Meskipun demikian, aliran nativisme tak mampu terlepas dari dunia pendidikan. Banyak praktik pendidikan di Indonesia yang menggunakan paham nativisme. Dalam implementasinya, aliran nativisme berguna untuk mengetahui sifat bawaan seorang peserta didik. Hal ini mampu mempermudah guru dalam mengetahui seperti apa sifat dan kecenderungan peserta didiknya.
Beberapa contoh implementasi aliran nativisme dalam ranah pendidikan saat ini adalah dengan dihadirkannya tes bakat bawaan. Dengan tes bakat, siswa diminta mengisi atau menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan. Dari sana, guru mampu menilai kecenderungan bakat pada diri siswa. Sehingga, dengan cara tersebut guru mampu memotivasi siswa dalam mengembangkan bakat yang dimiliki.
Selanjutnya, ialah tes karakteristik kepribadian. Tes ini seringkali dilakukan ketika peserta didik memasuki tahun ajaran baru. Adanya tes karakteristik mampu membuat guru lebih tahu seperti apa gambaran karakteristik siswanya. Pasti terdapat keberagaman karakter dalam satu kelas. Ada yang pendiam, suka bergaul, berani, kurang percaya diri, dan lain sebagainya.
Implementasi aliran nativisme yang lainnya yakni tes sidik jari. Pada kasus tertentu, siswa diminta melakukan tes sidik jari. Selain itu, ada pula penekanan pada bakat bawaan siswa. Hal tersebut biasanya berupa arahan dari wali kelas untuk merekomendasikan siswa bergabung pada ekstrakurikuler yang sesuai dengan bakat bawaannya. Misalnya siswa yang suka menyanyi, akan diarahkan untuk mengikuti ekstrakurikuler paduan suara.
Walaupun aliran ini cenderung memaksakan peserta didik untuk menuju ke arah bakat bawaan, aliran nativisme memiliki kelebihan tertentu. Dengan aliran nativisme, sekolah mampu mengetahui potensi pada diri peserta didiknya. Hal tersebut membuat guru lebih tepat sasaran dalam mengarahkan mereka untuk menggali potensi. Sehingga tak dapat kita ungkiri jika nativisme mampu menyusun pondasi awal peserta didik dalam belajar di sekolah.
Namun, meskipun demikian, aliran nativisme juga harus diimbangi dengan aliran yang lainnya. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada dominasi dari faktor bawaan lahir, seperti hereditas, bakat, atau keturunan. Sebab, dalam dunia pendidikan siapapun harus memperoleh kesempatan menuntut ilmu yang sama. Pendidik juga tidak boleh pilih kasih dalam mengajar di kelas. Dengan begitu, peserta didik memperoleh hasil yang maksimal dalam belajar.
Penulis: Dita Dwi Cahyani (Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H