"Masyarakat di India lengah. Ledakan kasus luar biasa, jangan sampai seperti India!"
"Jangan pergi kemana-mana! Jangan berkumpul! Lihat apa yang terjadi pada India!"
"Waspada gelombang 2 seperti India! Anti kendor!"
Begitu banyak peringatan layanan masyarakat dikumandangakan awal Mei sebelum masa liburan Idul Fitri lalu. Semua tampak takut Indonesia akan mengalami apa yang India lalui, sebuah efek masif yang diakibatkan kesembronoan orang-orang di dalamnya. Akun-akun edukatif terkait pandemi bergelirya tanpa hentinya menunjukkan ke-keos-an yang terjadi di Negara Anak Benua tersebut. Ntah apakah dominasi konten tersebut "mengenai" hati masyarakat Indonesia, saya rasa pun hati dan otak warga di negara ini masih keras atau yang lebih perlu jadi perhatian, kurang peduli?
Sebagai dokter, sudah 3 bulan saya berfokus pada tindakan promotif dan preventif COVID-19, khususnya vaksinasi. Peningkatan drastis kasus pada Januari - Februari post-liburan tahun baru sudah cukup membuat penat pada tenaga kesehatan. Berbagai pengingat pun juga sudah dikumandangkan sebelum periode liburan tersebut, namun sedihnya masyarakat yang bebal sulit dihasut.Â
Pemerintah langsung "rem mendadak" kehuru-haraan di kota-kotanya, terutama kota-kota terdampak. Hasilnya pun cukup dirasakan oleh kami yang berpapasan langsung dengan para pasien COVID-19 setiap harinya. Huru-hara di fasilitas kesehatan terasa lebih landai.
Awal Februari 2021, Â vaksinasi tahap pertama dan kedua serentak dilaksanakan. Seratus, dua ratus, hingga seribu, dua ribu orang tervaksinasi seharinya di masing-masing gerai vaksinasi. Â
Pandemi ini memang membuat letih dan jenuh semua kalangan. Kami para tenaga kesehatan pun paham masyarakat sudah bosan, ini tidak boleh, itu dilarang. Yang tadinya mudah melakukan yang diingingkan ataupun meraih apa yang diinginkan, kini pasti ada saja penghalaunya. Begitulah apalagi kami para tenaga kesehatan yang tahun lalu kelelahan kami cukup lebih terfokus pada aspek kuratif, tahun 2021 kepenatan ini ditambah di aspek preventif.
Tampak pada awalnya vaksinasi berjalan semua tampah di bawah kontrol. Beberapa bulan setelahnya, tampak peningkatan kasus harian yang semakin menurun. Indonesia dibangga-banggakan dengan antusiasme yang tinggi di kalangan rakyatnya. Ribuan berlomba-lomba mendapatkan suntikan vaksinasi. Masyarakat pun sempat menghela napas, sayangnya menghela napasnya pun cukup kelewat batas; Menghela napas di luar masker.
Tidak hentinya kami yang bertugas sebagai vaksinator mengingatkan, "Setelah vaksin tetap pakai masker ya!", terutama kepada para pasien yang baru mendapatkan vaksin pertama. Bagi kami, Jujur , kegiatan  vaksinasi sangatlah amat melelahkan. Pertanyaan-pertanyaan serupa yang kami harus kumandangkan berulang-ulang, ditambahkan dengan penulisan dan pemasukan data yang perlu dilakukan secara cepat dan tepat.
Sudah terperas fisik kami, hati kami pun juga semakin terperas saat berpapasan dengan sekelompok masyarakat yang lalai terhadap protokol kesehatan, khususnya dalam pemakaian masker. Alasannya, "Tidak apa-apa, kan sudah vaksin".
Masyarakat lepas kontrol. Liburan lebaran tiba dan berbondong-bondong mengajukan protes karena pelarangan mudik yang dikobarkan pemerintah. Masyarakat Indonesia jumawa, apalagi setelah melihat kasus positif COVID-19 harian yang saat itu semakin melandai dan merasa sudah kebal akan vaksin yang didapatkan.Â
Banyak yang mencari celah untuk tetap dapat berliburan dan berkumpul. Dengan bangganya memamerkan kehidupan layaknya COVID-19 tiada saling berangkulan dan tanpa menggunakan masker. Zona keramaian berhamburan, bahkan perkumpulan di Ancol tampakannya sudah sebanding dengan salah satu pencetus gelombang 2 di India, yaitu perkumpulan di Sungai Gangga.