Kontestasi di Indonesia tak pelak membuat ujaran  kebencian melalui media sosial sangat marak. Fenomena ini dimulai sekitar tahun 2012 dan berlangsung sampai sekarang. Ujaran kebencian ibarat ombak yang bergulung-gulung cukup besar volumenya dan terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Kita juga mungkin tahu bahwa di Amerika Serikatpun, hoaks dan ujaran kebencian juga terjadi saat pemilu 2014. Pemilu yang dimenangkan oleh Trump itu disinyalir menggunakan pihak-pihak lain yang ikut memperkeruh suasana informasi kampanye dua pihak melalui media sosial. Penggunaan beberapa pihak itu ternyata efektif untuk "membakar" emosi para pendukung dua pihak sehingga suasana panas terjadi dan menimbulkan kekacauan informasi. Kemenangan yang diperoleh oleh Trump disinyalir juga karena didukung oleh pasukan maya itu.
Begitu juga dengan Indonesia. Pada dua Pilpres dan Pilkada Jakarta, ujaran kebencian begitu terasa selain juga hoaks dan fake news. Malahan, ditengarai juga ada hoaks industri yang dikerjakan oleh kaum profesional mirip yang dilakukan di AS. Mereka mampu mengorbarkan kemarahan dan menyulut permusuhan.
Namun di atas hoaks dan fakenews yang paling bahaya adalah ujaran kebencian. Ujaran kebencian menurut beberapa ahli seringkali mengusik nurani dan beberapa hal privat sehingga menimbulkan kemarahan dan kebencian yang sulit pulih. Secara teori, bahkan ujaran kebencian itu menimbulkan genosida. Pada titik terendah dia bisa menimbulkan konflik horisontal antar pendukung. Kita bisa melihat ujaran kebencian pada ranah politik bisa menyebabkan peresahabatan kendur bahkan perpisahan (cerai) dari pasangan karena pilihan politik yang berbeda.
Ini bisa terjadi karena massifnya ujaran kebencian di media sosial, seperti yang diungkapkan di atas seperti gelombang ombak yang  menggulung tinggi dan menghempas air di pantai dengan keras. Situasi ini menimbulkan keterbelahan yang signifikan, bahkan keadaan itu membekas sampai saat ini.
Ada baiknya situasi itu bisa kita akhirpi pada kontestasi politik tahun 2024. Bukan saja soal agama, tapi juga sosial, ideologi, ekonomi dan lainnya yang harus kita diskusikan agar ke depan kita bisa mengurangi hoaks, fake news dan ujaran kebencian.
Dan semoga kasus-kasus seperti ustaz Bahar Smith dan Fernand Hutahaen menjadi kasus terakhir untuk ujaran kebencian. Ini benting agar tercipta damai dalam bangsa dan masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H