Pada May Meeting 2012, suatu acara yang disusun oleh Center for Indonesian Medical Students’ Activities Universitas Indonesia (CIMSA UI), saya mengikuti salah satu mata acara yang mengundang dua orang pekerja seks sebagai narasumber. Tujuan dari mata acara tersebut adalah mengetahui perilaku seksual serta penggunaan kondom di daerah-daerah lokalisasi. Namun, dua orang tersebut menceritakan sedikit banyak hal terkait pengalaman mereka sebagai pekerja seksual.
Dua orang tersebut adalah seorang perempuan, sebut saja mbak X, dan seorang laki-laki, sebut saja mas Y. Usia mereka mungkin sekitar 30 tahunan. Mereka berdomisili di Jakarta dan sudah cukup lama hidup dengan profesi tersebut. Mbak X merupakan ibu dari 1 anak hasil hubungannya dengan suaminya yang sudah almarhum, sementara mas Y belum berkeluarga. Mereka berdua rupanya tergabung dalam suatu lembaga semiformal atau mungkin formal yang dibuat oleh dan beranggotakan para pekerja seks di seluruh Indonesia.
Salah satu yang mereka ceritakan adalah awal mereka menjadi pekerja seks. Mbak X mengatakan bahwa setelah suaminya meninggal, ia butuh uang untuk melunasi hutang-hutang seperti cicilan rumah. Sebelum menikah, ia sempat diajak oleh temannya untuk menjadi pekerja seks, namun saat itu ia ketakutan dan kabur dari ajakan temannya itu. Menurutnya, ia memang merasa terpaksa terjun ke dalam profesi tersebut, karena ia merasa pekerjaan yang ia punya sebelum suaminya meninggal tidak cukup untuk mendapakan jumlah uang yang ia perlukan. Mas Y juga pernah bekerja sambil membiayai kuliahnya di Jakarta. Keluarganya ada di pulau yang berbeda. Suatu saat, ia terkena PHK dan dari situlah akhirnya ia menjadi pekerja seks untuk membiayai hidup dan kuliahnya. Dari sini, kita bisa lihat bahwa ternyata pekerja seks tidak hanya berasal dari kalangan yang belum menyelesaikan pendidikan sekolahnya. Di Jakarta, kota dengan taraf hidup yang cukup tinggi, menjadi pekerja seks merupakan salah satu jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti alasan mbak X dan mas Y.
Meski banyak yang mengatakan bahwa seks adalah sesuatu yang menyenangkan, mbak X berkata bahwa pekerjaannya tersebut bukan sesuatu yang bisa dinikmati. Penghasilan yang didapat dari profesi tersebut, menurutnya, tergantung dari kelas pekerja seks itu sendiri. Ada berbagai kelas mulai dari yang murah sampai yang mahal. Mbak X mengakui bahwa setelah cukup lama menggeluti profesi tersebut, ia mulai bisa berargumen dengan calon pelanggan untuk menaikkan kelasnya dan mendapatkan tarif yang lebih tinggi.
Menjelang selesainya mata acara tersebut, mbak X memaparkan bahwa ia dan teman-teman seprofesinya sangat mengusahakan penggunaan kondom demi kesehatan, namun seringkali pelanggan mereka menolak dan mereka tidak bisa memaksa apa-apa. Mengenai pemeriksaan kesehatan ke dokter, terutama kesehatan organ seksual, ia mengaku malas. Menurutnya, pekerja seks sering malas periksa kesehatan karena tenaga kesehatan terlalu banyak menasehati mereka namun tidak memberi solusi. Misalnya, tenaga kesehatan menyarankan mereka untuk berhenti dari profesi tersebut namun tidak memberi ide mengenai apa profesi lain yang bisa mereka tekuni. Mbak X tidak merasa terbantu dengan nasehat-nasehat tanpa ide seperti itu.
Demikian beberapa poin yang mungkin bisa kita renungkan. Karena di masyarakat banyak sekali nilai-nilai yang berbeda, hikmah dari pemaparan ini kita sendiri yang tentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H