Mohon tunggu...
Dita Tri Indiani
Dita Tri Indiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi "Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam (studi kasus di dukuh duwet)

2 Juni 2024   10:55 Diperbarui: 3 Juni 2024   20:34 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Skripsi "Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam (studi kasus di dukuh duwet)

Nama : Dita Tri Indiani

NIM : 222121146 / HKI-4 D

A. PENDAHULUAN

Tujuan menikah adalah untuk mempunyai anak, namun ada pula yang belum mempunyai anak. Biasanya pasangan suami-isteri melakukan pengangkatan anak. Dalam konteks pengangkatan anak dikenal istilah adopsi. Pengangkatan tersebut diatur oleh beberapa ketentuan perundang-undangan, bahkan dikenal dalam sistem umum hukum perdata, hukum Islam, dan hukum adat.

Sebagian orang tua angkat sudah membagi harta warisannya kepada anak angkatnya, dan ada pula yang masih mempertimbangkan untuk membagi harta tersebut. Orang tua yang mengangkat anak angkat mempunyai pandangan yang sama dengan anak kandung dalam membagi harta warisan. Dalam hukum Islam, status anak angkat bukanlah status ahli waris menurut ketentuan Pasal 209, oleh karena itu anak angkat berhak menerima wasiat wajib sekurang-kurangnya 1/3 dari harta peninggalan orang tuanya. Sedangkan menurut hukum Islam, anak angkat tidak dianggap sebagai ahli waris orang tua angkatnya karena tidak ada perkawinan atau hubungan darah. Namun kenyataannya, di sebagian masyarakat anak angkat berhak mewarisi lebih dari 1/3 harta warisan, hal ini tidak sesuai dengan syariat Islam.

Hukum waris merupakan bagian dari hukum keluarga yang mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat. Memang hukum waris sangat erat kaitannya dengan lingkup kehidupan manusia. Asas pembagian harta warisan di antara para ahli waris adalah dengan mengakui hak milik perseorangan atas barang bergerak dan barang tak bergerak.

Demikian pula dengan hukum kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip keturunan. Melihat ada sebagian masyarakat yang melakukan pengangkatan anak yang disebabkan oleh perkawinan yang tidak dikaruniai anak, jadi seakan-akan apabila suatu pernikahan tidak memiliki keturunana, maka tidak tercapai tujuan perkawinan. Tujuan pegangkatan anak di masyarakat untuk meneruskan keturunan apabila di dalam perkawinan tidak mempunyai anak.

Dengan adanya proses pengangkatan anak maka timbullah suatu cabang ilmu hukum mengenai bagaimana cara mengurus pewarisan pada keluarga (ahli waris) yang dikenal sebagai hukum waris.

Waris adalah berbagai aturan mengenai peralihan hak milik seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup dengan cara tertentu, dalam hal ini telah ditetapkan dalam Al-Qur'an. dan Hadits. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan faraidh yang berarti suatu bagian tertentu yang dibagi menurut aturan Islam kepada semua orang yang berhak menerimanya. Lebih lanjut, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 174 ayat 1 dijelaskan bahwa anak angkat dalam suatu keluarga mempunyai hak yang sama dengan anak kandung atau anak yang dilahirkan oleh orang tua angkat. Anak angkat tidak dapat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya karena tidak termasuk dalam kelompok ahli waris.

B. ALASAN

Alasan saya mengambil judul Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam dikarenakan untuk mengetahui bagaimana proses pembagian harta waris terhadap anak angkat dan menganalisis bagaimana sistem yang ada di hukum adat maupun hukum islam. Kemungkinan di masyarakat membagi harta waris untuk anak angkat sama dengan cara yang ada di hukum islam, sedangkan hukum islam secara tegas melarang adanya pengangkatan anak yang mengakibatkan hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat dan tidak pula menyebabkan hak waris karena kedudukan anak angkat di hukum Islam berbeda dengan anak kandung dalam semua ketentuan dan hukumnya. 

C. PEMBAHASAN

  • Hukum Waris Islam 

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur tentang peralihan harta benda dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Artinya menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris, bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta warisan dan hak waris orang yang meninggal. Secara linguistik, kata warisan berasal dari bahasa Arab murats, bentuk jamaknya mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan diwariskan kepada ahli warisnya. Secara etimologis, murats berarti pewarisan harta benda yang dibagi antara orang yang meninggal dengan ahli warisnya. Murats (waris) menurut hukum syariat memberikan hukum sebagai pedoman antara orang yang meninggal dengan ahli warisnya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 poin (a) dengan jelas disebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang perpindahan hak milik atas warisan (tirkah) ahli waris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan bagiannya masing-masing.

