Asti menjadi sahabat karib, lebih karena kami banyak ’nyambung’ dalam berbagai topik. Dan jujur saja, saya sangat mengagumi kecerdasannya. Jika saya boleh mengibaratkan, kecerdasan anak itu nyaris setara Habibie.
Dalam hati saya berguman ”Dunia ini aneh sekali. Asti yang segini pintar dan menarik, tapi tak cukup berarti buat sahabat saya. Dan Asti yang segini cerdas dan hebat, bisa-bisanya jatuh hati pada teman chatting yang belum pernah dikenalnya”
”Mbak, aku besok libur. Bolehkah menginap di tempatmu? Nanti kubawakan kue terlezat dekat kampusku deh....” suaranya riang saat mengajak kopi darat langsung ke tempat saya sekitar 4 tahun setelah perkenalan kami di dunia maya.
Saat itu, ia sedang menyelesaikan S2-nya di Universitas Indonesia. Gelar S1 di bidang medical science ia terima dari ITB. Di kemudian hari, ia bahkan sempat mengajar di salah satu universitas ternama tersebut.
”Tentu saja. Besok aku ada undangan di Bogor. Ikutan aja ya... Jadi tolong bawa baju buat kondangan” jawab saya antusias.
Hari itu menjadi pertemuan sahabat pena yang mengesankan. Kami seperti bertemu dengan sahabat lama, sehingga obrolan mengalir tanpa ada sekat di antara kami.
”As, cerpen terakhirmu itu keren banget. Aku sampai bilang sama Pwd : Gile bener nih anak, imajinasinya bagus banget. Kenapa kau ga kirim ke media aja? Iseng-iseng berhadiah deh ya...hehehehe” demikian puji saya jujur.
Asti, gadis multi talenta di mata saya. Di sela-sela kesibukannya meneliti virus-virus dan menemukan obat atas suatu penyakit, gadis berjilbab rapi itu masih sempat menulis cerpen fiksi, artikel terkait kesehatan, dan sebagainya. Ia juga hobby merancang busana, sehingga sering diminta tolong teman dan kerabat membuatkan rancangan baju pesta maupun baju pengantin.
Waktu terus berjalan...dan komunikasi kami masih terjalin meski hanya sebatas email dan telepon. Hingga tiba-tiba handphone saya berdering di sekitar Agustus 2011 lalu.
”Mbak, aku mau pamit ya. Ehmm....setelah aku pikirkan masak-masak, aku mau berkarir di Belanda. Di sini profesi peneliti memang masih menduduki nomor dua setelah dokter Mbak... Aku sudah mengajukan beasiswa ke rumah sakit tempatku bekerja, tapi mereka belum juga menanggapinya. Dan setelah aku coba ajukan ke sebuah Universitas di Belanda, mereka menyambut dengan sangat baik. Sementara aku cari uang di sana dulu deh, agar aku bisa segera mewujudkan mimpiku mengajak orang tuaku pergi haji. “ sedikit panjang ia memberikan alasan rencana kepindahannya.
“Ohhh...begitu ya As. Baiklah, kerjakan yang kau yakini terbaik. Kalau gitu, mampir dulu deh ke tempatku ya. Entah berapa tahun lagi nanti kita tak kan bertemu. Dimana bisa kujemput?” begitu saya menjawab, seolah cukup berat melepas kepergiannya.