”Pulang sekarang Pak? Sudah mulai ’gempor’ nih....!”
”Ibu...sudah dapat yang dicari belum? Sudah sore, ayo kita pulang!”
Di perjalanan, kami seringkali mengisi dengan berbagai diskusi dan analisa ringan. Termasuk menganalisa perilaku kami sendiri, terkait pergi dan pulang. Perilaku itu juga barangkali menjangkiti banyak orang lain yang tinggal di perkotaan pada umumnya. Dimana orang tidak betah berlama-lama berdiam diri di rumah. Selalu saja ada keinginan untuk pergi keluar, meski pastinya akan disusul dengan rasa ingin pulang.
“Inilah hidup. Kita akan merasakan kenyamanan di rumah saat kita pulang dari bepergian. Rumah adalah sebuah istana tujuan yang menyimpan berjuta kedamaian, dan membuat kita ingin pulang.
Pola ini sama dan sebangun, terkait hari kerja dan liburan. Kita akan menikmati akhir pekan dengan lebih meninggikan syukur, jika di hari kerja kita memanfaatnya dengan segenap aktifitas dan perjuangan...” demikian analisa Pwd ( suami ) yang serupa apa yang saya pikirkan.
Sejenak saya pikirkan, bahwa semua itu sebenarnya adalah berpangkal pada kemampuan mengolah rasa dan mengatur pikiran saja.
Bepergian adalah sebuah alat bantu yang seharusnya tidak mutlak keberadaannya di sana. Jika semua manusia telah mampu menciptakan ruang-ruang luas di dalam hatinya, tak perlu kita selalu harus membayar cukup mahal dengan menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk membeli sebuah kesenangan atau kenyamanan hidup hanya untuk mendapat ”rasa ingin pulang” tersebut.
Maka di pagi ini....saya ingin mengenang sebuah lagu yang sukses menyusupkan rasa syukur dalam melewati hari. Sebuah lyric lagu lama God Bless yang sarat makna menurut saya ;
Hanya bilik bambu tempat tinggal kita
Tanpa hiasan, tanpa lukisan
Beratap jerami, beralaskan tanah