Mohon tunggu...
HARDI SANJAYA
HARDI SANJAYA Mohon Tunggu... -

Melihat, merenung, menuturkannya lalu menuliskannya agar kita tetap ada dan dikenang meski raga usai dilahap tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Doakan Sajalah!

3 Juni 2014   17:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini cerahnya Sang Surya menyambut penuh sukacita. Meski tiada hari yang bertambah, libur yang berlimpah, uang yang terus mengalir ke dompetku tumpah ruah, ataupun berita kalau Indonesia masuk piala dunia sepak bola.

Tetapi hari ini ada pesta besar di seantero negeri. Pesta rakyat bagian kedua untuk tahun ini. Memilih kepala suku di republik yang sudah cukup uzur ini. Ada yang membuat hariku ini menjadi sangat cerah. Tepat hari ini aku berulang tahun yang ke-25. Dan lagi, inilah pilpres pertamaku.

Walaupun cuma dua pasang calon yang akan bertanding, namun kedua-duanya merupakan putera-putera terbaik yang berhasil melalui berbagai proses untuk menjadi calon pemimpin ratusan juta rakyat ini. Rakyat yang sangat butuh pimpinan yang merakyat, tegas, berwibawa, mempunyai manajerial yang baik, dan mengerti secara terintegrasi ke dirinya tentang arti penting hubungan pemimpin dan rakyatnya.

Aku mempunyai calon tersebut. Orangtuaku juga demikian. Seluruh penghuni di rumah kami juga sama. Aku tak sabar menuju ke TPS sejam lagi. Rasanya seperti seorang bocah yang akan membuka kado ultahnya.

Aku menatap jendela. Tepat menatap ke arah matahari yang tersenyum indah dengan sinarnya. Padahal sudah seminggu ini, kotaku dan berbagai kota di Indonesia diguyur hujan. Tapi akhirnya, hari ini, hari yang dikawatirkan akan turun hujan lebat, nyatanya prediksi ahli meteorologi kalah telak.

Aku bahagia!

Banyak yang pesimis terhadap pemilu. Mereka menganggap semuanya sama saja. Aku mengerti. Aku sadar. Lagi-lagi selalu dan selamanya korupsi berjamaah. Itu memang sukar disangkal. Sulit dihilangkan, karena selama setan masih menggoda mereka, semua bayangan buruk tersebut akan menjadi nyata. Kecuali setan bertobat. itupun kalau setan mau dan Tuhan juga menerima.

“Bagaimana, sekarang kita berangkat?” Ayah mengagetkanku. Rupanya ayah memperhatikanku.

“Sudah, Yah. Tapi ayah berangkat saja duluan. Nanti aku menyusul. Ada yang mau aku bereskan.”

“Okelah kalau begitu. Kami tunggu ya di sana.” Ayah berlalu bersama seluruh isi rumah. Sedangkan aku masih akan melaksanakan tugasku. Tugas sebagai seorang hamba yang masih mendua hatinya. Mendua karena hanya ada dua pilihan.

Aku cinta negara ini. Sekaligus benci para pemimpinnya. Anggota dewannya. Pihak penegak hukum dan pelaksananya. Juga kepada banyak orang Indonesia. Sampai aku pernah ingin mengadu nasib ke luar negeri dan bersiap menjadi warga di sana. Tidak usah kembali ke tanah air pun tak mengapa. Jika negara lain menyerang negeriku, akan kubiarkan. Aku tak peduli. Pokoknya sangat benci.

Namun, sejak malam terakhir itu, malam yang mengubah paradigma berpikirku. Aluran berpikirku yang berkelok-kelok tentang negeri ini menjadi berubah total. Seumpama gerhana total yang mengelapkan dan setelah selesai menunjukkan aura gelapnya, ia pun kembali terang. Seolah PLN selesai dengan urusan mematikan dan menyalakan aliran listrik ke rumah-rumah.

Semua penerangan itu datang dari seseorang yang sekolah dasar pun tiada tamat. Dia bukan seorang guru, dosen, orang kaya, orang berilmu, apalagi ilmuwan. Dia hanya seorang kakek tua renta yang pernah mengabdikan nyawanya dan raganya untuk bangsanya. Tidak mempedulikan salah satu jari tangannya putus karena menyerang penjajah. Juga kelelahan sehingga membuatnya kurus. Serta tak mau peduli jika uang pensiuannya tidak diberikan oleh pemerintah. Tiada sedikit pun dia mengeluh dan terus mengerutu.

Dia hanya tersenyum dan malahan mengikhlaskan semuanya. Baginya tak peduli dengan jasa yang cuma diukur oleh materi ataupun selembar penghargaan dari pemerintah. Yang terpenting adalah untuk negerinya.

Dulunya dia pemuda yang sangat nasionalis. Tak rela negerinya diinjak bangsa penjajah. Bersama teman-temannya, tanpa takut dan didorong nasionalis dan jiwa patriotik, dia angkat senjata. Akhirnya membuat penjajah angkat kaki dan tak pernah kembali lagi untuk mengeruk sumber daya alam negerinya.

Kini, dia seorang pejuang. Pejuang yang memerdekakan dirinya, keturunannya, orangtuanya, dan saudara-saudara sebangsa serta setanah airnya. Membuat masa depan generasinya merasakan dan menikmati kemerdekaan penuh dari bangsa luar. Namun sekarang justru negerinya kembali dijajah. Kali ini oleh bangsanya sendiri. Sungguh miris.

“Bung Karno pernah mengatakan begini. ‘Kita tak akan hancur dari luar, tapi justru dari dalam.” Katanya pada saat itu. Saat aku terlihat memusuhi negaraku sendiri.

Bersama teman-teman aku membuka debat berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini. Sebagai aktivis di kampus, aku berupaya mendobrak sistem yang ada di negara ini. Rumah kami menjadi tempat diskusi yang cukup sering kami lakukan. Kakek itu, walaupun tidak peduli dengan politik dan hukum, namun dia menyimak diam-diam. Melihat semangat anak muda mengingatkannya pada ketika seusia itu. Semangat berapi-api.

Kakek itu menawarkan kepadaku sebuah pesan yang terus-terusan mengeluh dan mengerutu tentang berbagai sistem di negeri ini. Pesannya sangat sederhana saja. Tidak perlu berlebar-lebar kata dan berpanjang-panjang huruf. Cukup dua kata saja.

“Doakan sajalah!”

Aku masih saja mengerutu. Mengeluh. Wajahku masih juga sangar dan kejam kalau disinggung politik dan hukum. Bagiku semua itu omong kosong meski yang menyampaikan orang yang dianggap baik oleh banyak orang Indonesia.

Menurutku semuanya tersebut hanyalah akting belaka. Agar mendapatkan simpati. Begitu dapat dan terpilih, maka dia dan kelompoknya akan mengikis semuanya. Jika ada berita miring mengenainya, jelas dia dan para pendukungnya bisa membelanya habis-habisan. Dia selamat, rakyat pun menanggis.

Berkat perkataan kakek tersebut, isi di otakku perlahan menjadi kondusif dan jauh lebih tenteram. Kesadaranku berhasil pulih. Kini aku bukanlah orang yang penuh dengan pesimistis dan aura kegelapan. Ini hanya menjadi bagian gelap dari dalam hidupku. Pernah hidup dengan gerutuan dan keluhan tapi tak berani mengubahnya dari diri sendiri.

“Memang benar sistem hukum kita kacau. Memang betul sistem perekrutan anggota dewan kita modalnya mahal. Tepat jika dikatakan bahwa perekrutan militer kita amburadul. Dan sistem-sistem lainnya. Semuanya sitem busuk itu berpangkal dari para pemimpinnya lalu ke pemimpin dibawahnya. Sulit untuk memberantasnya.

Masuk kerja saja harus menyogok. Mau naik jabatan di institusi pun harus keluar modal. Mengambil SK PNS pun wajib bayar. Urus KTP dan KK sama juga. Pokoknya duit. Tapi apa mau dikatakan, semuanya pasti berubah pada saatnya. Kalau sudah pada titik didihnya, semuanya akan habis. Ada ambang batasnya.”

Itulah kalimat retorisnya. Kalimat yang menggambarkan seluruh sistem di Indonesia. Sistem yang lahir ketika kakek sudah tidak muda lagi dan tidak mengusir bangsa asing. Yang dihadapi sekarang adalah bangsa sendiri yang tentu saja tidak boleh diusir meski itu masalah korupsi dan ketidakadilan.

Menurut kakek sekali lagi. Doakan sajalah!

Karena siapa pun manusianya, pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Lihat dan salahkan diri sendiri. Adakah kita seperti itu?

Oke. Sekarang aku sudah siap memilih. Setelah meminta petunjuk-Nya, aku memilih dia sebagai presidenku. Putera terbaik yang dimiliki negara ini untuk sekarang. Kelak pada masa depan pasti ada yang lain.

Siapa pun yang keluar sebagai pemenangnya, sesungguhnya dia akan kalah. Jika janji yang didengung-dengungkannya selama ini, gaya yang diusungnya dahulu tidak memenuhi ekspektasi rakyatnya.

Di sini, saat aku mulai memilihnya, dengan nama-Nya dan segala kasih dan sayang-Nya, kusematkan amanah ini kepadanya. Aku dan rakyat ini hanya bisa berdoa dan mengawasinya. Ingatlah dan rasakanlah getaran harapan kami. Karena aku ingat petuah kakekku dan pesan dari kitab suciku.

“Tuhan, lindungilah para pemimpin kami.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun