Sebenarnya, saya nyaris menghentikan menonton sinema Para Pencari Tuhan (PPT) beberapa tahun lalu, saat “sebel-sebelnya” melihat kelakuan Azam..:)
Biasanya saya dan sahabat yang sesama ibu-ibu, di sela-sela aktifitas pekerjaan kami membahas persoalan remeh temeh. Enggan dianggap bergosip, kami memilih menjadi komentator dan membuat kesimpulan atas hikmah yang bisa dipetik.
Azam yang merupakan salah satu tokoh utama dalam PPT, dikisahkan sebagai muslim yang baik, dalam hal ketaatan menjalankan ibadah. Ia bukan hanya sebagai pengusaha penerbitan buku-buku Islami yang dikelola profesional bersama istrinya Aya, tapi juga seorang dermawan. Di kampungnya, ia termasuk orang yang disegani, setelah Bang Jack yang adalah tokoh agama, imam mushola dst. Pendapat dan sarannya dianggap sebagai referensi oleh banyak pihak.
Azam dan Aya, telah berteman dari kecil, sehingga keduanya telah mengenal dengan baik dalam waktu yang lama. Sampai suatu ketika mereka berjodoh dan mengarungi kehidupan rumah tangga yang rupanya masih diwarnai berbagai konflik. Masalah yang timbul sebelum pernikahan mereka, terus mengiringi hingga kini, yaitu dengan kehadiran wanita lain Kalila, yang adalah sahabat Aya sendiri sebagai pihak yang sering memicu pertengkaran kecil hingga besar.
Dulu, kami berdua benar-benar dongkol banget dengan perangai tokoh tersebut.
“Kelaut aja deh Azam....!” begitu celetuk sahabat saya saking jengkelnya.
Di satu sisi ia sangat mencintai sang istri ( Aya), tapi di sisi lain, ia juga masih menyimpan rasa pada mantan kekasihnya, Kalila. Dan parahnya si Kalila ini dibiarkan tinggal di rumah mereka bersama ibunya Azam yang lebih dekat pada Kalila dibanding menantunya sendiri. Kedekatan itu bahkan diperlihatkan dengan tanpa tedeng aling-aling/ terang terangan.
”Iya, pria rapuh ga punya pendirian. Masih bagus tuh si Aya masih bisa sesabar itu...Kalo kita mah dah bilang ”elu dan gue – end” he he he” Begitu saya menambahkan.
Tapi itu dulu....saat kami masih menjadi penonton yang mau saja terbawa emosi hanya oleh sebuah skrip yang dimainkan dalam sebuah sinema. Barangkali karena kami terlalu menjiwai sehingga membayangkan tokoh menyebalkan semacam Azam itu ada di dunia nyata. Kini, kami sudah beranjak menjadi penonton yang dewasa...he he he
Teramat konyol melibatkan perasaan untuk melihat sebuah drama sandiwara tentunya. Saat ini kami hanya mau beranjak menjadi pengamat saja. Melihat, menganalisa, dan menyimpulkan apa sesungguhnya pesan yang sedang dibawa. Menyimaknya sebagai hiburan, dan lalu memaknainya dengan cara masing-masing.
Maka, saat sang sutradara masih memelihara konflik itu ke dalam cerita yang terus bergulir, saya masih bisa berkomentar “Keren nih sutradaranya...tahun demi tahun berlalu, konfliknya masih bisa dipelihara tanpa berujung pada sebuah kesimpulan signifikan, itu adalah sebuah prestasi. Ide-ide yang mengalir bak mata air yang tak pernah ‘asat’/ berhenti itulah yang perlu diapresiasi.”