Ilmu Kalam adalah cabang ilmu dalam tradisi Islam yang memfokuskan pada pembahasan tentang keyakinan-keyakinan dasar agama, salah satunya masalah kebebasan berkehendak (free will) dan takdir (divine predestination). Dalam konteks ini, dua tokoh penting yang memberikan kontribusi besar dalam pemikiran tentang kebebasan berkehendak dan takdir adalah Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini merupakan pendiri aliran-aliran teologi Sunni yang berpengaruh, yaitu Asy'ariyah dan Maturidiyah, keduanya adalah bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah , yang meskipun memiliki banyak kesamaan, tetapi aliran tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara mereka memandang hubungan antara kebebasan berkehendak dan takdir. Â Artikel ini akan membahas perspektif keduanya dan bagaimana pemikiran mereka memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kebebasan berkehendak dan takdir dalam Islam.
Pandangan Al-Asy'ari tentang Kebebasan Berkehendak dan Takdir
Al-Asy'ari (873--935 M) mendirikan mazhab teologi Asy'ariyah yang menekankan pada kehendak Allah yang mutlak dan tak terhingga. Menurutnya, takdir Allah adalah sesuatu yang sudah ditentukan sejak awal, dan segala yang terjadi di dunia ini berada dalam pengetahuan dan kehendak Allah.
Dalam hal kebebasan berkehendak, al-Asy'ari mengajukan konsep "kasb" (perolehan atau pencapaian). Al-Asy'ari berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih tindakannya, tetapi tindakan tersebut tetap terjadi atas izin dan kehendak Allah. Manusia dalam pandangannya, memiliki kebebasan dalam memilih, tetapi kebebasan itu diperoleh dengan cara "kasb," yaitu Allah memberi kemampuan kepada manusia untuk memilih, meskipun pada akhirnya kehendak Allah yang menggerakkan segala sesuatu. Â
Mengenai takdir, al-Asy'ari meyakini bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi dalam kehidupan ini, baik itu yang baik maupun buruk. Namun, takdir Allah tidak menghapuskan kebebasan manusia dalam memilih, karena kebebasan itu adalah bagian dari takdir-Nya. Jadi, meskipun manusia tampaknya bebas memilih, sebenarnya semua itu bagian dari takdir Allah.
Pandangan Al-Maturidi tentang Kebebasan Berkehendak dan Takdir
Abu Mansur al-Maturidi (853--944 M), pendiri mazhab Maturidiyah, juga memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran tentang takdir dan kebebasan berkehendak. Pandangan al-Maturidi cenderung lebih menekankan pada akal dan pertanggungjawaban moral manusia.
Al-Maturidi lebih menekankan bahwa manusia memiliki kebebasan penuh dalam memilih perbuatan baik atau buruk, dengan syarat mereka telah diberikan akal yang memungkinkan mereka untuk memahami akibat dari pilihan-pilihan tersebut. Kebebasan ini tidak bersifat deterministik, karena manusia memiliki kemampuan untuk membuat pilihan tanpa harus terikat pada takdir Allah.
Mengenai takdir, Al-Maturidi mengakui adanya takdir, tetapi ia berpendapat bahwa takdir Allah tidak membatalkan kebebasan manusia. Dalam pandangan Maturidi, meskipun Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan, pengetahuan-Nya tidak mengurangi kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak sesuai kehendak mereka. Jadi, takdir Allah tidak memaksa manusia untuk bertindak tertentu dan manusia bertanggung jawab penuh atas pilihan mereka.Â
Persamaan dan Perbedaan antara Al-Asy'ari dan Al-Maturidi
Meskipun ada perbedaan dalam beberapa hal, pandangan Al-Asy'ari dan Al-Maturidi juga memiliki kesamaan dalam hal penerimaan takdir sebagai kehendak Allah yang mutlak.
Kesamaan: Kedua tokoh sepakat bahwa segala yang terjadi di dunia ini adalah atas kehendak Allah dan berada dalam pengetahuan-Nya. Kedua aliran juga sepakat bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, meskipun kebebasan ini diakui dalam bentuk yang berbeda: melalui konsep kasb pada Al-Asy'ari dan kebebasan penuh untuk memilih dalam pemikiran Al-Maturidi.
Perbedaan: Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa al-Asy'ari lebih menekankan pada konsep kasb, di mana manusia hanya memperoleh perbuatan yang Allah tentukan, sementara al-Maturidi lebih menekankan pada kebebasan manusia dalam memilih, dengan alasan bahwa manusia memiliki akal untuk menentukan pilihannya tanpa dipengaruhi oleh takdir secara langsung.
Konsekuensi Etis dan Teologis
Dalam pandangan Asy'ariyah, meskipun takdir Allah mencakup segala sesuatu, manusia tetap bertanggung jawab atas pilihan mereka, karena kebebasan itu diperoleh melalui kasb. Ini memberi ruang bagi manusia untuk bertanggung jawab secara moral meskipun takdir telah menentukan segala sesuatu.
Dalam mazhab Maturidiyah, kebebasan manusia lebih terbuka. Dengan adanya akal, manusia lebih bebas dalam memilih antara baik dan buruk, yang berarti mereka juga lebih bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
Pemikiran Al-Asy'ari dan Al-Maturidi tentang kebebasan berkehendak dan takdir mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan antara kebebasan manusia dan pengakuan terhadap takdir Allah. Meskipun keduanya mengakui peran takdir dalam kehidupan, mereka juga berusaha untuk mempertahankan kebebasan manusia dalam memilih dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Konsep kasb dalam Asy'ariyah dan kebebasan yang lebih luas dalam Maturidiyah menunjukkan bahwa kedua aliran ini mencoba menjawab pertanyaan teologis tentang bagaimana kehendak bebas manusia berinteraksi dengan takdir ilahi. Meskipun ada perbedaan dalam metode dan penekanan tertentu, keduanya memiliki tujuan yang sama dalam mempertahankan ajaran Islam yang sahih dan menjaga kesatuan umat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H