“Konsumtif berkedok self-reward,” ada nggak temanmu yang masih suka bikin caption kaya gini buat nge-post foto es kopi susu gula aren di kedai aestetik atau foto perintilan skincare? Atau kamu sendiri? Sebenarnya implementasi self-reward itu beragam. Pada intinya self-reward adalah mengapresiasi, mencintai, juga menghadiahi diri sendiri atas segala hal yang terjadi pada diri kita. Ketika kita merasa struggle menghadapi dunia yang lika-likunya sangat aduhai, penting juga diimbangi dengan menghadiahkan diri, apalagi mengingat mental health di era dewasa ini jadi salah satu agenda yang mesti diprioritaskan.
Nggak cuma tindakan-tindakan yang mendukung perkembangan secara fisik atau psikologis, self-reward juga bisa dilakukan sebagai tindakan spiritual lho.
Bagi masyarakat suku Jawa, kelahiran seorang bayi dicatat hari kelahirannya/weton beserta dengan hari pasaran berdasarkan kalender Jawa, misalnya Rebo Pahing, Kemis Wagé, Senén Legi, dan lain-lain. Watak, rejeki, hari baik untuk bepergian, hari baik untuk akad nikah atau memulai usaha, dapat dihitung melalui weton sebagai tindakan preventif kejadian tidak diinginkan dan meminimalisasi probabilitas kegagalan. Mereka meyakini bahwa kehidupan manusia menyatu dengan alam semesta. Dalam kelangsungan hidup manusia selalu berkaitan dengan perilaku spiritual. Hal tersebut bisa diikhtiarkan dengan puasa weton.
Puasa weton merupakan tradisi masyarakat suku Jawa dengan berpuasa pada hari lahir berdasarkan kalender Jawa. Tata cara berpuasa weton juga berbeda-beda. Beberapa orang melakukannya dengan mengucap basmalah, niat puasa, salawat kepada Nabi Muhammad SAW, diikuti dengan memanjatkan doa dan menyebut nama yang mengerjakan puasa, dilanjutkan berpuasa, dan berbuka saat Magrib (seperti tata cara puasa Islam).
Beberapa lainnya dengan membuat bubur merah putih (jenang abang putih) dan segelas air putih, santap sahur pada pukul lima atau enam sore, mandi kembang, dilanjutkan berpuasa, dan berbuka pada waktu yang sama pada keesokan harinya. Untuk menyempurnakan ritual puasa weton, dianjurkan pula untuk tidak tidur pada malam hari (saat berpuasa), tetapi melakukan refleksi diri sebagai kesempatan merayakan malam keakraban dengan Sang Pencipta.
Filosofi dari Jenang Abang Putih dimaknai sebagai lambang asal-muasal kehidupan manusia, yakni bubur merah sebagai sel telur dari Ibu dan bubur putih sebagai sel sperma dari Ayah. Sedangkan menyediakan air putih bermakna menyucikan diri untuk menghadap kepada Sang Pencipta. Meski ada perbedaan pada aktualisasinya, tidak serta-merta mengurangi esensi kebaikan dari puasa weton.
Memaknai Puasa Weton
Tradisi puasa weton semestinya tetap lestari karena makna di dalamnya yang mendalam, seperti:
- Menyadari sepenuhnya bahwa kelahiran kita di dunia adalah kehendak Tuhan yang Maha Pencipta. Untuk itu puasa weton dapat menjembatani rasa syukur kita sebagai manusia agar lebih akrab kepada-Nya.
- Ajang penyucian sekaligus refleksi diri. Meski menjaga diri secara batiniah seharusnya dilakukan setiap waktu, namun puasa weton dapat dimaknai sebagai rekapitulasi amal perbuatan sekaligus pembaharuan diri secara lahir dan batin.
- Momentum aktivasi proteksi. Puasa weton diyakini memiliki kebaikan bagi yang mengerjakan. Selama prosesnya kebaikan serta keberkahan menjuru ke tubuh manusia, sehingga dapat membentengi diri dari penyakit lahiriah dan batiniah.
- Mengenal tradisi leluhur Jawa yang sudah turun-temurun agar tetap lestari. Usaha mengenal diri sendiri tidak luput dari mengenal leluhurnya. Konon Leluhur Jawa meyakini bahwa manfaat berpuasa di weton lahir mengandung nilai-nilai baik sehingga tradisi ini diajarkan kepada anak cucunya supaya tetap lestari.
Self-reward nggak melulu dirayakan secara konsumtif. Mending puasa weton, sehat jiwa dan raga, nggak boncos, syukur-syukur jadi sakti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H