Sebagai generasi millennial serta pengguna gadget dan e-money, pastilah saya termasuk penyumbang angka 30,87 juta pengguna Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia. Dua tahun terakhir saya nyaris tidak mengantongi uang cash kemanapun.Â
Mungkin karena malas untuk tarik tunai di Anjungan Tunai Mandiri (ATM), belum kemungkinan kerusakan uang karena basah atau sobek, risiko uang hilang dan ketinggalan, hingga enggan membawa dompet (karena semua kebutuhan sudah ada di HP), kini uang cash terasa ribet dan tidak begitu urgen. Kalaupun pegang uang cash paling hanya kisaran Rp. 50.000-100.000 an saja. Selama saldo rekening dan e-wallet terisi, maka rasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kebiasaan ini ternyata juga merubah beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari, satu diantaranya preferensi berbelanja.
Akhir pekan kemarin saya bersama lima orang kawan mampir ke pusat kuliner di dekat Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya. Perut kami keroncongan setelah bepergian ke Sidoarjo dengan berkendara menggunakan motor. Setelah melaksanakan shalat ashar di masjid, kami pun berkeliling melihat semua jualan para pedagang. Menunya lumayan lengkap. Mulai dari makanan ala korea dengan grill-nya, seafood, ceker pedas, papeda dan telur gulung, Â jus buah, hingga makanan berat seperti soto ayam dan soto daging.Â
Masing-masing dari kami sibuk menentukan makanan apa yang akan dibeli. Setelah merasa cukup berkeliling melihat semua menu tiba-tiba kami tersadar bahwa kami tidak membawa uang cash yang cukup banyak. Â Sedangkan beberapa pedagang yang berjualan tidak menyediakan jasa pembayaran transaksi menggunakan QRIS.Â
Kami yang awalnya hanya mempertimbangkan menu apa yang akan dibeli, kini bertambah apakah si penjual menyediakan pembayaran menggunakan QRIS atau tidak. Akhirnya ada beberapa makanan yang kami relakan tidak beli lantaran kehabisan uang cash.
Dari kejadian tersebut saya menyimpulkan bahwa kemudahan bertransaksi menjadi salah satu kunci penting dalam penjualan. Saya pun membayangkan, berapa banyak kira-kira kerugian para penjual karena kurang melek layanan transaksi keuangan terkini? Â kalau dalam skala lokal saja jumlahnya signifikan apalagi dalam skala yang lebih besar, konteks negara misalnya.
Tidak menutup kemungkinan lambatnya kemajuan ekonomi sebuah negara salah satunya disebabkan karena kurang praktisnya alat transaki baik sesama warga negara atu antarwarga negara.Â
Kurang lebih sama seperti saya dan kawan-kawan, para turis yang datang dan melihat berbagai makanan dan hasil kerajinan Indonesia (atau negara lain) bisa jadi sangat tertarik untuk membeli, tapi karena terhalang perbedaan mata uang akhirnya gagal. Begitupun dengan warga Indonesia yang melancong ke luar negeri.
Bertransaksi di Luar Negeri
Saya sendiri belum pernah bepergian ke luar negeri. Belakangan karena banyaknya akun travel yang berseliweran di beranda Instagram, keinginan untuk pergi ke luar negeri semakin tinggi. Negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) tentunya menjadi tujuan destinasi terkuat. Selain karena jaraknya tidak terlalu jauh dari Indonesia, budgetnya pun terjangkau.