Mohon tunggu...
Dita Ridho Saqinaah
Dita Ridho Saqinaah Mohon Tunggu... Ilmuwan - fulltime student

Clinical Psychology student at University of Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mengapa Al-Farabi Tidak Terjebak dalam Paham Rasionalisme atau Empirisme?

25 Januari 2022   07:26 Diperbarui: 25 Januari 2022   08:35 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.oqya.5u.com via wikipedia.com

Sebelum  menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu  filsafat rasional dan empirisme. Memahami rasionalisme, pemahaman ini melekat pada akal. Inilah sebabnya mengapa rasionalisme menganggap akal sebagai alat yang paling penting untuk memperoleh dan menguji pengetahuan. Menurut aliran ini, pengetahuan dapat dicari dengan akal dan penemuan dapat diukur dengan akal. Tujuan dari paham rasionalisme adalah  menggunakan pemikiran  logis dan pengukuran rasional adalah untuk menentukan apakah suatu temuan dapat dikatakan logis. Jika masuk akal bisa dicek, jika tidak, sebaliknya.  Empirisme ini kemudian membutuhkan bukti sensorik untuk mengkonfirmasinya. Pembuktian dapat dilakukan dengan indera penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Menurut aliran filsafat ini, pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman dan melalui perantaraan indera. Fakta berdasarkan pengalaman telah berhasil mempengaruhi bidang hukum dan hak asasi manusia.
 
 Al Farabi atau  nama lengkap Abu Nasr adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Al Uzalagh Al Farabi adalah seorang ulama Islam. Ia lahir di Wasij, Kazakstan pada tahun 870 / 275 H. Al-Farabi menjelaskan bahwa tujuan filsafat dan agama adalah memiliki tujuan yang sama, yaitu  mengetahui segala sesuatu secara bersama-sama. Bedanya, filsafat menggunakan proposisi umum yang  ditujukan kepada kelompok tertentu, sedangkan agama menggunakan  iqna'i (perasaan terpuaskan) dan representasi kata-kata pada gambar adalah untuk semua  bangsa, semua orang dan semua orang.
Untuk menjawab pertanyaan ini, menurut AlFarabi  Tuhan itu Esa dan Murni (Kemuliaan), bukan berdasarkan gambaran imajiner manusia. Jika ada lebih dari satu Tuhan, maka Tuhan terkadang memiliki bentuk sempurna yang sama atau berbeda dalam karakteristik tertentu. Dengan demikian, setiap Tuhan memiliki dua jenis atribut, yaitu karakteristik umum yang dimiliki  oleh para Dewa ini dan karakteristik unik yang ada di dalam setiap Tuhan. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Demikian juga, karena Tuhan itu satu, Dia tidak dapat didefinisikan, karena batasan berarti pengaturan, yaitu yang menggunakan spesies dan dewa atau menggunakan materi dan bentuk. , seperti halnya dengan Jauhar (benda), sedangkan semua itu  mustahil bagi Tuhan. Jadi Tuhan tidak dapat dibatasi secara sempurna oleh pribadi yang terbatas ini. Pengertian rasionalisme mendefinisikan akal, sedangkan menurut Al-Farabi tidak semuanya dapat dijelaskan dengan akal tetapi juga dengan jiwa, dimana jiwa sama dengan konsep agama. Sama seperti konsep ketuhanan Al-Farabi bahwa Tuhan tidak dapat dijelaskan oleh akal manusia, tetapi dijelaskan oleh jiwa bagaimana kita dapat menerima kebenaran  dengan mempercayainya, ini menyangkut imannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun