[caption id="attachment_255993" align="alignleft" width="300" caption="Spices_01"][/caption]
Jika meja tamu kecil sebagian orang termasuk saya biasanya cukup terisi tebaran pasir dan beberapa kerang hias ala kadarnya, tak demikian dengan meja kecil di hadapan kami kemarin pagi. Di dalamnya tampak aneka rempah seperti biji pinang, kayu manis, gambir, biji dan bunga pala, cengkeh dari beberapa kepulauan di nusantara, biji jenistri, dll.
"Waaah keren banget nih hiasannya mbak...Multi fungsi kelihatannya, sekalian buat display ya..?" Demikian komentar pertamaku ketika memasuki sebuah rumah asri milik sahabat kami di bilangan Palem Permai, Bandung Selatan.
"Hiyaa, tepat Dik! Selain buat menyimpan sample produk, lumayan buat hiasan sekalian. Kalau mau lihat produk lainnya, itu di laci samping pintu juga ada..." sumringah si tuan rumah mempersilakan kami melihat-lihat aneka rempah koleksinya. Ada coklat bubuk, biji coklat utuh asal perkebunan di luar Jawa, biji jali-jali, kemiri, dll.
"Wah, apa nih? Batang kayu manis bukan? Hhmmm…. wangiiii..." seru saya takjub mengamati tongkat yang terasa begitu ajaib karena aroma yang ditebarkannya.
"Iya, itu kayu manis yang masih utuh, belum dipotong-potong. Kayu itu sejauh ini baru dimanfaatkan kulitnya, bagian dalam digunakan sebagai kayu bakar" sahut wanita cantik di hadapan kami.
[caption id="attachment_255994" align="alignleft" width="300" caption="Batang Kayu Manis "]
Ya, kabarnya cantik itu memang relatif. Seringkali wawasan luas, tata sikap dan bicara serta kepercayaan diri yang baik akan menjadikan seorang wanita terlihat jauh lebih cantik dan menarik.
Maka ketika kakak kelas kami di SMP yang kini menekuni profesi sebagai wanita exportir rempah-rempah berceloteh tentang rempah-rempah kami pun terkesima menyimaknya.
Sambil menyuguhkan teh dengan gula yang terpisah di tempatnya, ia terus bertutur seolah tahu jauh-jauh kedatangan kami memang mengharapkan hidangan khusus berupa ‘cerita tentang rempah’.
"Biji pinang ini di India dimakan sebagai hidangan penutup. Fungsinya untuk membersihkan bakteri di rongga mulut."
"Ohya? Bukannya keras banget nih mbak? Dimasak seperti apa sebelum dimakan?" tanyaku heran.
"Cuma dipotong aja kok jadi beberapa bagian. Ini nih seperti biji pinang dari lampung yang sudah dibelah-belah ini langsung dikonsumsi. Kalau kita yang menggigit sih emang iya gigi kita yang akan patah. Tapi buat mereka, bunyinya krek-krek-krek...renyah! Ha ha ha...." jelasnya.
"Ohhh...jadi pinang ini ada yang dijual utuh ya, tapi juga ada yang sudah belah begitu...?
"
"Ya jadi kalau di Kalimantan, orang umumnya malas memotong seperti yang dilakukan orang Sumatra. Mereka menjual biji pinang dalam keadaan utuh. Sebenarnya pinang yang dibelah itu lebih diminati pembeli luar dibanding yang masih utuh. Secara harga jual sebenarnya juga lebih mahal..."
“Hhmm…..gitu ya... Tentang rempah-rempah ini kami jadi tertarik untuk tahu lebih banyak saat Minggu lalu kebetulan kami pergi ke Museum Bank Indonesia di daerah Kota. Bagi bangsa asing dan penjajah Belanda saat itu, Indonesia bak sebuah gudang gula di mata semut-semut bangsa Eropa terutama. Ada berkarung-karung cengkeh, lada dan kayu manis yang jadi komoditi utama dan menarik para pendatang untuk singgah ke negeri ini.
Di sana kita diingatkan kembali bahwa sebelum jaman kolonial, nenek moyang yang digambarkan dengan patung beberapa pria gagah berani yang bekerja di pelabuhan mengangkut karung-karung ke dalam kapal layar. Mereka berdagang aneka rempah dan hasil bumi hingga ke negeri-negeri yang jauh….Dari situ aku jadi terpikir, bahwa rempah-rempah sesungguhnya adalah kekuatan kita yang tak bisa digeser oleh bangsa lain, jika kita menguasai sepenuhnya. Lalu timbul pertanyaan, kenapa ya pendidikan di negeri ini masih belum juga menyentuh ke pengembangan di sektor agraris yang justru adalah kekuatan kita sendiri? Makanya kami jadi kepikir kesini, setidaknya sekadar tahu tentang dunia rempah-rempah Mbak…hehehe”
[caption id="attachment_255999" align="alignleft" width="300" caption="cengkih_museum BI"]
[caption id="attachment_256000" align="alignleft" width="300" caption="pala_museum BI"]
“Ya itu benar….Bahwa banyak orang luar yang justru lebih tahu dari orang kita sendiri. Biji jambu mede di Kawasan Indonesia Timur seperti Papua dan Sumbawa banyak ditampung oleh para pedagang India. Jadi para petani itu bahkan sudah diberikan pembayaran saat biji masih di pohonnya. Yang dikenal dengan sistem ijon…”
“Ngomong-ngomong sudah berapa tahun ya menjalani bisnis rempah ini….? Waktu kerja di perusahaan cutting tools dulu sudah mulai belum tuh?” tanya suami yang adalah teman masa kecil dan rumah orang tua mereka bertetangga di Kebumen, Jawa Tengah.
“Ohh….yo durung…( belum, red). Aku baru jalan 6 tahun terakhir kok. Jadi gini ceritanya. Waktu kerja sebagai sekretaris dulu itu gajiku ya pas-pasan sebenarnya. Buat bayar kost yang sebulan sekitar Rp. 200.000,-, buat makan, dan buat biaya hidup lainnya. Ndak terpikir buat usaha karena modal jelas ga punya. Tapi aku memang berfikir bahwa penguasaan bahasa Inggris itu penting banget untuk bisa berkembang. Maka aku sering ke warnet, dan masuk ke berbagai ruang chatting. Aku pilih yang komunitas Internasional, agar bisa mengasah bahasaku. Aku chatting juga pilih-pilih, tidak semua aku teruskan berkomunikasi jika si teman chatting ternyata tidak memberikan aku tambahan wawasan dan pengetahuan. Nah, ada satu teman chatting asal Nepal, namanya Arn. Dia kemudian minta bantuanku mencarikan biji pinang. Lalu aku cari informasi dan kemudian terjadilah transaksi antara Arn dan si penjualnya. Aku murni sebagai penghubung dan tak mengambil apa pun dari situ. Arn datang ke sini waktu itu, dan dari persahabatan di dunia maya, kami bertemu muka untuk pertama kalinya.
Rasanya bahagia banget bisa dapat sahabat dan lalu bisa membantunya.... Memang Arn waktu itu mau kasih aku komisi, tapi kubilang, gak usah, aku benar-benar mau bantu aja kok!. Nah dari situ Arn malah kepikiran untuk mengajakku berbisnis di rempah-rempah. Dia bilang : Kau punya sumber informasi di depan mata di sekelilingmu. Kita bisa bekerjasama. Gimana kalo kamu buka perusahaan aja? Singkat cerita di situlah awalnya aku kemudian membuat perijinan PT setelah dapat order 4 container. Ini juga lucu banget ingat kejadiannya…! Jadi pembayaran uang muka cash 50%, pembayaran kedua dan pelunasan 50% menggunakan LC yang dibagi menjadi dua. Uang 50% sudah kubelikan biji pinang dapat 2 container, lalu aku kirim. Nah dari yang 50% itu masih ada sisa uang di tangan, sampai LC 25% pembayaran kedua cair, dan kulengkapi pengiriman 2 container lagi. Beres lah urusan pengiriman, dan cairlah sisa LC 25%. Aku jadi kaget sendiri : lha jadi yang 25% ini uangku toh? Alhamdullillah,…. Itu adalah uang terbanyak sepanjang sejarah yang pernah kumiliki. Hehehehehe…”
Derai tawanya ketika mengingat kepolosan awal usaha itu tentu saja menular pada tawa kami semua. Jelas kami terharu dan bahagia menyimak ceritanya.
Seringkali berkah dan anugerahNya dilimpahkan bagi para pribadi yang sederhana. Mereka yang tak pernah menyalahkan nasib bagaimanapun getir dan kerasnya kehidupan. Siapa pun engkau yang tak kenal lelah berusaha sekuat doa yang dipanjatkan, tunggulah jalan kan terbuka pada masanya. Sesungguhnya setiap urusan teramat mudah bagiNya jika Ia menghendaki.
Tulisan sebelumnya tentang sosok sahabat kami bisa disimak di : wanita milyarder sahabat kami.
[caption id="attachment_255995" align="alignleft" width="300" caption="Spices_02"]
[caption id="attachment_255996" align="alignleft" width="300" caption="Spices_03"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H