Fatwa MUI memang sudah semestinya ada, menurut saya. Tapi tentu akan lebih baik jika fatwa itu tidak perlu ada, karena tindakan preventif yang sudah dilakukan. Misal, silakan saja pemakaman mewah didirikan jika tidak melanggar segala macam aturan kenegaraan. Namun beri catatan ; diharamkan untuk dijualbelikan kepada warga negara beragama Islam.
Para pengusaha/pengembang juga akan berpikir ulang :Â Lah, kan mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslim? Bukan ide bagus jika membuka lahan pemakaman seluas itu.
Senjata Tanpa Amunisi
Fatwa MUI akan menjadi senjata tanpa amunisi, jika tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang baik. Sebagaimana fatwa MUI sebelumnya tentang hukum HARAM pada peminta sumbangan pendirian masjid di jalan-jalan. Secara logika masuk akal menurut saya, karena mudhorot/keburukannya jelas terasakan nyata. Jalanan menjadi macet. Belum lagi harga diri sebagai umat yang gemar meminta-minta di jalanan adalah dampak lain yang amat ‘memalukan’ di mata saya. Akan jauh lebih efektif jika penarikan dana masjid dilakukan dengan acara-acara yang lebih elegan, semacam bazzar pakaian bekas layak pakai. Bazar makanan, atau pun sumbangan gotong royong dari para jamaah maupun warga sekitar masjid. Dan masih banyak cara lain yang lebih bermartabat dan tidak mengganggu kepentingan umum.
Jika fatwa itu sampai dengan detik ini juga masih saja ‘diabaikan’ oleh sebagian umat Islam, menurut saya adalah karena tidak dibarengi dengan amunisi berupa penegakan hukum. Polisi yang mondar-mandir melintasi kemacetan akibat permintaan sumbangan itu pun tidak bertindak apa-apa. Apakah perihal haram dan halal itu memang sepenuhnya akan menjadi urusanNya saja? Dan dampak negatif yang ditimbulkannya tidak didukung dengan piranti hukum yang diperlukan? Entahlah.
Beberapa minggu lalu saya menyaksikan ratusan alat berat sedang meratakan bukit di Karawang itu. Rupanya ambisi memperluas ‘rumah masa depan’ itu sedang digelindingkan. Rupanya tidak akan ada korelasi antara fatwa MUI dengan terus berkembangnya jual beli lahan pemakaman mewah di negeri ini.Setidaknya, ini opini saya sebagai pengamat amatiran.
Saya hanya sibuk membangun imajinasi dan menjaga nilai-nilai yang saya yakini. Bahwa benar, kemiskinan perlu dipersiapkan agar tak sampai menjadi kufur. Tapi bersiap menjadi kaya sesungguhnya juga teramat penting karena tantangannya amat berat. Godaan keinginan menguasai dunia yang tak terbendung. Godaan ingin dipuji dan ditempatkan bak raja diraja yang sungguh amat menistakan. Dan meyakini bahwa apa yang sampai di tangan hanyalah kepercayaan yang dititipkan. Sepiring nasi, rumah tinggal yang nyaman tanpa kebocoran di sana sini dan kemudahan perjalanan sudahlah cukup untuk menjalani hidup dengan kebersahajaan yang wajar. Sisanya, serupa talang air, biarkan rizki yang mengalir itu mampu memberikan manfaat sebanyak umat. Terdistribusikan sempurna tanpa kotoran penyumbat yang adalah keserakahan, kesombongan, kekikiran,dst.
Apakah aku akan lolos jika ada di posisi berkelimpahan itu? Entahlah. Namun sekuat daya kumohonkan semoga Allah memperkenankan untuk senantiasa memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberikan kekuatan yang diperlukan untuk itu.
Fatwa MUI tersebut memang adalah Senjata tanpa Amunisi. Namun untuk Anda dan saya yang berusaha paham atas kompleksitas negara ini, semoga tetaplah cukup berguna sebagai rambu-rambu untuk diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H