Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pijatan dan Sebuah Refleksi Hidup ala Ipung

22 September 2012   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_207084" align="alignleft" width="300" caption="pijat kaki"][/caption] Seringkali sebuah rejeki itu datang di saat kita justru telah berhenti mengharapkannya, atau bahkan mengabaikannya. Setidaknya itulah kesimpulan yang kami maknai setelah lebaran usai, dan belum ada pembantu baru yang lumrah saya sebut sebagai asisten rumah tangga di keluarga kecil kami. Sebelumnya seorang remaja telah melamar, dan dengan berbagai ”deal” telah terjadi kesepakatan kerja sama yang diharapkan saling menguntungkan. Namun sayang, baru sehari ia sudah tak lolos seleksi kami. ”Selamat datang dan bergabung dengan keluarga kecil kami, di tempat yang tak seberapa luas ini....:)” Begitu sambutan hangat saya pada asisten baru di suatu sore.... Ia datang tepat dua hari setelah saya membuat tulisan Tentang Ipung 1, dimana saya menikmati pisgor dan teh manis hangat buatan sendiri dalam mengisi kegembiraan hari-hari saya di sela-sela keribetan berbagai pekerjaan rumah yang terasa tak kunjung habisnya. Perlu embak cermati, bahwa hubungan kita selain sebagai sebuah keluarga adalah juga sebuah hubungan kerjasama, dimana kedua belah pihak harus sama menuai manfaat dan keuntungannya. Sama-sama cocok, sama-sama nyaman. Jika salah satu di antara kita tidak cocok, ia harus berani menyampaikan, dan pihak lainnya harus menerima dengan tangan terbuka...Maka, komunikasikan apa yang embak ingin sampaikan. Dan aku juga akan melakukan hal yang sama, demikian saya menguraikan ”briefing awal” yang mungkin standard saja. ”Setiap rumah pasti mempunyai aturan main dan kebiasaan-kebiasaan yang mungkin akan berbeda satu dengan lainnya.....dan bla bla bla...” demikian saya menjelaskan beberapa aturan baku yang tidak dapat ditawar, karena menyangkut sebuah prinsip dan nilai yang harus kami tegakkan. Satu kesalahan mayor diperbuat, berarti hubungan kerja tidak akan diteruskan. Tidak berlaku SP 1, SP2 dst... untuk kategori mayor tertentu yang telah kami sepakati bersama. Terlalu tegas dan kejam? Barangkali. Tapi kadang memang diperlukan sebuah aturan permainan yang jelas dan gamblang untuk urusan seperti ini, agar tak banyak pihak yang dirugikan. Tak banyak energi yang dihabiskan di kemudian hari. Dan ketika baru sehari aturan yang bak kue nan ”fresh from the oven” pun telah dilanggar, saya memutuskan untuk memberinya kartu merah saat itu juga. Bukan sekedar ancaman belaka, lebih sebagai penegakan hukum yang telah kami sepakati bersama. Sebuah tindakan kadang tak cukup syarat untuk dikatakan sebagai pelanggaran, manakala aturan belum dibuat.Bukankah pelanggaran adalah soal tidak dilaksanakannya sebuah aturan? Jadi aturan harus lebih dulu ada sebelum pelanggaran itu sendiri. Soal mayor atau minor pastinya setiap orang mempunyai berjuta alasan. Hari itu melatih kami kembali terlatih lebih mandiri lagi. Saya bahkan bersemboyan, jika ada yang datang ya syukur, tidak ada ya sudah. Kerjakan semampunya, sesempatnya, sebisanya. Bersyukur masih sehat dan mampu wira-wiri kesana kemari. Barangkali dengan beginilah keluarga kecil kami menjadi lebih dapat saling membantu dan berbagi. “Wis lah...ora opo-opo *, dijalani aja. Sebatas pekerjaan rumah sih tidak seberapa. Nek nang sawah, tandur opo matun yo wong liyo podho iso**...masa begini doang ga bisa beres sih?” Demikian celoteh saya pada Pwd ( suami ) yang kadang merasa ketidakadanya asisten ini jelas merugikannya. Utamanya waktu paling berharga untuk menemaninya sekedar minum teh, bercerita, duduk di sampingnya yang sedang membaca atau bekerja, akan banyak tersita urusan dapur dan ini serta itu lainnya. Lebih parah lagi, pastinya