Warisan dalam hukum Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Sedangkan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

  • Rukun Waris Islam 

1. Al-Muwaris 

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan mewariskan hartanya. Syaratnya al-muwaris adalah telah meninggal secara hakiki. Kematian pewaris menurut para ulama fikih dibedakan menjadi 3 macam yaitu mati haqiqi (sejati), mati hukmy (berdasarkan putusan hakim) dan berdasarkan mati taqdiry (menurut dugaan).

2. Al-Waris

Ahli waris dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 butir c adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris.

3. Tirkah

Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan antara huku waris, pasal 171 butir d disebutkan bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan pewaris baik berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sementara yang dimaksud dengan harta warisan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 171 butir e Kompilasi Hukum Islam adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

  • Syarat-Syarat Hukum Waris Islam

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki hukumnya maupun secara taqdiri.

2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masingmasing.

  • Asas-Asas Hukum Waris Islam

1. Asas ijbari

Dengan adanya asas Ijbari dalam hukum warisan Islam memiliki arti bahwa hukum itu secara memaksa wajib dilaksanakan sesuai apa adanya, asas ijbari mengindikasikan tidak adanya kuasa pemilik harta maupun ahli waris untuk tidak menjalankan pembagian harta waris sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam hukum waris Islam, baik pelaksanaan, perhitungan, maupun bagian-bagian yang harus diterima ahli waris.

2. Asas bilateral

Asas bilateral adalah proses peralihan harta peninggalan melalui dua jalur yaitu jalur keturunan laki-laki dan jalur keturunan perempuan. Artinya bahwa setiap individu dapat menerima bagian warisan dari kedua jalur kekerabatan, yaitu garis keturunan kerabat bapak dan dari garis keturunan kerabat ibu.

 3. Asas individual

Hukum waris Islam yang menganut asas individual artinya bahwa masing-masing ahli waris yang mendapat bagian harta peninggalan pewaris berhak dan berkuasa penuh atas harta secara individual tanpa terikat dengan ahli waris yang lain.

4. Asas keadilan yang berimbang

Asas keadilan yang berimbng adalah adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan. Jika dipahami dengan seksama bahwa ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan bukan menunjukan ketidakdilan.

5. Asas sebab adanya kematian

Hukum waris Islam akan berlaku jika ada seseorang yang mempunyai harta meninggal dunia artinya tidak aka nada yang namanya kewarisan jika tidak didahului dengan kematian seseorang.

  • Orang-Orang Yang Berhak Mewarisi

1. Kelompok ahli waris laki-laki

(Anak laki-laki, cucu laki-laki ancar laki-laki dan seterusnya kebawah, bapak, kakek shahih dan seterusnya keatas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki paman sekadung, anak laki-laki paman sebapak, suami, orang laki-laki yang memerdekakan budak)

2. Kelompok ahli waris perempuan

(Anak perempuan, cucu perempuan pancar laki-laki, ibu, nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas,  nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak, saudara perempuan seibu, istri, orang perempuan yag memerdekakan budak)

  • Hukum Waris Adat

Hukum waris adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari peristiwa pada waktu masih hidup maupun setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

  • Sistem hukum waris adat

1. Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perorangan.

2. Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagibagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris.

3. Sistem kewarisan mayorat, suatu sistem di mana pada dasarnya hanya merupakan penerusan dan pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga, atas kepala keluarga menggantikan posisi ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.

  • Pembagian Hukum Waris Adat (Proses pewaris sebelum pewaris wafat)

1. Penerusan atau pengalihan, Cara penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris yang seharusnya berlaku hukum adat setempat, terutama terhadap kedudukan, hak kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-bagi seperti kepada anak laki-laki. Dengan penerusan dan peralihan hak dan harta kekayaan itu berarti telah berpindah penguasa dan kepemilikan atas harta kekayaan sebelum pewaris wafat, dari pewaris kepada ahli waris.

2. Penunjukan, dalam proses penunjukan perpindahan penguasa dan pemiliknya harta warisan baru berlaku sepenuhnya kepada waris setelah pewaris wafat. Sebelum pewaris wafat, pewaris masih berhak dan berwenang menguasai harta yang dilanjutkan itu, tetapi penguasa dan pemanfaatan, penikmatan hasil dari harta itu sudah ada pada waris yang dimaksud.

