”Mohon maaf, untuk sementara ini kami belum dapat bekerjasama dengan EO Ibu...”
Sebaris sms yang masuk ke handphone saya hari Jumat, 5 September 2012 kemarin telah saya duga kedatangannya.
Sehari sebelumnya, ketua panita kegiatan family gathering sebuah pabrik datang ke kantor kami.
”Saya baru kali ini ditunjuk sebagai panitia. Yang saya tahu, sudah puluhan kali pabrik kami dihandle oleh EO bernama X. Sebenarnya tak masalah jika semua baik-baik saja, dan tidak ada permainan apapun. Teman-teman sudah lama menaruh curiga, karena angka-angka yang dimasukkan ke dalam anggaran sangatlah tinggi. Harga bus yang seharusnya maksimal Rp. 2jt, diclaim Rp.3,5jt. Tapi kali ini, karena saya yang dapat busnya, saya bisa dapat harga murah Rp. 1,8jt/unit”
Saya mendengarkan dengan seksama. Meski rasa lelah sepulang dari Bandung hari itu mulai menjalar ke seluruh urat-urat, namun demi menghargai seorang tamu, saya mencoba antusias mendengar ceritanya. Malam itu jarum jam telah menunjukkan angka 22.00 WIB.
Pria muda itu datang sendirian. Dan tentunya saya menerima kehadirannya dengan didampingi oleh seorang rekan bernama Mas Why.
Saya hampir bahagia karena ternyata masih banyak orang-orang yang berniat baik dan lurus sebelum kemudian ia menyambung ucapannya.
“Secara total, harga Ibu sebenarnya sudah masuk anggaran. Namun, orang yang kemarin online di telepon dengan Ibu yang selama ini berkuasa di tempat kami, menitip pesan. Bahwa Ibu hanya diminta memasukkan angka sesuai penawaran awal. Daripada PO diberikan ke tempat lama, sudah banyak orang yang menaruh curiga tadi. Atau lebih jelasnya, Ibu bisa ga mark up sedikit?”.
Yang segera saya jawab dengan penuh penekanan kata ”Angka Rp.32juta-an itu dianggap sedikit?
Okay-lah...sedikit dan banyak itu memang relatif. Tapi perlu saya sampaikan bahwa saya tidak akan melakukannya Mas... Jika untuk memenangkan tender syaratnya harus mark-up, kami ikhlas untuk dikalahkan. Saya percaya bahwa Allah mempunyai jatah rejeki untuk kami. Dan kami hanya akan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang enak di hati...”
”Oh....begitu ya.. Teman-teman saya juga bilang bahwa saya pasti hanya dijadikan boneka saja...dan bla...bla...bla”
Kalimat pembelaan diri dari tamu saya mulai mengalir dengan beberapa catatan ketidaksinkronan yang hanya cukup saya simpan dalam hati.
”Mari kita bicara sebagai teman Pak,... Kita tidak bisa hanya teriak-teriak melawan korupsi, mengkritik para pejabat dan orang lain jika kita sendiri tidak bisa memulai dari hal yang kecil. Dari yang terdekat dari jangkauan kita. Dari diri sendiri.
Saya yakin setiap kita mempunyai filter paling jernih yaitu hati nurani. Saat kita mengingkarinya, dan seolah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukan sejatinya adalah sebuah perbuatan dosa, pasti ada ketidaknyamanan di sana. Jangan sampai karena kita merasa tidak tahu, atau tidak mau tahu, Allah akan memberi tahunya saat kita telah berada di alam kubur. Dimana kita tahu, tidak ada jalan untuk kembali memperbaikinya.
Apa saya tidak butuh pekerjaan? Sangat butuh pastinya. Apa saya juga tidak memikirkan bagaimana operasional dan perkembangan perusahaan? Tentu saya sangat konsen dan masih terus berjuang untuk itu. Tapi saya masih yakin bahwa saat kita berikhtiar untuk memunguti rizki yang halal dan berkah meski mungkin itu lebih kecil nilainya, InsyaAllah Dia akan memberikan kemudahan dalam setiap langkah kami.
Bukan sekali dua kali kami terhimpit dalam kesulitan, tapi Alhamdullillah selalu saja Allah datang mengulurkan pertolonganNya. Dan kami akan terus berharap dan tak kan pernah berputus asa akan rahmatNya yang luas, meski jalanan terjal berliku memang harus kami lewati.
Bukankah kita tidak akan dicatat mati sebagai orang kaya atau miskin? Proses menjalani detik demi detik dalam perjalanan hidup itulah yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNya.
Mohon maaf jika saya cukup berpanjang lebar di sini. Tapi saya berterimakasih telah diberikan kesempatan untuk ikut dalam tender ini. Silaturahim seperti ini adalah hal yang menggembirakan bagi saya dan teman-teman tentunya.
”Iya Bu...benar sekali. Memang kadang sulit sekali melawan arus yang sangat deras. Saya tidak punya kuasa apa-apa di tempat kerja dibanding Pak A yang telah puluhan tahun lebih dulu ada di sana”
Tamu saya itu mulai bimbang untuk mendukung atasannya, ataukah mengikuti kata-kata saya yang jelas sangat standard dan klise terdengar.
”Hidup adalah pilihan Pak.... silakan Bapak memilih jalan yang menurut Bapak terbaik...Dan mohon maaf jika Bapak kurang berkenan dengan apa yang saya sampaikan. Jadi, tolong sampaikan ke atasan Bapak. Silakan pakai EO lain, karena kami tidak bisa membantu kepentingan beliau. Kami hanya dapat memberikan harga terbaik, dan menawarkan program yang maksimal saja. Kalau sekedar makan-makan saja sih ya hayolah....Ga akan sampai merugikan perusahaan Bapak. He he he...
Karena hari sudah malam, saya pamit dulu. Silakan dilanjutkan ngobrol dengan rekan saya”
Dan saya pun pamit pulang dengan rasa plong di hati. Semoga dua bait doaku sampai di Arsy tempatNya bertahta ;
Ya Allah...Engkau Maha Melihat dan Maha Mendengar,
Tak sebiji zarrah pun amal perbuatan makhlukMu terlewat dari catatanMu
Terimakasih telah Engkau beri kekuatan di hari ini,
Kutahu, bahwa godaan syaitan akan terus menghampiri dan memburu kami,
Tak ada tempat berlindung selain Engkau,
Tak ada kekuatan yang kami genggam selain dariMu,
Jika hari ini kami lepas dari terkaman mulut harimau,
Mohon bebaskan kami esok hari dari serigala dengan segala bentuknya,
Jika hari ini kami masih mampu berdiri dengan sepenuh keyakinan atas pertolonganMu,
Mohon tambahkan kekuatan agar kami masih terus dapat berjalan dan berlari,
Dalam sebuah perjuangan panjang di duniaMu yang fana ini,
Amien YRA
Maka, kekalahan itu kami maknai sebagai sebuah pertolongan Allah SWT, Tuhan kami....
Adakah yang lebih membahagiakan selain merasakan kedamaian atas uluran tanganNya?:):)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H