Pembuktian merupakan tahapan yang penting dalam suatu perkara pidana. Dalam tahap ini, membuktikan merupakan upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran atas suatu perkara pidana.Â
Pada tahap pembuktian ini, tentunya terdapat berbagai alat bukti yang digunakan sebagai alat untuk membuktikan ada tidaknya perkara pidana yang terjadi.Â
Alat bukti yang dimaksud dalam hukum acara pidana ialah segala benda yang memiliki hubungan dan kaitannya dengan suatu peristiwa pidana baik berupa bukti tulisan, kesaksian, persangkaan hingga sumpah.
Keterangan terdakwa memiliki makna yang serupa dengan keterangan saksi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 187 KUHAP yang mana menyebutkan bahwa keterangan saksi maupun keterangan terdakwa merupakan keterangan yang disampaikan sendiri pada sidang pengadilan terhadap kejadian atau peristiwa pidana yang ia alami, ketahui, ataupun dengar dan melihatnya. Sejalan dengan pembaharuan dan perkembangan hukum pidana di Indonesia.Â
Dalam suatu perkara pidana yang saat ini, pada tahap pemeriksaan seringkali menggunakan alat pendeteksi kebohongan atau poligraf sebagai suatu alat yang dapat mengukur tingkat kebohongan atau ketidaksinkronan keterangan yang diberikan oleh seorang terduga pelaku pidana. Poligraf merupakan suatu alat yang merekan perubahan keadaan fisiologis seseorang berupa detak jantung hingga pernapasan.
Pengaturan terhadap pemeriksaan poligraf diatur di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia (Perkap) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik. Meskipun, di dalam Pasal 184 KUHAP tidak mengatur poligraf sebagai alat bukti yang sah namun secara umum seharusnya poligraf dapat diterima dengan catatan harus ada aturan teknis dan tata cara penggunaannya sehingga seorang terduga pelaku pidana tidak tertetekan dalam menjalankan tes tersebut guna mewujudkan kepastian hukum.Â
Berdasarkan hal tersebut, tentunya beban pembuktian yang terdapat di dalam alat tes poligraf hanya dapat dikategorikan sebagai alat bukti pendukung untuk menguatkan hasil pemeriksaan dari alat bukti lainnya sehingga dengan demikian tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dalam memvonis seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana.Â
Apabila penyidik hanya menyerahkan hasil tes poligraf saja tentunya hal tersebut juga tidak benar karena pembacaan hasil pemeriksaan tes poligraf hanya dapat dibacakan oleh seorang ahli poligraf yang bekerja pada laboratoriun forensik yang memiliki keahlian tersebut.
Oleh karena itu, poligraf atau alat tes kebohongan tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti yang berdiri sendiri sehingga beban pembuktian yang terdapat di dalamnya hanya sebatas sebagai alat bukti pendukung yang harus dibarengi dengan lima alat bukti yang sah yang telah diatur di dalam KUHAP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H