3. Pesan atau wasiat, pesan atau wasiat dari orang tua kepada para waris ketika hidupnya itu biasanya harus diucapkan dengan terang dan disaksikan oleh para waris.

  • Pembagian Hukum Waris Adat (Proses pembagian harta warisan setalah pewaris wafat)

Penguasa atas harta warisan berlaku apabila harta warisan itu tidak dibagi-bagi, karena harta warisan itu merupakan milik bersama yang disediakan untuk kepentingan bersama para anggota kelauarga pewaris atau pembaginya. Dengan demikian setelah pewaris wafat terhadap harta warisan yang tidak dibagi atau ditinggalkan pembagianya itu ada kemungkinan dikuasai janda, anak, anggota keluarga lainnya atau tua-tua adat kekerabatan. Barang siapa yang menjadi penguasa atas harta warisan berarti bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala sangkut paut hutang-piutang pewaris ketika hidupnya dan pengurusan para waris yang ditinggalkan guna kelangsungan hidup para ahli waris.

  • Anak Angkat Dalam Islam

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan untuk memperoleh anak orang lain dan agar orang tersebut tetap memelihara hubungan sebagai anak kandung dengan orang tua angkatnya. Hukum Islam melarang pengangkatan anak yang mengakibatkan terjadinya hubungan biologis antara anak angkat dengan orang tua angkatnya serta menyebabkan hak waris, karena kedudukan anak angkat dalam hukum Islam berbeda dengan kedudukan anak kandung tentang segala peraturan dan perundang-undangan. Kedudukan anak angkat dalam hukum Islam hanyalah sebagai ikatan sosial, yang dalam pengertian ini hanya berupa pendidikan dan pengasuhan atau terpenuhinya kebutuhan sehari-hari. Kompilasi Hukum Islam tidak mengakui kedudukan anak angkat dalam hak waris orang tua angkatnya. Artinya anak angkat tidak mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Namun Pasal 209 Ikhtisar Hukum Islam menjelaskan bahwa keberadaan anak angkat mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

  • Hak Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Islam dan Hukum Adat

Menurut hukum Islam, anak angkat tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkatnya tetapi berhak mendapat kasih sayang seperti orang tua kandung, berhak mencari nafkah, mendapat pendidikan, dan mencukupi kebutuhan pokok anaknya. Dikarenakan tidak ada hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, maka anak angkat tidak berhak menjadi ahli waris harta warisan orang tua angkatnya menurut Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. Sementara itu, menurut hukum adat anak angkat juga mempunyai hak yang sama dengan anak kandung, termasuk hak waris dan perkawinannya. Menurut hukum adat, anak angkat mewarisi harta orang tua angkatnya seperti halnya anak kandung. Padahal, menurut masyarakat tradisional Jawa anak angkat dapat mewarisi seluruh harta kekayaan orang tua angkatnya.

  • Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat di Dukuh Duwet

Pembagian waris di dukuh Duwet dipengaruhi oleh sistem hukum adat yang berlaku di masyarakat. Demikian dengan pembagian waris yang terjadi di dukuh Duwet dibagikan secara hukum adat bahwa harta akan dibagikan kepada anak angkatnya. Orang tua angkat di dukuh Duwet yang berlatar belakang kebanyakan tamatan SD dan SMP tidak begitu paham tentang pembagian harta warisan menurut Hukum Islam. Kebanyakan masyarakat dalam membagikan harta warisan menggunakan hukum adat yang berlaku di masyarakat, karena menurut masyarakat bahwa anak angkat sudah dianggap sebagai anak kandung sendiri.

Untuk pelaksanaan pembagian waris di dukuh Duwet hanya sebagian kecil yang memiliki anak angkat yang bersedia memberi keterangan tentang pelaksanaan pembagian waris di keluarganya karena sudah melaksanakan pembagian waris dikeluarganya seperti keterangan yang diperoleh dari bapak Setu. Sebagian besar keluarga yang memiliki anak angkat hanya memberi keterangan berupa rencana pembagian waris untuk anak angkat, karena anak-anaknya belum dewasa dan dianggap belum waktunya untuk membagi waris oleh orang tua angkat.