saya sudah akan sering meminta bantuan yang mirip instruksi, seperti halnya mengangkat jemuran pakaian, membelikan tepung di warung depan, atau beberapa pekerjaan kecil lainnya. Ini lebih sebagai cara saya melibatkannya sebagai anggota team yang sebenarnya....:) “Yo wis...malahan Mutia jadi bisa bantu-bantu Ibu juga ya Nak...” demikian sahut Pwd menggarisbawahi, mencoba menemukan sisi-sisi positif agar kami lebih ikhlas menjalani hari-hari. Tapi itulah rejeki yang saya maknai. Di saat kami telah berhenti berharap, ia datang menghampiri.... sehingga Alhamdulillah, asisten pengganti yang kami perlukan telah bergabung beberapa hari ini. Ia datang tanpa kami cari... “Sini Mbak...hari ini aku gempor banget nih. Tolong bantu pijat telapak tangan dan kakiku ya...Dan sebagai gantinya, aku akan mendongeng untukmu...” Begitu saya memberikan penawaran barter kegembiraan sehabis shalat Isya malam ini. Pijat sebagaimana tulisan terdahulu saya di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/29/tukang-pijat-media-belajar-berbagi-1/ dan http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/30/tukang-pijat-media-belajar-berbagi-2/ adalah cara lain mendapatkan energi baru. Dan mendongeng untuk seisi rumah adalah usaha saya menciptakan kegembiraan bagi semuanya. Dan dongeng malam ini saya ambil masih di buku Hidup ini Keras, Maka Gebuklah karya Prie GS. Kali ini saya menterjemahkan cerita dengan bahasa saya, dan sebagian lain saya bacakan langsung karena ingin si pendengar dapat merasakan sensasi humor paling gila yang pernah saya ikuti. ---***--- Ipung, anak desa bertubuh kerempeng dengan tampang seadanya selalu menciptakan berbagai kejutan dalam setiap hari-harinya. Di SMU Budi Luhur Semarang, sebuah sekolah unggulan di kota itu, hal-hal terkait Ipung adalah hal yang selalu menarik untuk disimak. Berbekal kecerdasannya ia seringkali menjadi problem solver bagi berbagai permasalahan yang ada. Termasuk saat Douglas, satpam Budi Luhur yang sedang dalam puncak kesulitannya menghadapi keroyokan 14 orang preman, ia tampil sebagai penyelamatnya. Otaknya yang encer segera membunyikan bel sekolah sejadi-jadinya, seperti orang kesurupan saja...Dan saat pejalan kaki, pengendara motor dan mobil berhasil diberhentikannya, ia mengambil sebuah kursi dan menaikinya. Seolah-olah itu adalah mimbar yang dengannya ia dapat berorasi melerai pertikaian, hanya berbekal jalinan kata-katanya. ”Saya bukan hendak membela satpam sekolah ini. Saya juga tidak ada urusan dengan urusan mereka. Tapi saya dan saudara pasti sepakat, jika perkelahian ini diteruskan, akan ada orang yang mati!” ”Dan jika ada yang mati, mudah saja. Siapapun mas-mas ini, kakak-kakak para pengeroyok itu, dan apapun alasannya, pasti cuma akan ditangkap polisi. Kita semua sudah melihatnya, dan kita semua akan menjadi saksi” Ipung tahu diri. Ia pasti sedang membela Douglas, tapi ia juga tidak mau bermusuhan pada Tarji Cakil, si pimpinan preman yang paling ditakuti seantero Semarang saat itu. Maka sebutan mas-mas dan kakak-kakak ini jelas dimaksudkannya untuk menggarisbawahi bahwa ia tidak memihak, ia menghormati mereka semua... :) ”Saya mohon dengan segera, jika bisa perkelahian ini dibubarkan atas dasar kemanusiaan” Begitulah Ipung.....dengan cara cerdasnya, Ia berhasil menghentikan sebuah pengeroyokan tak imbang, 1 orang lawan 14 orang. Dan prestasinya itu menjadikan popularitas Ipung semakin melesat tinggi. Ia juga semakin sibuk dengan profesi gandanya selain pelajar yaitu sebagai wartawan freelance di majalah MM, majalah anak muda paling ngetop di kota itu. Kesibukan Ipung itu membuat Paulin, teman dekat yang kini telah terang-terangan saling mengakui sebagai pacar itu merasa terabaikan. Jangankan jalan bersama, untuk berbagi cerita pun tak ada waktu lagi. Dan itu membuat anak mami merasa sepi di tengah keramaian. ”Ketenaranmu, kesepianku” demikian Paulin mulai membuat peta hidupnya sendiri. Ia bukan tidak rela kekasihnya menjadi popular. Jujur saja karena pesona itulah ia mencintai cowok yang sama sekali jauh dari ganteng. Tapi ia tahu pasti, popularitas itulah yang akan merenggut hari-harinya. Sebagai anak kampung saja, Ipung telah mempunyai bakat cuek yang luar biasa, apalagi setelah kini ia menjelma menjadi selebriti! Semakin meninggi, semakin sulit dimiliki. Semakin Paulin berusaha mengerek popularitasnya sendiri, semakin Ipung yang menikmati. Maka, tak ada pilihan bagi anak mami itu untuk tidak membuat sebuah keputusan besar yang adalah : pindah sekolah. Singkat cerita, Paulin akhirnya pindah sekolah ke Singapura. Tentu dengan dukungan penuh dari mami dan papinya yang dari semula sudah ngeri mendapat menantu serupa Ipung, yang buat mereka adalah sama sekali tidak memenuhi bobot bibit dan bebetnya....:) Pesta kepindahan yang dibuat oleh teman-teman sekolah Budi Luhur di sini diceritakan dengan sangat dramatis pula. Dengan acara bak konser sekelas Bon Jovi yang didanai oleh patungan anak-anak orang kaya. Panggung dengan dekorasi paling mutahir dan sound system ratusan ribu watt digelar di sekolah itu. Undangannya adalah seluruh siswa, guru, karyawan serta seluruh wali murid Budi Luhur, tak terkecuali mami dan papi Paulin dengan kostum pesta yang mengukuhkan kedudukannya, serta Minarni, Ibu Ipung yang dikawal oleh Pak Lik Wur dengan busana desa ala kadarnya. Dan puncak acaranya adalah, Ipung memberi sambutan yang dinanti-nantikan... ”Mestinya saya mau ikut pindah ke Singapura!” katanya langsung tanpa pembukaan. Tapi gelak tawa hadirin menggelora. ”Tapi itu nyaris tak mungkin, apalagi jika harus bayar sendiri. Aku mencintai sekolah ini, Paulin juga. Paulin tidak pindah. Karena hatinya masih tertinggal di sini”  Semula tangan Ipung melebar, untuk kemudian menunjuk ke dadanya sendiri. Ini sebuah simbol yang luar biasa, jelas sekali apa maknanya. Anak-anak bergemuruh. Papi menghela nafas. Ketika MC melihat gelagat Ipung mau turun panggung, ia diikuti anak-anak seperti koor meneriakkan kata-kata instruksi kepada Ipung ”cium, ciuum...ciuuuuum” Dan Ipung pun berhenti. Ia melangkah mendekati Paulin. Papi gemetaran. Ia sudah hendak meluapkan kemarahan, meski ciuman dalam arti persahabatan sekalipun. Ternyata Ipung hanya menyambar mikrofon untuk mengatakan dengan tegas dan tenang ”Sebagai manusia biasa, pasti saya ingin menciumnya. Tapi maaf, Paulin bukan mukhrim saya!” Tepuk tangan termeriah di Budi Luhur segera membahana. Papi bernafas lega. Lega dan bangga sebenarnya. Keputusan anak mami pindah ke Singapura, hanya ditandai Ipung dengan memotret anak mami dengan kamera moncong panjangnya. Ketika kilatan blitz menyala, tepuk tangan serasa hendak meruntuhkan ruangan. Acara perpisahan yang semula dimaknai sekolah sebagai acara promosi gratis Budi Luhur ternyata membawa dampak lain yang sama sekali tak diperhitungkan sebelumnya. Kepergian Paulin berakibat cukup mengenaskan pada akhirnya. Pasangan Paulin-Ipung rupanya adalah energi bagi siswa Budi Luhur. Kekompakan mereka, dan aneka cerita dan humor yang mewarnai hari-hari Budi Luhur seperti luntur sudah. Paulin yang digambarkan kecantikannya setara dengan seluruh bintang sinetron yang dikumpulkan, namun selalu sukses menolak tawaran sebagai model ataupun lainnya, adalah semakin meninggikan martabatnya. Pasangan Paulin-Ipung ibarat Beauty dan The Beast sehingga selalu menjadi headline news dalam setiap tindak tanduknya. Semenjak Paulin pindah sekolah, Ipung seperti kehilangan energi setidaknya dalam waktu yang cukup lama. Ia menjadi pendiam, dan sikap dewasa serta kematangan yang tiba-tiba keluar dari setiap kata-katanya membuat hidup terasa monoton dan membosankan bagi seluruh teman-temannya. Ipung bekerja keras untuk menghibur dirinya sendiri. ”Ini sekedar cinta lokasi yang harus segera usai setelah syuting selesai” demikian ia mulai membasuh luka dalamnya. Yang kemudian pikiran lain muncul ”Tanpa Paulin, keberanian ini itu tak kan ada....” Pekerjaannya sebagai wartawan memaksanya untuk melahap buku apa saja, termasuk psikologi yang menarik hatinya. ”Prestasi manusia terjadi, karena ingin dipuji oleh lawan jenisnya semata” kata Freud dengan teorinya. Ia sekuat tenaga ingin menyangkal teori psikoanalisa Sigmund Freud itu. Ia sangat ingin menegaskan bahwa prestasinya selama ini karena bakatnya. Bahwa kekaguman yang selama ini ia terima adalah karena kecerdasannya. Bahwa perkelahiannya dengan Gredo adalah karena nyalinya. Pelan tapi pasti, ia mulai ragu pada keyakinannya sendiri. Ketika ia menghajar Gredo, yang terbayang adalah wajah Paulin. Ketika ia sedang sok cuek terhadap jagad raya, yang terbayang adalah wajah Paulin. Paulin adalah baterai terbesar yang menyalakan energi tanpa henti. Yang mendorongnya membuat tindakan-tindakan gila yang membuatnya terkenal itu. Ya, tepat ketika Ipung hendak membantah Freud, pada saat yang sama ia menerima buktinya. Semua menjadi jelas ketika pusat kekuatan terenggut tiba-tiba. Ia terancam akan kembali menjadi si kurus dari Kepatihan yang tak perlu digubris lagi. Ipung adalah juara tanpa mahkota. Ipung menjadi ada, karena orang tahu Paulin memilihnya! ”Kepergian Paulin aku perlukan....aku perlukan” katanya lirih. Ia merasa betapa kehilangan dibutuhkan untuk menghentikan laju sebuah keangkuhan yang mulai keterlaluan. Wajah Minarni dan Lik Wur terbayang memberinya kekuatan.  Untuk pertama kalinya Ipung hendak meronta sekuat tenaga, dan itulah ratapan yang Minarni dan Wuryanto tak akan sanggup menampungnya lagi. ”Pada akhirnya, kesepian adalah urusan diri sendiri meski ada Ibu dan Lik Wur di sisiku” pekiknya. ”Pada akhirnya kematian adalah tanggungjawabku sendiri, meski Ibu, Lik Wur dan bahkan Paulin bersama-sama merubungku!” teriaknya. Takut, ngeri, remuk....Dan pada saat itulah ia mengingat sebuah nama setelah tangisnya yang tertahan sampai kelelahan menjemputnya. Di puncak lelah itulah ia menyebut nama terakhir yang ia yakin sebagai sandaran terkuat, kokoh dan selalu ada setiap saat, dimana pun berada. ”Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Rabb......” Ia bangkit, mencuci muka, berwudhu. Ia shalat malam untuk pertama kali dalam hidupnya. “Ya Tuhan, aku tak tahu shalatku ini karena Engkau atau karena Paulinku. Ya Allah, aku mencintaiMu, tapi aku juga mencintai Paulinku. Ya Rabb, ampunilah aku....” Shalat yang amat panjang. Doa yang amat panjang. Air matanya telah tandas ia buang. Dadanya tiba-tiba terasa lapang seketika. Dan tentu saja kesegaran baru menerpa kaki, tangan dan kepala karena tekanan jari-jari asisten saya yang ternyata terampil dan empuk terasa. Dongeng Ipung ternyata pun mampu membuat wajahnya berseri-seri, tersenyum-senyum dan berkomentar lugas “Ipung itu edan tapi cerdas banget ya Bu....” :):) Ya Mbak....Ipung memang pernah patah hati. Tapi ia tidak sampai tersesat jauh sehingga tak tahu arah pulang. Ia mungkin hancur, tapi juga tak sampai jadi butiran debu. Karena ia masih memiliki pegangan terkuat dalam hidupnya, ialah Allah SWT semata....Pusat segala bantuan dan asa...Tempat segala kekuasaan ada di tanganNya... Dan kami pun tertawa bersama....:):) ( bersambung ) Catatan : Wis lah...ora opo-opo * - sudahlah tidak mengapa. tandur opo matun yo wong liyo podho iso** - menanam padi atau menyiangi rumput di sekitar tanaman padi orang lain saja bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun