IHSG (Indeks Saham Gabungan) adalah ukuran statistik yang mengukur kinerja saham secara keseluruhan pergerakan harga dari saham gabungan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pergerakan IHSG di pasar saham selalu mengalami fluktuasi yang disebabkan oleh faktor ekonomi makro maupun faktor eksternal. Pada artikel ini akan membahas tentang pergerakan IHSG sebelum dan sesudah pendemi Covid 19.
Terdapat perbedaan nilai pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada sebelum dan sesudah pandemi Covid 19. Sebelum pandemi Covid 19 IHSG cenderung rendah, yaitu pada tahun 2018-2019 berada pada angka rata-rata 6211,623 atau antara angka 5000-6000. Sedangkan sesudah terjadinya pandemi Covid 19 pada 2022-2023, pelaku ekonomi telah berusaha untuk bangkit kembali untuk memperbaiki sistem perekonomian. Hingga semua sektor perekonomian telah mengalami pemulihan kembali sehingga nilai IHSG juga mulai mengalami peningkatan yaitu berada pada rata-rata 6917,17 atau bergerak pada angka 6000-7000.Â
Pada masa pandemi Covid nilai pergerakan saham cenderung menurun. Tingkat IHSG terendah terjadi sepanjang tahun 2018 yaitu bergerak pada angka 5000 dengan rata-rata sebesar 6098.58. Jatuhnya IHSG pada tahun 2018 ini disebabkan oleh faktor eksternal yaitu kebijakan The Federal Reserve menaikkan  tingkat suku bunga acuan menjadi lebih agresif dari 2-2,5 persen menjadi 2,25-2,5 persen sehingga membuat pasar saham melepas instrumen beresiko seperti saham. Para investor memilih untuk menjual saham mereka agar mendapat pengembalian yang tinggi di tengah meningkatnya suku bunga. Selain itu, pasar saham Indonesia digemparkan dengan isu perang dagang antara Amerika Serikat dengan China. Perang dagang antar kedua negara tersebut berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia, salah satunya merosotnya IHSG sepanjang tahun 2018 tercatat pengembalian sebesar minus -2,53 persen. Hingga akhirnya perang dagang tersebut melebar menjadi perang investasi.Â
Pada tahun 2019, sebelum masa pandemi Covid 19 menyerang nilai IHSG cenderung berkinerja positif atau lebih tinggi dibandingkan 2018 dengan rata-rata sebesar 6324,66. IHSG tertinggi terjadi pada bulan Januari mencapai angka 6532,97 sedangkan terendah pada bulan November merosot hingga menjadi 6011,83. Pada bulan Juli IHSG pada angka 6390,51, angka ini tergolong merosot disebabkan oleh kebijakan Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) 5,75% sebesar 25 bsp. Kebijakan Bank Indonesia dalam menurunkan suku bunga acuan BI7DRR justru mendapatkan tanggapan  positif dari bursa efek Indonesia (IDX), IHSG tercatat menguat 0,5 persen pada angka 6390,51. Tetapi jika secara teori jika suku bunga meningkat akan menurunkan nilai IHSG. Pada bulan Juli justru malah sebaliknya. Kemudian pada Agustus 2019 Bank Indonesia melakukan kebijakan lagi dengan menurunkan tingkat suku bunga BI7DRR  menjadi 5,5 persen sebesar 25 bsp, hingga menyebabkan IHSG bulan Agustus melemah 0,97 persen yaitu sebesar 6328,47. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor ekonomi makro yang menyebabkan fluktuasi nilai IHSG sepanjang tahun 2019 adalah kebijakan diskonto Bank Indonesia yaitu menaikkan turunkan tingkat suku bunga BI7DRR.Â
Berdasarkan grafik pada tahun 2022 setelah pandemi Covid 19, nilai IHSG cenderung mengalami peningkatan yang signifikan yaitu rata-rata mencapai angka 7006,79. Pada Desember IHSG ditutup pada angka 6850,62 dengan pertumbuhan sebesar 4,09 persen. IHSG tertinggi pada bulan April hingga mencapai angka 7228,91 sedangkan terendah terjadi pada bulan Januari sebesar 6631,15. Menguatnya nilai IHSG pada tahun 2022, menjadikan IHSG Indonesia sebagai bursa terbaik kedua setelah bursa Singapura di ASEAN di urutan pertama. Dapat diketahui tahun ini prospek dari IHSG sangat tinggi dan berpotensi menguat. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor ekonomi makro diantaranya yaitu didukung pertumbuhan PDB Indonesia yang menguat sebesar 5 persen. Pertumbuhan PDB ini cenderung bagus jika dibandingkan dengan negara yang memiliki tingkat perekonomian besar seperti negara yang bergabung dengan G20. Faktor ekonomi makro lainnya yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mulai sudah stabil yaitu pada sebesar Rp15.560-Rp15.750. Artinya nilai rupiah belum terdepresiasi terlalu parah, masih dalam kondisi stabil.Â
Pada 2023 setelah pandemi Covid 19, IHSG mengalami penurunan kembali dengan rata rata sebesar 6827,544 setelah meningkat tajam sepanjang 2022. Penurunan ini disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor ekonomi makro. Nilai pergerakan IHSG terendah terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 6752,21, angka tersebut masih dibawah rata-rata nilai IHSG sepanjang 2023. Hal ini disebabkan oleh faktor eksternal yaitu ketidakpastian ekonomi global dan konflik peperangan yang terjadi antara Palestina dan Israel. Akibat ketidakpastian tersebut membuat banyak investor asing menarik sahamnya di Indonesia. Para investor mengambil keputusan ini sebagai antisipasi akibat kekhawatiran jika mengalami kerugian dananya di tengah ketidakpastian. Faktor eksternal lainnya, di Amerika Serikat pelaku ekonomi masih berekspektasi bahwa The Federal Reserve (Bank sentral AS) akan menaikan suku bunga acuan yang menyebabkan bursa saham global menjadi merosot. Kemudian, faktor ekonomi makro adalah pengaruh inflasi, pada Januari hingga Agustus tahun 2023 tingkat inflasi di Indonesia tergolong tinggi yaitu sebesar 5,28-3,27 persen. Besarnya inflasi tersebut melebihi target inflasi yang telah ditetapkan Bank Indonesia yaitu sebesar 1-3 persen. Inflasi yang melebihi target atau tidak terkendali menyebabkan IHSG cenderung menurun pada 2023.Â
Berdasarkan Perhitungan standar deviasi, Â fluktuasi IHSG selama periode sebelum dan sesudah pandemi Covid 19 yaitu 2018-2019 dan 2022-23 rata-rata sebesar 173,6925. Artinya, investor harus siap untuk menanggung kerugian sebesar 173,6925 selama beberapa tahun. Volatilitas yang tinggi akan memberikan memberikan pengembalian atau keuntungan tinggi pula, tetapi risiko kerugian juga akan semakin besar. Volatilitas IHSG menimbulkan ketidakpastian dalam pasar saham. Volatilitas yang sangat tajam membuat investor cemas karena dapat menyebabkan transaksi jual beli saham yang sangat ekstrim. Tahun dengan volatilitas tertinggi terjadi pada 2018 pada saat sebelum pandemi Covid 19. Kemudian volatilitas menurun pada 2019 yaitu sebesar 149,5913. Dan kemudian meningkat kembali pada saat setelah terjadinya pandemi Covid 19 pada 2022, tahun tersebut merupakan masa pemulihan perekonomian Indonesia pasca pandemi yang menyebabkan keterpurukan. Setelah berhasil pulih pada 2022, volatilitas IHSG kembali menurun pada 2023 yaitu sebesar 144,855.
Demikian pembahasan tentang pergerakan nilai IHSG sebelum dan sesudah pandemi Covid 19 di Indonesia. Terima kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H