Keterangan dari bapak setu bahwa harta yang menjadi hak almarhumah Istri akan di berikan kepada anak angkatya, untuk besaranya kurang lebih Lilis 2/3 dan untuk bapak Setu 1/3 dari harta peninggalan atau jika dirupiahkan Lilis mendapatkan Rp. 400.000.000,00 dan bapak Setu mendapatan Rp. 200.000.000,00, Tujuan bapak Setu dan ibu dari almarhumah istri memberikan harta kepada anak angkat karena mereka sudah menggap anak tersebut menjadi anak kandungnya, dan ketika mereka sudah tua anak tersebut bisa melanjutnya kehidupannya dan merawat orang tua sebagaimana orang tua mengangkat anak angkat tersebut dari kecil hingga dewasa. Menurut bapak Setu membagikan harta kepada anak angkat sudah dimulai sejak dulu atau bisa dikatakan sebagai adat atau mengikuti tradisi orang terdahulu. Keluarga bapak Setu dan almarhumah ibu Wiji menggunakan sistem individual yang tidak memaksa, artinya setiap bagian harta warisan dibagikan kepada anak angkatnya dengan anak angkat tidak berhak memaksa meminta seberapa bagian harta peninggalan yang diberikan.

walaupun masyarakat menganut sistem kewarisan individual, namun sifatnya tidak memaksa. Dalam pelaksanaan pemberian waris kepada anak angkat, harta seperti rumah, pekarangan dan sawah diberikan kepada anak angkatnya karena sudah menganggap bahwa anak angkat tersebut adalah anak kandungnya sendiri.

Pembagian waris kepada anak angkat di dukuh Duwet dianggap sah karena sudah memakai sistem hukum adat yang berlaku dimasyarakat. Besaran bagian harta warisan yang dibagikan kepada anak angkat adalah sebagian harta peninggalan. Ini merupakan keridhaan orang tua angkat terhadap anak angkatnya.

  • Analisis Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat di Dukuh Duwet

Mengenai pembagian harta warisan kepada anak angkat di Desa Duwet, sebagian masyarakat menegaskan akan membagi harta warisan kepada anak angkat. Di Desa Duwet, sebagian besar keluarga yang mengangkat anak mempunyai rencana untuk membagi warisan kepada anak angkatnya. Pihak keluarga yang bersangkutan tidak pernah membagi harta warisan kepada anak angkatnya karena anak tersebut masih di bawah umur dan menganggap belum saatnya membagi harta warisan.

Untuk pelaksanaan pembagian warisan bagi anak angkat, terdapat informasi dari keluarga yang memiliki anak angkat yang telah membagi warisan bagi anak angkat dan bersedia memberikan informasi tentang pelaksanaan langkah pembagian warisan dalam keluarganya. Keluarga mengatakan bahwa harta warisan juga akan dibagi kepada orang yang mengangkat bila anak yang mengangkat itu sudah cukup umur, sedangkan menurut pandangan orang yang membagi warisan kepada anak yang mengangkat, harta yang dibagi oleh anak yang mengangkat itu adalah 2/3 dari harta bersama dengan almh istrinya, beliau berpikir bahwa ketika beliau sudah lanjut usia anak angkatlah yang akan merawatnya.

Sistem pembagian harta warisan anak angkat, baik yang berupa renacana maupun yang sudah dilaksanakan oleh keluarga angkat dilaksanakan menurut hukum adat yang berlaku di masyarakat, karena anak angkat dianggap sebagai anak kandungnya. Dalam proses pewarisan digunakan sistem pewarisan perseorangan, yaitu sistem dimana ahli waris mewarisi secara perseorangan. Sifat pewarisan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) sebagai "mutlak pribadi".

Dalam pelaksanaan pembagian warisan di desa Duwet, harta warisan dibagi setelah istri meninggal dunia, secara otomatis suami menjadi ahli waris dan juga anak angkatya. Di Desa Duwet, pelaksanaan hak waris secara baik dilakukan melalui musyawarah keluarga, begitu pula Pak Setu yang membagi harta warisan kepada anak angkatnya. Pewarisan dilakukan melalui musyawarah keluarga untuk mencapai kesatuan dan kepedulian bersama, karena keharmonisan keluarga harus dijaga dan dipelihara. Dalam pembagian warisan oleh suatu keluarga yang mempunyai anak angkat, seluruh ahli waris harus berdiskusi bersama untuk mencapai kesepakatan.

Walaupun sebagian masyarakat menganut sistem pewarisan perseorangan, namun hal ini tidak bersifat memaksa dalam melaksanakan peraturan pemberian hak waris. Bagi anak angkat, harta berupa rumah, pekarangan, dan sawah diberikan kepada anak angkat karena mereka menganggap anak angkat tersebut adalah anak kandungnya.

Pembagian harta warisan kepada anak angkat di Desa Duwet dianggap sah karena sudah memakai sistem hukum adat yang berlaku di masyarakat. Besaran bagian harta warisan yang dibagikan kepada anak angkat adalah sebagian harta peninggalan. Ini merupakan keridhaan orang tua angkat terhadap anak angkatnya.

  • Analisis Pembagian Waris Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Adat Dan Hukum Islam

Pembagian harta warisan di desa tidak sesuai dengan syariat Islam, karena menurut adat istiadat masyarakat, anak angkat berhak mewariskan harta orang tuanya. Namun dalam hukum Islam hanya ada dua alasan pewarisan, yaitu hubungan darah. dan pernikahan.

Dalam hukum Islam dijelaskan bahwa anak angkat tidak berhak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya, sehingga orang tua angkat tidak mempunyai kewajiban untuk menyerahkan harta benda kepada anak angkatnya. Dengan demikian, anak angkat dan orang tua angkat tidak dapat saling mewarisi. Warisan timbal balik hanya berlaku antara anak angkat dengan orang tua kandungnya atas dasar hubungan darah.

Namun walaupun di dalam Hukum Islam tidak mengenal istilah warisan kepada anak angkat tetapi Hukum Islam memberikan jalan bagi anak angkat tersebut agar bisa mendapatkan harta dari kedua orang tua angkatnya yaitu melalui jalan wasiat. Wasiat yaitu pemberian harta kepada seseorang atau lembaga atas kehendak pewaris, wasiat diberikan dengan sukarela dan tidak ada paksaan dari siapapun.

Hak waris anak angkat tetap terikat pada orang tua kandungnya karena anak angkat tersebut tidak mempunyai hubungan darah baru dengan orang tua angkatnya. Lebih lanjut, Kompilasi Hukum Islam tidak hanya mengatur hubungan antara anak angkat dengan harta warisan orang tua angkatnya saja. Selain itu, Kitab Undang-undang Islam juga mengatur tentang hubungan antara anak angkat dengan harta warisan orang tua angkatnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat perbedaan yang jelas antara harta warisan dan harta peninggalan. Harta warisan adalah gabungan harta warisan dan harta bersama ahli waris setelah membayar seluruh biaya yang berkaitan dengan pengelolaan harta warisan termasuk hutang dan wasiat. Harta warisan adalah harta yang kepemilikannya berpindah kepada ahli waris dalam bentuk warisan. Sedangkan harta peninggalan adalah seluruh harta benda seseorang setelah meninggal dunia. Tidak setiap harta warisan dapat dibagi kepada ahli warisnya, karena selalu memuat hak orang lain seperti hutang dan wasiat. Meski berbeda, namun Ikhtisar Hukum Islam mengatur kedua harta tersebut dalam satu bagian, yaitu hak waris. Mengenai anak angkat, Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa dalam pewarisan ahli waris mempunyai hak atas 1/3 dari anak angkat yang diterimanya melalui wasiat.

Menurut pendapat bapak Setu bahwa anak angkat berhak mendapatkan harta peninggalan dari orang tua angkatnya itu sesuai dengan hukum adat tetapi tidak sesuai dengan hukum Islam, karena di dalam hukum Islam bahwa anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah bukan warisan. Dan untuk empat narasumber lainnya belum memberikan keterangan yang pasti untuk pembagian harta tersebut, sehingga belum bisa dianalisis atau diterangkan.

Dalam pembagian waris di dukuh Duwet menurut hukum adat anak angkat berhak mendapatkan harta waris dari orang tua angkatnya karena anak angkat sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Tetapi di dalam Hukum Islam tidak mengakui adanya kedudukan anak angkat terhadap harta warisan dari orang tua angkat. Artinya anak angkat tidak berhak atas harta warisan orang tua angkat. Di dalam hukum Islam menjelaskan bahwa anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah bukan waris. Sehingga pada pembagian waris di dukuh Duwet belum sesuai dengan hukum Islam. 

D. RENCANA JUDUL SKRIPSI

Kedepannya saya ingin menyusun skripsi dengan mengambil topik hubungan mertua dan menatu jika tinggal satu rumah. Alasan saya mengambil judul tersebut karena saya ingin menggali lebih dalam lagi mengenai hubungan mertua dan menantu. Yang terlihat di lingkungan masyarakat hubungan mertua dan menantu sering mengalami problem, sebenarnya apa yang menjadi faktor permasalahan tersebut. Maka dari kacamata penglihatan saya, saya ingin menelusuri faktor-faktor ketidak akraban mertua dengan menantu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun