Mohon tunggu...
Ditdit Nugeraha Utama
Ditdit Nugeraha Utama Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Educationalists, lecturer, IS researcher, writer, proofreader, reviewer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bacalah, dan Ber-empati-lah!

22 April 2015   17:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Panca indera – sebagai alat input bagi manusia – haruslah tetap dioptimalkan fungsinya. Panca indera memungkinkan manusia mampu untuk menyerap data dan informasi, yang kemudian diolah, untuk dijadikan dasar pijakan manusia di dalam berkehidupan. Baik dan buruk, benar dan salah, atas segala dasar pijakan setiap tingkah laku berkehidupan manusia, tentu beranjak dari data dan informasi yang manusia terima melalui panca alat tersebut.

Istilah membaca, bukanlah – melulu – bermakna letterlijk (Belanda, baca: harfiah) yang harus dipahami sebagai sebuah kegiatan menalar rangkaian huruf, kata dan kalimat saja. Istilah membaca, adalah sebuah upaya bagaimana manusia mencoba untuk memindai semua data dan informasi yang terhampar luas – dalam berbagai bentuk – oleh kelima alat input yang dimilikinya tersebut. Dan – tanpa sadar – semua data dan informasi tersebut – lalu – tersimpan dan kemudian membentuk pola pengetahuan yang saling berkaitan – dalam hubungan cause-effect – di dalam otak, yang merupakan salah satu alat utama akal manusia.

Akal, inilah yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Akal memungkinkan pikiran manusia berada pada daerah kajian yang logis dan sistematis, terstruktur dan tidak acak-acakan. Akal mampu untuk membelenggu keinginan napsu yang kadang tak mampu dibentengi, walau kadang akal – pun – kalah kuat jika ditandingkan dengan napsu; sehingga memang dibutuhkan ke-ikhlas-an tingkat tinggi untuk mengikat napsu tersebut. Aturan yang sangat strict – kadang – sangatlah dibutuhkan oleh akal, untuk mampu melihat sesuatu dengan kacamata hitam dan putih, benar dan salah. Ketika akal kalah kuat, napsu keinginan manusia (baik atau buruk) akan mengintervensi akal dan akan memperlebar kadar daerah kajian akal tersebut. Kondisi ini memungkinkan terjadinya ketidaklogisan dari sebuah tingkah laku manusia.

Cita rasa yang dibawa napsu, inilah yang memungkinkan akal keluar dari kadar daerah kajiannya. Ambang toleransi dapat saja dimaklumi, namun ketika cita rasa napsu ini pun berlebih – terlepas hal tersebut merupakan napsu baik atau buruk – tentu akan terjadi ketidaksetimbangan yang – kadang – sangat merusak. Contoh sederhana, memakan daging sangatlah dibutuhkan tubuh. Konsumsi daging beberapa gram per hari adalah – cukup – baik bagi kesehatan. Diberi garam dan bumbu lain (cita rasa napsu), membuat daging terasa sangat nikmat. Namun, lantas apa yang terjadi; ketika kita memakan daging lebih dari 2 kg per hari? Atau, apa yang terjadi ketika kadar 100 gram daging diberi 200 gram garam lalu dimakan? Atau, bagaimana dengan kita yang mengolah daging dengan menggunakan arak sebagai varian penyedap rasa kepuasan lidah? Atau lebih lanjut, bagaimana jika daging berarak tersebut diberikan kepada orang lain? Ketidaksetimbangan – pasti – akan terjadi, karena napsu telah memberi intervensi berlebih atas kajian akal. Bukan hanya diri sendiri, keseluruan sistem secara utuh pun ikut menjadi tidak setimbang lagi.

Sehingga, menjadi sangat penting pada akhirnya. Bahwa napsu yang ada pada setiap diri manusia, haruslah diberi rambu-rambu kebenaran, aturan-aturan nyata tak terbantahkan; sebagai sebuah fungsi sistem yang – seharusnya – manusia sendiri memiliki tanggungjawab untuk menegakkannya. Agar napsu menjadi manut dan tunduk karenanya, agar intervensi napsu atas akal malah mempercantik hasil bukan merusak kelogisan, dan akal – pun – tetap terjaga kesuciannya. Semakin hari dan semakin waktu manusia membaca, seharusnya manusia akan – mampu – menjadi insan-insan yang berkualitas nomor wahid. Insan-insan yang tersibukkan dengan tingkah laku berkehidupannya yang penuh makna. Insan-insan yang mampu memperbaiki kerusakan yang ada dan merevisi keburukan yang terjadi. Insan-insan yang selalu berbagi nilai bajik, bukan aksi kejahatan. Insan-insan yang sangat ber-empati pada sesama dan sekitarnya. Oleh karenanya; bacalah, dan ber-empati-lah… [dnu]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun