Film "Dua Garis Biru" yang disutradarai oleh Gina S. Noer telah menjadi salah satu karya sinema yang banyak diperbincangkan di Indonesia. Mengisahkan tentang hubungan cinta remaja yang rumit antara Dara dan Bima, film ini tidak hanya menyajikan drama emosional, tetapi juga menyentuh berbagai aspek psikologis yang membuat saya belajar banyak hal, terutama mengenai edukasi seks yang masih dianggap tabu untuk dibicarakan.Â
Film ini berfokus pada kisah Dara dan Bima yang terjebak dalam situasi kehamilan tidak terduga di usia mereka yang masih duduk di bangku SMA. Menurut saya, alur cerita film ini berhasil menggambarkan dinamika hubungan remaja yang sering kali dipenuhi dengan kebingungan, ketidakpastian, bahkan kesalahan yang tanpa disadari dapat merusak masa depan mereka. Dari sudut pandang psikologi, film ini mencerminkan banyak tantangan yang dihadapi remaja dalam menjalin hubungan, terutama terkait seksualitas dan dampak buruk dari kehamilan di usia dini.
1. Persoalan Psikologis Â
Masa remaja adalah fase penting dalam perkembangan identitas individu. Film "Dua Garis Biru" bagi saya adalah cerminan dari keadaan di Indonesia yang masih terdapat banyak kejadian hamil di usia dini hanya karena menuruti nafsu semata.Â
Dalam film ini, saya dapat melihat dan ikut merasakan bagaimana Dara dan Bima, yang masih remaja, harus berjuang untuk mengambil keputusan yang rumit, antara merelakan masa depan atau merelakan calon anak mereka di tengah tekanan sosial dan keluarga. Keputusan untuk berhubungan intim dan konsekuensi kehamilan menjadi titik balik yang memaksa mereka untuk menerima konsekuensi dari kesalahan yang mereka perbuat. Di usia mereka yang masih muda, hamil di usia dini dapat mempengaruhi mental mereka. Mereka yang seharusnya masih bisa bermain dan menikmati masa sekolah terpaksa harus menjadi orang tua.Â
Dara harus menghadapi kenyataan bahwa masa depannya mungkin tidak lagi sesuai dengan impian awalnya. Ia berjuang untuk memahami peran barunya sebagai calon ibu, sementara Bima berusaha untuk bertanggung jawab meskipun ia merasa belum siap.Â
Ketidakpastian ini menciptakan ketegangan emosional yang mendalam dan menyoroti bagaimana remaja sering kali merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Karena kebanyakan remaja masih belum dapat mengambil keputusan dan berpikir dengan baik, mereka cenderung memiliki harapan bahwa hamil di usia dini tidak akan merubah apapun dalam kehidupan mereka. Padahal kenyataannya, hidup mereka dapat terpuruk, mental mereka dapat terganggu, dan masa depan mereka pun terancam.Â
Film ini menjadi teguran keras bagi generasi muda agar tidak gegabah dalam bertindak dan selalu mempertimbangkan sebelum berbuat sesuatu. Bagi saya yang juga masih duduk di bangku SMA kala itu, pesan yang ingin disampaikan penulis dapat mudah ditangkap dan membuat saya lebih berhati-hati dalam bertindak.Â
2. Tekanan Sosial dan Keluarga
Dampak lain yang menonjol dari film ini adalah tekanan sosial dan keluarga. Bagi saya, bagian tekanan sosial dari film ini cukup relatable dengan kejadian di dunia nyata. Mereka yang hamil di usia muda cenderung akan mendapatkan cap negatif dari lingkungan sekitar maupun keluarga.
 Dalam film ini, tergambar pada bagian Dara dan Bima yang sama-sama mendapat respons negatif dari kedua pihak keluarga. Dara yang awalnya sangat disayang oleh kedua orang tuanya, setelah terkuak bahwa ia sedang hamil, harus kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya dan hidup dengan orang tua Bima.