Sudah setahun ini, aku kembali ke kampung halaman di Kediri, Jawa Timur. Perusahaan tempatku bekerja di DKI Jakarta terdampak pandemi COVID-19.
Banyak karyawan dirumahkan. Pesangon pun tak diberikan. Alasannya, Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan membolehkan perusahaan tak membayar pesangon apabila kondisi perusahaan sedang terdampak bencana atau krisis. Nah, pandemi COVID-19 ini bisa dibilang salah satu dari bencana atau krisis tersebut.
Tak mau ribut mengurus pesangon, aku memilih mengabdi ke desa. Menjadi petani milenial, trading saham, sambil membantu orangtua.
Namun, aku tak putus asa. Segala lamaran pekerjaan pun sudah aku coba, meski hasilnya bisa ditebak, karena masalah usia.
Beruntung, pekerjaan sampingan ku terus ada. Salah satunya menjadi blogger, copywriter, hingga jurnalis paruh waktu di ibu kota.
Namun kendalanya, internet di desa tak semulus di kota. Meski tanpa penghalang gedung bertingkat, sinyal jaringan internet di desa sering tersendat.
Sinyal maksimal hanya mentok di dua bar. Buka laman internet pun harus bersabar.
Kendala-kendala ini makin diperparah saat harus melakukan panggilan video (video call) dengan klien atau webinar. Suara terputus-putus dan gambar terlihat tak lancar.
Rasio Penetrasi Internet Indonesia
Berdasarkan data OOKLA pada Oktober 2021, rasio penetrasi internet Indonesia masih sangat rendah. Penetrasinya hanya 1 koneksi untuk 26 warga. Angka tersebut berbeda dengan penetrasi internet di Thailand yang mencapai 1:6, yaitu 1 koneksi untuk 6 orang.
Memang koneksi internet Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Negeri Gajah Putih tersebut. Indonesia berbentuk kepulauan. Sedangkan Thailand satu daratan besar dengan beberapa pulau kecil.
Di Indonesia, penetrasi internet hanya 1:18. Hal ini dengan asumsi 80 persen pelanggan fixed broadband di Jawa. Saat ini pelanggan fixed broadband Indonesia hanya 10,7 juta.
Jika dibandingkan dengan penduduk Vietnam, kepadatan penduduk Pulau Jawa mencapai 4 kali lipat. Dengan Thailand bahkan 8 kali lipat.
Untuk menyamai rasio penetrasi Vietnam mau pun Thailand, jumlah pelanggan harus naik menjadi 45,5 juta.
Sebuah pekerjaan rumah yang panjang untuk mewujudkannya. Selain tarif murah, infrastruktur jaringan internet harus merata di setiap daerah.
Kecepatan Internet Indonesia Rendah
Masih berdasarkan data OOKLA pada Oktober 202, kecepatan internet fixed broadband Indonesia hanya 19,87 Mbps. Angka itu menyebabkan Indonesia harus puas di posisi 112.
Internet Indonesia masih kalah dari Laos, Brunei, Filipina, Vietnam, Malaysia, apalagi Thailand. Jangan terlalu membandingkan dengan Singapura karena negara tetangga itu di urutan pertama.
Berdasarkan data Speedtest Intelligence pada kuartal III-2021, Telkomsel sebagai operator jaringan telekomunikasi terbesar di Indonesia mencatatkan kecepatan rata-rata internet sekitar 30,49 Mbps. Anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) ini juga mencatatkan skor konsistensi sekitar 85,7 persen, mengalahkan XL (82,7 persen) dan IM3 Ooredoo (82,6 persen).
DKI Jakarta masih menjadi wilayah dengan kecepatan unduh (download) fixed broadband tercepat di Tanah Air mencapai 33,73 Mbps. Untuk kecepatan unduh internet mobile diraih Makassar sekitar 25,30 Mbps.
Di daerah lain, ya pasti di bawah itu. Apalagi di kotaku, dekat Kampung Inggris, Pare.
Internet Cepat Buat Apa?
Saat pandemi ini, aktivitas daring (online) makin sering. Tidak hanya buat mencari nafkah tapi juga sekolah.
Beberapa ibu rumah tangga yang masih memiliki anak usia sekolah kebanyakan mengeluh. Uangnya habis untuk membeli paket internet. Belum lagi mereka tidak mengerti cara menggunakan ponsel pintar (smartphone).
Yang lebih parah lagi, ibu-ibu ini kesulitan ketika diajak belajar daring menemani anaknya. Selain sinyal internet payah, kemampuan mengoperasikan smartphone pun lemah.
Alhasil, ibu-ibu ini menggeruduk sekolah untuk menggelar sekolah tatap muka. Atau minimal tidak menggelar pertemuan virtual dengan anak.
Kesulitan itu pun aku pahami. Beberapa kali, aku ikut menemani beberapa ibu-ibu saat mengerjakan tugas anak.
Guru tersebut mengajar melalui Google Meet. Pertemuan itu aku pikir lebih gampang dibandingkan melalui Zoom. Namun setelah banyak protes, akhirnya hanya mengirim tugas sekolah melalui WhatsApp. Itu pun beberapa ibu-ibu harus nebeng ke ibu-ibu lain yang memiliki smartphone.
Miris. Namun begitu lah kenyataan sekolah di masa pandemi. Aku pikir, daerah juga perlu mendapatkan prioritas pengembangan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Serta perangkat ponsel murah dengan jaringan internet termutakhir. Misalnya 4G dan kini mulai dengan 5G.
Padahal dengan internet cepat juga bisa mendukung perekonomian. Salah satunya lonjakan belanja daring (e-commerce) dan penjualan produk-produk UMKM di situs belanja daring. Serta makin ramainya masyarakat menjual produk via media sosial.
Jangan hanya mempercepat jaringan internet di wilayah padat penduduk dan kemampuan membayarnya tinggi. Tapi juga menyediakan internet mudah dan murah di berbagai daerah, khususnya di kawasan terpencil, terluar dan terisolir.
Makin Mudah Dapat Internet Murah
Untuk meningkatkan penetrasi internet di Tanah Air, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) selaku BUMN Telekomunikasi merilis aplikasi MyIndiHome versi terkini.
Aplikasi dengan konsep new excitement itu kini memberikan keleluasaan bagi pelanggan untuk mendapatkan layanan internet mudah dan murah.
Melalui layanan IndiHome di aplikasi MyIndiHome, kini kita dapat pasang baru dan perbaikan layanan IndiHome dengan gampang.
Sebelum pasang baru, kita bisa mengecek ketersediaan jaringan internet fixed broadband. Jika tersedia, kita dapat meminta pasang baru di rumah. Jika tidak ada, bisa menghubungi pihak IndiHome atau Telkom terdekat.
Aplikasi MyIndiHome yang bisa diunduh di Play Store dan App Store juga menyediakan pencarian dan pemilihan paket langganan IndiHome dengan mudah dan murah. Selain itu, kita bisa mencari beragam layanan digital menarik seperti aktivasi layanan video streaming Disney+ Hotstar dan sebagainya.
Tak hanya itu, kita juga bisa mengecek serta membayar layanan IndiHome melalui berbagai cara. Di antaranya transfer bank, kartu debit/kredit, saldo MyIndiHome hingga yang terbaru terkoneksi dengan dompet digital LinkAja.
Pembaruan aplikasi MyIndiHome ini sesuai masukan pelanggan. Dengan perbaikan proses bisnis internal perusahaan, pengembangan teknologi digital ini akan memberikan pengalaman digital terbaik kepada pelanggan.
Satu Aplikasi Untuk Semua Transaksi
Aplikasi MyIndiHome versi terkini memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan mengatur layanan IndiHome hanya melalui perangkat smartphone di mana pun dan kapan pun.
Nantinya, aplikasi MyIndiHome dengan konsep new excitement ini akan dilengkapi fitur biometrik dan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Pelanggan nantinya bisa cepat mengakses aplikasi dengan biometrik pengenalan wajah (face recognition) tanpa harus mengingat kode akses dan kata sandi (password). Pelanggan akan semakin dimudahkan. Jadi, satu klik di aplikasi MyIndiHome bikin semua transaksi makin asyik.
Dengan pengkinian aplikasi tersebut, pelanggan juga dapat melakukan penjadwalan dengan teknisi saat pasang baru atau perbaikan layanan. Bahkan proses pengerjaan oleh teknisi dapat dipantau dari mana pun melalui aplikasi. Sehingga pelanggan lebih tenang, bebas dari rasa khawatir.
Promo Biaya Pasang Baru
Melalui aplikasi MyIndiHome, terdapat paket promo biaya pasang baru layanan IndiHome, yakni penawaran paket pelajar, pengajar, dan jurnalis.
Promo biaya pasang baru layanan IndiHome semula senilai Rp 500 ribu menjadi hanya Rp 150 ribu. Pilihan paket internet pun beragam. Yang termurah, paket internet ditawarkan berkecepatan mulai 20 Mbps. Asyik banget ngga tuh?
Selain paket itu, pelanggan akan dapat cashback LinkAja senilai Rp 100 ribu. Yang menarik lagi, khusus 1.000 pelanggan pertama yang pasang baru tersebut akan mendapatkan merchandise menarik.
Ingat, promo biaya pasang baru ini hanya berlaku hingga 31 Desember 2021. Kalo ada internet cepat dan murah kayak gini, ngapain pilih yang lain? Mimpi internet cepat semoga bisa diwujudin!