"Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali"
Seketika seluruh orang yang baru bepergian ke luar kota harus dilakukan pemeriksaan swab. Kami para tenaga kesehatan lah yang kembali "terdampak". Berpuluh-puluh pasien datang ke puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan. Ada yang tidak bergejala, namun ada juga yang bergejala. Mereka yang berlibur, kami yang lembur.
Seminggu awal setelah liburan Idul Fitri tampak tenang, dua minggu setelah liburan Idul Fitri sekelompok hasil tes swab dinyatakan reaktif. Tiga minggu setelahnya, jumlah tes yang dinyatakan reaktif kian bertambah. Hingga satu bulan kemudian, 46 dari 114 sampel swab PCR di puskesmas kami dinyatakan positif. Hampir 50%. Hingga per  22 Juni, positive rate PCR mencapai 51,62% yang dapat diartikan 1 dari 2 orang Indonesia yang memiliki riwayat kontak atau dengan gejala dilakukan tes swab PCR, hasilnya adalah positif -- Dimana standar positive rate WHO adalah <5%.
Tidak hanya itu. Varian delta pun mulai berkecimpung di tengah Indonesia, varian yang dituntut telah meningkatkan risiko penularan hingga 60%. Eskalasi drastis kian menguasai seluruh rumah sakit di tanah air.Â
Okupansi tempat tidur terisi melebihi 100%, hingga pasien berantrian di luar menunggu penanganan khusus -- Wajah yang sama persis dengan video-video di India yang digelar untuk "menakuti" warga Indonesia akan bahaya COVID-19 sebelum liburan Idul Fitri. Pasien pun juga membludak di fasilitas kesehatan primer.Â
Antrian rujukan dan permintaan penanganan gejala terkait COVID-19 kian tumpah ruah. Rekor-rekor baru pun bersemi, dimana yang kami kira peningkatan harian dahsyat hingga 8000-an kasus cukup menjadi rekor terakhir Indonesia, ternyata per akhir Juni tercapai 15,308 hingga 20,574 kasus harian! Kabar baik dari Indonesia hampir nihil di masa pandemi ini.
Pertanyaan-pertanyaan efektivitas vaksin mulai terangkat. "Saya sudah vaksin 2x tapi kok tetap terkena COVID-19?". Vaksin yang menjadi tersangka, padahal hingga mulut berbusa pun kami para tenaga kesehatan sudah meluncurkan edukasi untuk tetap menjalankan protokol kesehatan ketat walau pun vaksin telah dilakukan.Â
Dua dosis vaksin terbukti efektif mencegah terjadinya gejala dan rawat inap di rumah sakit, namun alangkah angkuhnya beberapa masyarakat Indonesia yang baru mendapatkan 1 dosis vaksin. Cakupan vaksinasi Indonesia hingga Juni 2021 masih di bawah 10%, dengan target 75% populasi tervaksinasi. Garis finish pun tampaknya belum terlihat.
Gelombang 2 yang ingin dihindari namun malah "dinanti" karena ulah masyarakat memberikan beban lebih berat tersendiri bagi kami para tenaga kesehatan. Penampakan berantai pasien yang memerlukan tindakan kuratif dari setiap tingkatan fasilitas kesehatan, primer, sekunder hingga tersier, ditambah dengan tanggungan target besar yang berpacu dengan waktu dalam aspek preventif.Â
Kasus-kasus yang kini penyebarannya sangat pesat, infeksi menyebar di dalam lingkaran yang lebih kecil. Tenaga kesehatan dituntut bekerja cekatan dalam vaksinasi dan penatalaksanaan pasien, namun virus bergerak lebih tangkas.
Makin pusing saat saya tetap harus berpapasan dengan kerumunan dan kepadatan jalanan saat menuju tempat tugas di puskesmas. Perekonomian kok tampak santai, padahal kami gontai? Tenaga-tenaga di fasilitas kesehatan primer tempat saya bekerja mulai berguguran, beban kerja digeser ke tenaga yang bertahan. Berat kerja terus meningkat. Terus kalau nanti semua jadi sakit, apakah ekonomi akan bangkit?