mendapat saingan sepadan. “Alah, Bun, itukan cuma pencitraan saja. Lihatlah Jakarta, baru diurusi sebentar saja, eh, sudah mau nyaloni jadi presiden. Kan tamak sekali. Terlalu menurut kata ketua partainya saja. Bayangkan kalau kita punya pemimpin sepertinya, masa pemimpin negara dipimpin pimpinan partainya. Kan aneh?”

Bunda menyambung. Kali ini jaraknya makin dekat dengan ayah. Ayah melirik ke arah pisau bunda yang kapan saja bisa salah sasaran. Bukannya ke sayur, takutnya ke leher.

“Lho, daripada Prabowo, mana buktinya. Jelas-jelas, pas pemilu kemarin partainya kan keok. Dia safari politiknya cuma berani ke kampung-kampung. Beraninya ya pengaruhi petani dan nelayan saja. Memangnya petani dan nelayan itu mau diapakannya, jadi pegawai negeri. Sementang-mentang ketua HKTI. Lagian, dia itukan mantan menantu Soeharto. Produk orba. Takutnya, dia seret kita balik ke zaman dulu. Ih seram.”

“Eh, Bun. Dengarkan ini. Prabowo itu masih memiliki silsilah dengan sultan-sultan di Jawa. So, doi berarti memiliki darah ksatria di tubuhnya. Wajarkan kalau kita mempunyai pemimpin yang berjiwa ksatria. Makanya ia layak disebut Prabo, mirip-mirip prabu gitu…..” Kemballi ayah mendebat bunda dengan mengungkit silsilah keluarga Prabowo.

Bunda kembali mengeluarkan opininya tentang Jokowi. Matanya mendelik. Dan keberadaanku terlupakan bagai mahkluk kasat mata.

“Dengarkan ini, Yah. Jokowi itu anak orang susah. Dia memulainya dari bawah dan bukan karena punya silsilah atau hubungan kekeluargaan dengan tokoh hebat manapun. Jadi, Jokowi itu benar-benar mengerti kesusahan dan kepedihan menjadi rakyat.”

Mereka terus berdebat. Meskipun pilihan berbeda, namun ayah dan bunda tak sampai berduel berdarah-darah. Itu dialog ‘panas’ ala mereka. Di rumah, kami sering berbeda pendapat. Siapa pun berhak mengklaim dirinya benar. Di sini, kami belajar berani mengungkapkan pendapat dan harus siap didebat ataupun dikritik. Sebuah adegan dan dialog demokrasi mengalun di ruang tamu. Mereka mengusung pilihan sendiri-sendiri. Dulunya, mereka satu pilihan, namun karena menurut tren survey kedua tokoh ini yang layak jadi presiden selanjutnya, ya mereka memilih calonnya masing-masing.

Tiba-tiba, dari arah kamar terdengar suara seseorang yang berpakaian biru dan bercelana biru. Kukira dia fan dari klub sepakbola asal Inggeris, Chelsea, dan mengenggam selembar foto mobil F1 beserta foto pembalap nomor wahidnya, Schumi.

“Hello semuanya, jangan lupakan tokoh yang satu ini, ya. Mendingan pilih seseorang yang ada dibalik kendaraannya. Dahlan Iskan. Dia orang yang jujur, berani, dan merakyat juga,lho. Buktinya dia beberapa kali tidur di rumah warga miskin di perkampungan. Terus pernah naik kereta api ke kantornya, naik ojek untuk menghindari macet biar sampai di tempat rapat yang dipimpin presiden, dan mantan pengolah media yang sudah sekarat, tapi medianya menjadi salah satu media terkuat di Indonesia.”

Mungkin baginya Dahlan Iskan mirip dengan Schumacher. Orang kuat dibalik organisasi yang sakit, menjadi organisasi yang sehat dan produktif. Sebuah pilihan yang tepat juga untuk menjadi The Man Behind The Gun.

Mulutnya gatal dan terus berdiplomasi. “…….dia juga berjiwa ksatria dan berasal dari orang susah. Coba baca berbagai buku-buku yang mengisahkan kehidupannya dulu. Pasti kagumlah semuanya……………”

Itu adalah testimoni dari, Rendi, kakakku. Dia salah seorang pengagum Dahlan Iskan. Dan di rumah ini, ada tiga orang yang sudah mempunyai capresnya sendiri. Tinggal aku sendiri, nota-bene pemilih pemula yang masih polos berpikir untuk memilih siapa yang mewakili suaraku dan jalan hidup negeriku ini. Aku pemuda yang masih terombang-ambing. Menurut para orang-orang pintar berpolitik, aku dan kaumku ini dilabeli sebagai pemilih pemula dan swing voter.

Sesuai dengan istilahnya, pemilih yang masih terayun-ayun. Mau memilih ini-itu masih belum bisa mengambil keputusan bulat sebulat kue onde-onde yang didalamnya ada gula merah yang rasanya manis. Aku takut keputusanku yang bulat itu justru terasa getir jika aku salah memilih. Bisa-bisa negara ini bangkrut dan cuma dikenang di dalam buku-buku sejarah layaknya Uni Soviet dan Yugoslavia.

Tanpa didirijeni oleh siapa pun, ayah dan bunda koor.

‘Apa? Lihat partainya lagi sakit.”

“Jutru itulah makanya diperlukan pemimpin yang mampu membuat sebuah organisasi yang sakit sehat kembali. Da Is, Ada Isyarat, untuk jadi presiden kita. Dia kan orang yang sudah berpengalaman.” Bantah kakak yang ikut bergabung bersama kami di dapur.

Ketiga-tiganya merupakan tokoh Indonesia yang kuat, berjiwa ksatria, hebat, santun, merakyat, membumi, dan bermutu. Tapi masih ada keraguanku untuk ketiganya.

“Apakah ini hanyalah topeng politik yang manis? Ataukah ini hanyalah hembusan angin surga yang menghembuskan aroma busuk berbalut wewangian? Ataukah akan salah melangkah lagi negeri ini sehingga mereka seperti menjual mimpi indah di siang bolong dan di tengah kesekaratan Indonesia? Ataukah lebih baik aku simak dulu kiprah mereka? Dan atau aku memilih golput?”

Hatiku bertanya sembari tersenyum melihat debat politik ala keluarga kami. Politik yang berpindah dari ruang tamu ke ruang dapur. Bisa juga sampai ke ruang tidur, tapi damai kala semuanya sudah pulas dan terbuai mimpi indah. Berharap nasib negeri ini berakhir indah esok, saat pemilu tiba.

“Ha….ha….ha…….” Semua tertawa. Semua bergembira dengan pilihannya.

Aku? Masih terayun-ayun. Gamang!

25………..Maret……………..2014……….09:52

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun