Jika Senin hingga Jumat saya ibaratkan sebuah jarak tempuh, maka Rabu adalah pertengahan jarak itu sendiri. Dan Kamis ini, saya sudah merasa jarak tempuh semakin mendekati kota tujuan.
Di hari Senin yanga saya maknai sebagai sang pembuka hari, saya terus saja berjuang melawan kemalasan diri untuk kembali terjun ke dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari. Jangan sampai akhir pekan ( Sabtu-Minggu ) bukan dimaknai sebagai kesyukuran, tapi malah sebaliknya. Ia menjadikan kita terlena oleh suasana santai dan liburan.
Maka, saya tanamkan kuat-kuat dalam diri semboyan : I like Monday!
Karena mantra dan ucapan itu akan melesak menyusupi hati dan pikiran kita.Dan secara otomatis akan tercermin dalam sikap dan tindakan.
Mantra itu bahkan bekerja hingga hari berikutnya, yang adalah hari Selasa.
Hari Jumat, diyakini oleh sebagian muslim sebagai hari yang penuh berkah. Sedekah terbaik di hari itu akan mendapatkan ganjaran berlipat ganda dengan berjuta kebaikan lain yang tinggal menunggu saat panen tiba. Di Kamis inilah kita mempersiapkan momen itu tiba....!
Inilah fakta yang saya dapatkan dari hasil analisa perilaku klien di telepon. Setiap kali saya menghubungi mereka di hari Jumat, entah mengapa saya seperti mendengar suara penuh semangat menembus gagang telepon. Energinya pun tertular hingga jarak puluhan kilometer, meresap sampai kepada lawan bicara, yang adalah saya sendiri. Pastinya orang di seberang sana sudah membayangkan bahwa Jumat adalah perjalanan pendek menyambut akhir pekan yang banyak dinantikan orang.
Realita tersebut cukup menjelaskan. Bahwa di hari Jumat, semua pikiran sudah merencanakan aktifitas libur akhir pekan masing-masing. Meski aktualnya hidup tidak melulu berisi liburan dan kesenangan, toh memikirkan melewati hari dengan mengerjakan berbagai aktifitas bernuansa hobby, menikmati suasana santai hingga liburan pun cukup membantu menjaga hari-hari dengan segenap kegembiraan.
Bisa saja libur akhir pekan akhirnya malah terisi dengan acara arisan, kerja bakti di perumahan, kondangan, membesuk kerabat yang sakit, melayat kenalan yang meninggal, dan berbagai aktifitas standard yang tak seindah yang kita bayangkan.
Dan bentuk-bentuk ajakan pulang inilah yang seringkali terjadi di akhir pekan, saat kami bepergian :
“Nak, hari sudah menjelang malam. Kita pulang yuuuk. Toko sudah mau tutup nih. Lihatlah,kakak-kakak petugas sudah bersiap membereskan buku-bukunya”
”Pulang sekarang Pak? Sudah mulai ’gempor’ nih....!”
”Ibu...sudah dapat yang dicari belum? Sudah sore, ayo kita pulang!”
Di perjalanan, kami seringkali mengisi dengan berbagai diskusi dan analisa ringan. Termasuk menganalisa perilaku kami sendiri, terkait pergi dan pulang. Perilaku itu juga barangkali menjangkiti banyak orang lain yang tinggal di perkotaan pada umumnya. Dimana orang tidak betah berlama-lama berdiam diri di rumah. Selalu saja ada keinginan untuk pergi keluar, meski pastinya akan disusul dengan rasa ingin pulang.
“Inilah hidup. Kita akan merasakan kenyamanan di rumah saat kita pulang dari bepergian. Rumah adalah sebuah istana tujuan yang menyimpan berjuta kedamaian, dan membuat kita ingin pulang.
Pola ini sama dan sebangun, terkait hari kerja dan liburan. Kita akan menikmati akhir pekan dengan lebih meninggikan syukur, jika di hari kerja kita memanfaatnya dengan segenap aktifitas dan perjuangan...” demikian analisa Pwd ( suami ) yang serupa apa yang saya pikirkan.
Sejenak saya pikirkan, bahwa semua itu sebenarnya adalah berpangkal pada kemampuan mengolah rasa dan mengatur pikiran saja.
Bepergian adalah sebuah alat bantu yang seharusnya tidak mutlak keberadaannya di sana. Jika semua manusia telah mampu menciptakan ruang-ruang luas di dalam hatinya, tak perlu kita selalu harus membayar cukup mahal dengan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk membeli sebuah kesenangan atau kenyamanan hidup hanya untuk mendapat ”rasa ingin pulang” tersebut.
Maka di pagi ini....saya ingin mengenang sebuah lagu yang sukses menyusupkan rasa syukur dalam melewati hari. Sebuah lyric lagu lama God Bless yang sarat makna menurut saya ;
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan
Beratap jerami, beralaskan tanah
Namun semua ini punya kita
Memang semua ini milik kita, sendiri
Hanya alang alang pagar rumah kita
Tanya anyelir, tanpa melati
Hanya bunga bakung tumbuh di halaman
Namun semua itu punya kita
Memang semua itu milik kita
Dst....
Semuanya ada di sini,
Rumah Kita
Pekerjaaan mengolah rasa inilah yang saya coba tuangkan ke dalam tulisan.
Kamis pagi ini menjadi terasa lebih menyenangkan, karena saya telah merasa bahwa ”Semua ada di sini.....di rumah yang cukup sederhana ini. Pergi beraktifitas mulai pagi hari, dan malam untuk berkumpul kembali. Mereka, anggota rumah ini hanya pergi sehari saja. Malam nanti, semua kan kembali unuk bertukar cerita....Tentang peristiwa yang terjadi hari ini, dan segala rencana di esok hari ”.
Semoga kita semua mampu mengisi hari yang terus berganti dengan segala rasa cukup yang memenuhi kalbu. Segala rasa syukur yang menjadi energi positif dalam melewati hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H