Mohon tunggu...
Didik Purwanto
Didik Purwanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Tech Buzz Socialist

Menyukai hal-hal berbau keuangan, bisnis, teknologi, dan traveling. Tulisan bisa dilihat di https://www.didikpurwanto.com dan https://www.ranselio.com

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Petani Makin Melek Teknologi, Sejahtera Bersama IndiHome Lewat Informasi

10 Mei 2023   22:43 Diperbarui: 10 Mei 2023   23:02 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beragam aktivitas petani di Kabupaten Kediri. Foto: dokumen pribadi

Hingga kini, petani di daerahku masih memakai cara tradisional. Memakai alat dan mesin pertanian (alsintan) justru memperbesar biaya operasional.

Pernah ada yang menawarkan penggunaan pesawat nirawak (drone) untuk penyemprotan hama. Biaya yang dikeluarkan sebenarnya hanya Rp 450 ribu per hektare. Masalahnya, mayoritas petani hanya memiliki sawah dengan luasan maksimal 1.500 meter persegi. Otomatis biaya tersebut dianggap mahal.

Jika petani memiliki luas lahan lebih dari itu, biasanya sudah dianggap orang kaya. Karena mayoritas petani di sini masih sewa ke tetangga dengan biaya rata-rata Rp 3 juta per tahun untuk luasan 1.500 meter persegi.

Pelan-Pelan Ajari Teknologi

Pandemi COVID-19 juga berdampak positif ke masyarakat. Penggunaan media teknologi semakin masif seiring penetrasi internet hingga pelosok. Misalnya, rata-rata masyarakat sudah memiliki ponsel dengan koneksi internet, meski hanya anaknya yang memakai karena untuk pendidikan daring saat itu.

Mereka mengakses internet melalui koneksi nirkabel (Wi-Fi) setiap rukun tetangga (RT). Sejak 2021, koneksi internet provider IndiHome dari Telkom Indonesia sudah masuk desa. 

Koneksi yang dipakai berupa WiFi.id dengan biaya terjangkau. Pengelola membebankan biaya Rp 2.000 untuk akses selama enam jam dan Rp 5.000 untuk mengakses 24 jam.

Dengan akses internet ini, masyarakat desa minimal sudah mengerti aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Sehingga koordinasi cukup melalui aplikasi itu, meski harus diajarkan ke anaknya dulu. Serta akses video melalui YouTube untuk melihat informasi pertanian dari daerah/petani lain.

Pelan-pelan aku mendatangi petani di daerahku untuk mendata petani sekaligus minta kontak untuk masuk kelompok WhatsApp. Hingga setahun terakhir, baru terdata 32 orang dari total 130 petani yang terdaftar di poktan di desaku. Jumlah masih sedikit karena tidak semua petani memiliki ponsel karena mayoritas sudah lanjut usia. Atau tidak memiliki anak usia sekolah sehingga pengurus poktan harus mendatangi petani tersebut jika ada informasi penting.

Hasil percakapan petani di group WhatsApp. Foto: dokumen pribadi
Hasil percakapan petani di group WhatsApp. Foto: dokumen pribadi

Di kelompok WhatsApp, aku bisa memberitahu jika ada kabar kedatangan pupuk bersubsidi, bantuan benih, hingga berbagi informasi terkait pertanian, baik antarpetani, distributor petani, petugas penyuluh pertanian (PPL) hingga Dinas Pertanian setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun